Ekonom: Subsidi BBM Lebih Tepat Diberikan Langsung ke Individu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemberian subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM), dinilai lebih tepat diberikan langsung kepada individu, bukan ke komoditasnya. Subsidi yang diberikan kepada komoditas dinilai punya kemungkinan bocor yang sangat besar dan sulit dikendalikan.
Menurut pakar ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Ardiyanto Fitrady, subsidi langsung ke individu sangat memungkinkan karena data rumah tangga miskin saat ini sudah lebih baik. Dia mengusulkan, subsidi diberikan langsung secara tunai sehingga masyarakat penerima bisa mengalokasikan uangnya secara lebih fleksibel.
"Kalaupun sudah terlanjur diberikan ke komoditas, subsidi harus ada batasnya juga. Dengan begitu sisi keuangan pemerintah bisa terjaga, karena kalau ada yang bocor, tidak akan terlalu besar dampaknya," ujarnya dalam diskusi dengan media secara virtual, Senin (18/4/2022).
Menurutnya, subsidi yang diberikan kepada komoditas BBM pasti akan ada kebocoran. Pasalnya, dengan disubsidi harga BBM menjadi lebih murah sehingga masyarakat cenderung tidak akan berhemat. Seharusnya, kata dia, harga BBM disesuaikan dengan harga keekonomiannya sehingga secara otomatis konsumen akan menyesuaikan pembeliannya. "Harga itu mencerminkan kelangkaan. Kalau langka, individu pun otomatis akan mengurangi konsumsi," tuturnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar subsidi diberikan langsung ke individu yang berhak. Dengan begitu, konsumsi akan terjaga dengan sendirinya karena pembelian BBM akan dilakukan konsumen secara lebih efisien. "Apalagi tujuan awal subsidi adalah mengurangi beban masyarakat miskin, sedangkan masyarakat menengah ke atas tidak perlu dibantu," imbuhnya.
Ardiyanto mengakui, isu kenaikan harga BBM memang sensitif. Namun, tegas dia, subsidi tidak bisa terus ditambah ketika harga minyak mentah meroket seperti saat ini karena akan memberatkan keuangan negara. Karena itu, kata dia, dengan menaikkan harga BBM secara bertahap diharapkan beban subsidi akan dibatasi.
"Inti masalahnya adalah perilaku masyarakat. Seberapa besar konsumsi BBM itu bisa ditata perilakunya. Ketika harga dinaikkan sedikit demi sedikit, orang akan mengurangi konsumsi," ujarnya.
Ardiyanto mengatakan, konsumsi BBM dipastikan akan turun dengan sendirinya mencapai level optimum saat harga naik mengikuti harga pasar. "Selama ini karena harganya murah maka konsumsi pun terlalu banyak. Idealnya, tidak ada subsidi komoditi," tandasnya.
Di bagian lain, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR Rabu (13/4) pekan lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif telah menyepakati penambahan kuota solar dan Pertalite. Dua jenis BBM yang masuk kategori subsidi dan penugasan itu dinaikkan kuotanya. masing-masing menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dan 28,5 juta KL.
Penambahan kuota ini dipastikan akan meningkatkan impor, karena kilang domestik hanya mampu memasok 55% kebutuhan nasional. Namun, dalam rapat tersebut, menteri ESDM juga menyampaikan bahwa pemerintah akan menyesuaikan kembali harga solar, Pertalite, dan LPG 3 kg.
Hal itu tak trehindarkan akibat dampak harga minyak mentah dunia yang telah melewati USD100 per barel. Untuk diketahui, asumsi harga minyak Indonesia (ICP) di APBN hanya sebesar USD63 per barel. Sementara, Indonesia mengimpor produk BBM dengan harga keekonomian.
Menurut pakar ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Ardiyanto Fitrady, subsidi langsung ke individu sangat memungkinkan karena data rumah tangga miskin saat ini sudah lebih baik. Dia mengusulkan, subsidi diberikan langsung secara tunai sehingga masyarakat penerima bisa mengalokasikan uangnya secara lebih fleksibel.
Baca Juga
"Kalaupun sudah terlanjur diberikan ke komoditas, subsidi harus ada batasnya juga. Dengan begitu sisi keuangan pemerintah bisa terjaga, karena kalau ada yang bocor, tidak akan terlalu besar dampaknya," ujarnya dalam diskusi dengan media secara virtual, Senin (18/4/2022).
Menurutnya, subsidi yang diberikan kepada komoditas BBM pasti akan ada kebocoran. Pasalnya, dengan disubsidi harga BBM menjadi lebih murah sehingga masyarakat cenderung tidak akan berhemat. Seharusnya, kata dia, harga BBM disesuaikan dengan harga keekonomiannya sehingga secara otomatis konsumen akan menyesuaikan pembeliannya. "Harga itu mencerminkan kelangkaan. Kalau langka, individu pun otomatis akan mengurangi konsumsi," tuturnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar subsidi diberikan langsung ke individu yang berhak. Dengan begitu, konsumsi akan terjaga dengan sendirinya karena pembelian BBM akan dilakukan konsumen secara lebih efisien. "Apalagi tujuan awal subsidi adalah mengurangi beban masyarakat miskin, sedangkan masyarakat menengah ke atas tidak perlu dibantu," imbuhnya.
Ardiyanto mengakui, isu kenaikan harga BBM memang sensitif. Namun, tegas dia, subsidi tidak bisa terus ditambah ketika harga minyak mentah meroket seperti saat ini karena akan memberatkan keuangan negara. Karena itu, kata dia, dengan menaikkan harga BBM secara bertahap diharapkan beban subsidi akan dibatasi.
"Inti masalahnya adalah perilaku masyarakat. Seberapa besar konsumsi BBM itu bisa ditata perilakunya. Ketika harga dinaikkan sedikit demi sedikit, orang akan mengurangi konsumsi," ujarnya.
Ardiyanto mengatakan, konsumsi BBM dipastikan akan turun dengan sendirinya mencapai level optimum saat harga naik mengikuti harga pasar. "Selama ini karena harganya murah maka konsumsi pun terlalu banyak. Idealnya, tidak ada subsidi komoditi," tandasnya.
Di bagian lain, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR Rabu (13/4) pekan lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif telah menyepakati penambahan kuota solar dan Pertalite. Dua jenis BBM yang masuk kategori subsidi dan penugasan itu dinaikkan kuotanya. masing-masing menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dan 28,5 juta KL.
Penambahan kuota ini dipastikan akan meningkatkan impor, karena kilang domestik hanya mampu memasok 55% kebutuhan nasional. Namun, dalam rapat tersebut, menteri ESDM juga menyampaikan bahwa pemerintah akan menyesuaikan kembali harga solar, Pertalite, dan LPG 3 kg.
Hal itu tak trehindarkan akibat dampak harga minyak mentah dunia yang telah melewati USD100 per barel. Untuk diketahui, asumsi harga minyak Indonesia (ICP) di APBN hanya sebesar USD63 per barel. Sementara, Indonesia mengimpor produk BBM dengan harga keekonomian.
(fai)