Inkonsistensi BPOM dalam Menyikapi Isu BPA Dipertanyakan

Jum'at, 22 April 2022 - 14:24 WIB
loading...
Inkonsistensi BPOM dalam...
Revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang hanya fokus untuk pelabelan senyawa Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon berbahan polikarbonat (PC) menuai sorotan. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang hanya fokus untuk pelabelan senyawa Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon berbahan polikarbonat (PC) menuai sorotan. Terlebih, revisi regulasi tersebut berpotensi memunculkan diskriminasi dan persaingan usaha tidak sehat.

Sorotan muncul tidak lepas lantaran inkonsistensi dan dugaan keberpihakan BPOM dalam menyikapi isu BPA yang kini dipertanyakan banyak pihak. BPOM terkesan terbawa arus desakan segelintir pihak untuk melakukan kampanye negatif terhadap produk air galon guna ulang kemasan PC. BPOM dianggap tergiring dan tidak jeli dalam melihat motif kampanye negatif yang kental nuansa persaingan bisnis.



Sekadar diketahui bahwa KPPU, Kemenperin dan Menko Perekonomian telah menegaskan sikapnya untuk mendorong persaingan sehat serta menghindari kegaduhan ekonomi dan sosial dalam pembuatan kebijakan. KPPU bahkan meminta dilibatkan dalam mengkaji kebijakan BPOM karena berpotensi menimbulkan kondisi asimetris (tidak imbang) dalam persaingan usaha.

Baru kali ini, persaingan antar produk yang sama yaitu AMDK dijegal dengan memfokuskan pada kemasan produk dan bukan produknya sendiri. Padahal yang dikonsumsi masyarakat adalah produknya dan bukan kemasannya. BPOM dianggap seperti tidak sensitif terhadap motif ini.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menilai BPOM melakukan diskriminasi dalam menerima masukan publik dan cenderung mendengarkan pihak-pihak yang diduga akan mendapatkan keuntungan atas revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Tahun tahun 2018. Ia juga membeberkan sulitnya menemui pihak BPOM, padahal sebelum isu BPA menyeruak tidak demikian. "Akhir-akhir ini, sulit bagi kami untuk meminta bertemu dan memberi masukan ke BPOM,” kata dia.

Asosiasi Industri Air Kemasan (Aspadin) juga sulit bertemu BPOM. Bahkan, tatkala diundang untuk bertemu, ungkap pengurus inti Aspadin, hanya diberikan waktu beberapa menit untuk berbicara. Padahal Aspadin yang beranggotakan 900 perusahaan adalah pihak yang paling akan terkena dampak dari kebijakan BPOM.

“Sebagai lembaga negara, sudah selayaknya BPOM menghindari kebijakan yang bernuansa egoisme sektoral keamanan pangan tanpa melihat spin off effect-nya terhadap sektor ekonomi dan dampak sosial secara luas,” jelas Agus.

Terlebih, saat ini ada krisis Ukraina dan Rusia yang telah membawa kenaikan harga pangan dan energi dunia, yang juga akan dan telah menimbulkan dampak sosial ekonomi di Indonesia. “Apakah isu BPA yang penelitiannya juga masih berjalan ini lebih urgent dibandingkan potensi goncangan sosial ekonomi di masyarakat?” tanya Agus.



Menurutnya, sudah selayaknya BPOM lebih fokus dan memperhitungkan dampak kesehatan jangka pendek akibat kelangkaan produk air minum kemasan ekonomis di pasar, jika semua produsen dipaksa untuk mengganti kemasan ke PET. Kelangkaan air minum kemasan diketahui berpotensi meningkatkan penyakit diare dan dehidrasi. Adapun upaya memenuhi desakan pihak untuk melabeli potensi bahaya BPA disebutnya masih dalam penelitian terkait resiko kesehatan jangka panjang.

Menteri Kesehatan pun sebelumnya sudah menegaskan di media kalau air kemasan galon guna ulang itu aman dan bahaya BPA dalam air galon itu hoaks.

Pengamat Media, Satrio Arismunandar, menambahkan beberapa kejanggalan dari dorongan kampanye negatif terhadap galon guna ulang.

