Pengembangan Jenis Tanaman Bioenergi Bisa Jadi Solusi Lahan Terdegradasi

Rabu, 04 Mei 2022 - 21:21 WIB
loading...
Pengembangan Jenis Tanaman...
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo
A A A
JAKARTA - Pengembangan jenis tanaman bioenergi pada lahan gambut terdegradasi bisa menjadi solusi ganda untuk merehabilitasi lahan sekaligus penyediaan energi terbarukan sebagai solusi krisis perubahan iklim.

Jenis tanaman potensial yang dikembangkan antara lain nyamplung yang bisa diolah menjadi bahan bakar minyak nabati atau gamal yang dimanfaatkan sebagai energi biomassa.

Demikian terungkap pada sesi diskusi yang diselenggarakan oleh International Tropical Petland Center (ITPC) pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-15 di Seoul, Republik Korea, Rabu (4/5/2022). Diskusi tentang pengembangan tanaman bioenergi tersebut dipandu oleh Lead Coordinator Sekretariat ITPC Haruni Krisnawati.

(Baca juga:Restorasi Gambut Tingkatkan Kesejahteraan Warga)

Kepala Badan Standardisasi Instrumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ary Sudijanto dalam pembukaan diskusi menjelaskan bahwa sektor energi berkontribusi sebesar 11% dari 29% target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia di tahun 2030 seperti tercantum dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contributions).

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah Indonesia menaikkan penggunaan energi baru dan terbarukan, termasuk yang berasal dari bioenergi seperti bahan bakar nabati maupun biomassa.

“Produksi bioenergi akan diarahkan pada pemanfaatan lahan terdegradasi, termasuk gambut, untuk mencegah kompetisi penggunaan lahan untuk kebutuhan produksi pangan dan konservasi keanekaragaman hayati,” katanya.

(Baca juga:Lahan Gambut Butuh Manajemen Konservasi)

Pengembangan bioenergi di lahan terdegradasi juga akan mendukung terpenuhinya komitmen untuk merehabilitasi lahan seluas 14 juta hektare (ha). Menurut Ary, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah mitra seperti pusat penelitian kehutanan internasional (CIFOR), National Institute of Forest Science (NiFoS) Republik Korea, dan juga mitra-mitra lokal di Indonesia untuk mengidentifikasi areal dan jenis tanaman yang cocok untuk dikembangkan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) siap mendukung pengembangan bioenergi sambil memulihkan lahan gambut terdegradasi. “PBPH bisa menerapkan multiusaha kehutanan dengan pola paludikultur agroforestri untuk mendukung kebijakan tersebut,” katanya.

Paludikultur adalah sistem budidaya di lahan gambut yang mengoptimalkan jenis-jenis tanaman asli atau tanaman lain yang adaptif. Untuk pemanfaatan jangka pendek bisa dilakukan dengan menanam serai wangi dan jelutung yang bisa disadap getahnya untuk pemanfaatan jangka panjang. Sedangkan untuk jangka menengah bisa dimanfaatkan dengan menanam tanaman bioenergi seperti gamal, yang kayunya memiliki nilai kalori tinggi tak kalah dengan batubara.

*Baca juga:Indonesia Ajak ASEAN Kelola Gambut Berkelanjutan)

Tanaman gamal bisa dibudidayakan dengan sistem trubusan (copice) yang berarti pohon tidak perlu ditebang habis untuk pemanfaatan kayunya. “Saat ini pola paludikultur ini sedang diujicoba di salah satu PBPH di Kalimantan Barat,” kata Indroyono.

Dia mengatakan kayu gamal bisa dimanfaatkan dalam bentuk serpih atau diolah menjadi wood pellet untuk selanjutnya menjadi pendamping atau pengganti batubara di pembangkit listrik.

Menurut Indroyono, perusahaan energi Indonesia, PLN, saat ini sedang menuju penggunaan biomassa yang lebih banyak untuk pembangkitan listrik. “Dibutuhkan sekitar 4,1 juta per tahun biomassa untuk kebutuhan co firing di 52 lokasi pembangkit listrik PLN,” katanya.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Budi Leksono mengatakan tanaman yang juga potensial dikembangkan sebagai bioenergi sekaligus merehabilitasi gambut adalah nyamplung (calophyllum inophyllum).

“Produktivitas tanaman nyamplung sangat tinggi mencapai 20 ton per ha/tahun dengan rendemen minyak bisa mencapai 60% dari berat biji kering,” katanya.

Nyamplung juga punya keunggulan karena minyak yang dihasilkan tidak bersaing untuk kebutuhan pangan seperti halnya pada minyak sawit.

Peneliti CIFOR Mi Hyun Sol mengingatkan pentingnya menjaga dan merestorasi gambut karena memiliki peran penting dalam kehidupan, seperti sumber air, pangan, tempat berbagai keanekaragaman hayati, dan membantu mengendalikan perubahan iklim.

Peneliti CIFOR lainnya Himlal Barar mengatakan pentingnya untuk terus mempraktikan pengelolaan gambut secara lestari. Proyek ujicoba budidaya adaptif di lahan gambut yang saat ini dilakukan perlu untuk diperluas skala pelaksanaannya.

Sementara peneliti dari Sekretariat Asian Forest Cooperation Organization (AFoCO) Sung Ho Choi mengatakan kerja sama antara Negara pemilik hutan perlu terus diperkuat untuk perlindungan dan pengelolaan gambut.
(dar)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1706 seconds (0.1#10.140)