Larangan Ekspor CPO Disebut Kebijakan Emosional, Legislator Minta Dievaluasi

Selasa, 26 April 2022 - 16:43 WIB
loading...
Larangan Ekspor CPO...
Kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng disebut Oleg legislator diputuskan berdasarkan pertimbangan emosional jangka pendek sehingga harus dievaluasi. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng dinilai diputuskan berdasarkan pertimbangan emosional jangka pendek sehingga harus dievaluasi. Anggota Komisi VI DPR RI Rafli menjelaskan, jika kegiatan ekspor minyak goreng dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi minyak goreng.

“Jangan sampai larangan kebutuhan ekspor minyak goreng mengakibatkan kerugian. Pemerintah perlu mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta stop ekspor, itu bukan solusi menyeluruh,” tutur Rafli dalam keterangan persnya, ditulis Selasa (26/4/2022).



Menurutnya, berkaca dari pengalaman sebelumnya, pemerintah pernah memutuskan melarang ekspor batu bara. Akan tetapi, tujuan kebijakan tersebut tidak sesuai dengan harapan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara.

Berdasarkan informasi yang ia terima, data produksi minyak goreng tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Di antaranya, sebanyak 5.07 ton (25,05%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton (74,93%) diekspor. Sehingga dari presentasi tersebut, surplus produksi menjadi sangat besar.

Kebijakan ekspor, urai politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sudah diatur.

Kebijakan ini pernah dipraktikan oleh Malaysia, negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia dengan harga minyak goreng Rp8.500/kg. Namun jika dibandingkan dengan Indonesia, negara penghasil minyak goreng pertama di dunia, harga yang dipatok relatif lebih mahal.



Oleh karena itu, Rafli menyarankan, agar setiap stakeholder yang berkaitan dan terdampak dengan kebijakan soal minyak goreng itu duduk bersama untuk evaluasi.

“Bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa. Untuk menjaga stabilitas harga, setiap daerah penghasil kelapa sawit harus ada pabrik pengolahan minyak goreng. Di sisi lain, ada tiga perusahaan besar BUMN TBK penghasil minyak goreng, semestinya pemerintah mampu bikin harga lebih murah," tandasnya.

(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1802 seconds (0.1#10.140)