Pada tahun 2021 bulan Juni dan Desember, situs resmi BPOM memuat pernyataan tegas tentang keamanan dan Indonesia Anti Hoax Education Volunteers (REDAXI) melihat ketidakseriusan BPOM dalam menyikapi isu BPA yang saat ini sudah menjadi twitwar atau perang opini di Twitter. Astari Yanuarti, Co-founderREDAXI melihat twitwar isu BPA ini terjadi karena sikap BPOM yang tidak begitu serius dalam menyikapinya alias inkonsisten.

“Sikap BPOM mendua. Di satu sisi menyatakan bahwa galon air minum yang mengandung BPA terbukti aman karena airnya tidak terkontaminasi BPA. Tapi di sisi lain merancang pelabelan BPA di galon air minum . Ini yang menyebabkan terjadinya twitwar berulang soal isu BPA, terutama jika topiknya memang sengaja diciptakan, seperti topik galon BPA ini. Kubu-kubu yang terlibat biasanya sama saja,” ujarnya.

Karenanya, kata Astari, hoaks terkait BPA ini akan selalu ada di media sosial. Menurutnya, keberadaan lembaga-lembaga cek fakta memang membantu publik untuk mengetahui apakah informasi yang mereka terima itu benar atau salah. “Namun, itu tidak akan bisa menghentikan peredarannya, sebab jumlah penyebaran hoaks jauh lebih tinggi daripada klarifikasinya,” tuturnya.

Dia juga memprediksi perang tagar soal BPA pada galon air minum masih akan berulang terus, termasuk hoaks-hoaksnya selama BPOM masih bersikap mendua mengenai isu BPA.

Seperti diketahui, BPOM sudah dua kali merilis pernyataan aman terhadap penggunaan galon guna ulang. Rilis pertama dimuat dalam laman resmi BPOM pada Januari 2021, dan rilis kedua dimuat pada Juni 2021.Pada kedua rilisnya itu, BPOM menyampaikan bahwa berdasarkan hasilsamplingdan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon air minum dalam kemasan (AMDK) jenis polikarbonat (PC) atau galon guna ulang yang dilakukan, air galon ini aman untuk digunakan.

BPOM mengatakan nilai migrasi BPA dari kemasan galon jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, yaitu sebesar 0,6 bpj. Disampaikan, pernyataan resmi BPOM ini untuk mengklarifikasi berita-berita yang tidak benar soal BPA pada kemasan galon AMDK. Disebutkan, rilis ini dimuat untuk memastikan kepasa masyarakat bahwa AMDK galon guna ulang yang beredar aman untuk dikonsumsi.

Dalam rilisnya itu, BPOM juga meminta masyarakat tetap tenang dengan adanya pemberitaan di media terkait keamanan kemasan galon AMDK berbahan PC. Sebab, hasil pengujian terhadap BPA dari penggunaan plastik jenis PC sebagai kemasan galon masih dinyatakan aman. BPOM bahkan mengimbau masyarakat untuk menjadi konsumen cerdas dan tidak mudah terpengaruh oleh isu yang beredar.

Saat Direktur Pengawasan Pangan Risiko Tinggi dan Teknologi Baru BPOM dijabat Ema Setyawati, dirinya mengatakan BPOM mengendus ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menggoreng isu dengan mengatakan bahwaBPA yang ada dalam kemasan makanan dan minuman berbahaya bagi kesehatan.

“Kok terus digoreng-goreng ya? Tidak habis pikir saya,” ucapnya saatdimintai tanggapannya soal adanya pemberitaan yang disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan, Roso Daras, yang menghembuskan BPA dalam galon guna ulang berbahaya bagi kesehatan bayi dan ibu hamil.

Rita Endang yang saat itu sebagai Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM menegaskan BPOM sudah memiliki peraturan sendiri terkait keamanan air minum galon guna ulang.Menurutnya saat itu, BPOM telah menetapkan batas migrasi BPA dalam galon guna ulang itu maksimum 0,6 bpj (0,6 ppm). Tapi, hasil pengawasan Badan POM terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat (PC) selama lima tahun terakhir (2016-2020), menunjukkan bahwa migrasi BPA di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman.

“Hingga saat ini, BPA dalam air minum galon guna ulang itu juga tidak memiliki risiko terhadap kesehatan konsumen. Paparan BPA dalam air minum galon guna ulang saat ini masih terlalu rendah untuk dapat menyebabkan masalah kesehatan, termasuk pada bayi dan wanita hamil. Hal ini juga sejalan dengan hasil dari EFSA (Otoritas Keamanan Pangan di Eropa) dan US-FDA,” ujarnya.

Rita mengatakan untuk kemasan pangan galon guna ulang ini, pengaturannya diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 24/M-IND/PER/2/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan dari Plastik. Dia mengatakan Logo Tara Pangan adalah penandaan yang menunjukkan bahwa suatu kemasan pangan aman digunakan untuk pangan.

Saat itu, BPOM bersikap tegas dengan meminta KementerianKomunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk memerintahkan change.org agar mencabut cuitan BPA yang dibuat di sana. Kemkominfo kemudian memasukkan berita-berita yang menyatakan BPA berbahaya untuk kesehatan ke dalam kategori berita tidak benar alias hoaks. Hal itu dilakukan karena telah mendapat penjelasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menegaskan bahwa kemasan produk berbahan BPA yang berdar di pasaran aman untuk dikonsumsi.

“Kita merujuk kepada pernyataan BPOM sebagai lembaga yang berwenang yang telah menyampaikan bahwa kemasan yang mengandung BPA untuk produk makanan dan minuman telah melalui uji laboratorium dan aman untuk digunakan,” ujar Ferdinandus Setu yang saat itu menjadi PltKepala BiroHumasSetjenKementerian Kominfo.

Anehnya, setelah 3 bulan memuat rilisnya mengenai keamanan galon guna ulang, tiba-tiba BPOM membuat sebuah wacana untuk memberikan label BPA khusus kepada kemasan AMDK galon guna ulang dengan mengatakan seolah-olah BPA dalam galon ini berbahaya bagi kesehatan. BPOM mengatakan telah menemukan bukti baru. BPOM dinilai 'menjilat ludahnya sendiri' dengan mementahkan semua pernyataan-pernyataan mereka sebelumnya yang merilis bahwa galon guna ulang aman untuk digunakan. Bahkan, rilis yang pernah mereka muat itu tiba-tiba dicabut dari laman resmi BPOM.

Melihat sikap BPOM ini, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Satrio Arismunandar sangat menyayangkannya. “Masak sebuah lembaga negara yang bertugas untuk mengawasi keamanan pangan Indonesia bisa bermain-main dengan pernyataannya yang dengan seenaknya mencabut begitu saja rilis yang pernah dibuat di laman resmi sebuah lembaga negara,” katanya.



Karenanya, dia meminta media mewakili masyarakat untuk mempertanyakan pencabutan rilis BPOM terkait pernyataan aman galon guna ulang itu. Menurutnya, rilis itu adalah suatu suara atau pandangan dari suatu lembaga tertentu yang resmi. “Jadi, kalau misalnya rilis itu dicabut atau diganti maka media berhak untuk mempertanyakan kenapa itu diganti. Apakah rilis itu ngawur sehingga dicabut atau apa, BPOM sebagai lembaga negara yang dipercaya masyarakat se-Indonesia sebagai pengawas keamanan pangan harus menjelaskannya. Kok pengawas keamanan pangan bermain-main dengan masalah keamanan pangan itu kan aneh kedengarannya,” tukasnya.

Menurut Satrio, media berhak mempertanyakan hal itu karena wartawan mewakili kepentingan publik dan pernyataan BPOM ini juga menyangkut kepentingan publik. “Jadi tidak bisa satu lembaga apalagi ini pengawas obat dan makanan di Indonesia mengubah-ubah suatu rilis yang menyangkut standar keamanan pangan tanpa satu penjelasan yang jelas dan spesifik dan bisa diterima secara masuk akal dan ilmiah,” katanya.
(tri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1488 seconds (0.1#10.140)