Ini Pengaruh DMO Batu Bara Terhadap Tarif Listrik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah berencana untuk meningkatkan domestic market obligation (DMO) batu bara dari 25 persen menjadi 30 persen untuk mengamankan pasokan bahan bakar bagi pembangkit listrik dan industri.
DMO merupakan instrumen yang dibuat pemerintah untuk memastikan produksi batu bara RI tetap disalurkan ke dalam negeri di tengah tingginya permintaan ekspor.
Selain itu, DMO juga mewajibkan para pelaku usaha pertambangan batu bara menjual komoditas itu seharga US$70 per metrik ton bagi pembangkit listrik untuk kepentingan umum, serta US$90 per metrik ton bagi industri selain smelter.
Ketetapan harga ini memungkinkan harga produk industri hingga tarif listrik tetap stabil. Sebab, harga komoditas ini secara langsung mempengaruhi beban operasional industri maupun pembangkit.
Kebijakan itu ditetapkan meski nilai batu bara di pasar global sedang melonjak tajam di atas US$250 per metrik ton. DMO dijadikan amunisi bagi pemerintah dalam mengamankan pasokan dalam negeri dengan harga yang telah ditetapkan.
Dalam wacana yang beredar di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian, sejumlah kalangan mendorong adanya kenaikan DMO dari 25 persen dari total produksi menjadi 30 persen dari total produksi.
Sebagai gambaran, tahun ini pemerintah menargetkan produksi sebesar 663 juta ton hingga akhir Desember 2022. Artinya, saat ini, kewajiban pasokan dalam negeri yang harus dipastikan oleh penambang adalah 166 juta ton atau 25 persen dari produksi.
Akan tetapi, bila DMO dinaikkan menjadi 30 persen, maka batu bara untuk kebutuhan dalam negeri harus dipasok 199 juta ton. Sedangkan sisanya dipersilakan dijual untuk pasar luar negeri.
Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam (BGNL) Kementerian Perindustrian Wiwik Pudjiastuti menerangkan bahwa kebutuhan batu bara untuk industri seperti semen bakal melonjak tahun ini.
Proyeksi kebutuhannya sebesar 16,66 juta ton dari hanya 4,45 juta ton tahun lalu. Selain itu dia menyebut bahwa penjualan harga batu bara untuk industri belum merata.
"Kalau diizinkan kami berharap DMO dinaikkan menjadi 30 persen sehingga benar-benar industri semen bisa bergerak lebih leluasa," katanya.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Lana Saria menyebut usulan meningkatkan DMO menjadi 30 persen masih dikaji oleh kementerian.
Saat ini pemerintah terus berupaya memastikan pasokan batu bara dalam negeri dapat disalurkan secara merata untuk industri nonkelistrikan.
Kementerian juga akan melakukan audiensi dengan perusahaan tambang. Pemerintah kata dia perlu mencocokan kadar kalori sesuai spesifikasi industri dengan produksi perusahaan tambang.
Di lain pihak Wakil Presiden Direktur sekaligus CEO PT Indika Energy, Tbk. sebagai salah satu produsen batu bara tidak mempermasalahkan usulan tersebut asalkan regulasi yang diterbitkan itu memungkinkan untuk dijalankan.
"Karena kan pada akhrinya apapun di sini kan untuk rakyat selama semuanya equal treament semua harus make sense. Swasta harus melakukannya secara ekonomi masih feasible dan juga apa namanya imposible," terangnya.
DMO merupakan instrumen yang dibuat pemerintah untuk memastikan produksi batu bara RI tetap disalurkan ke dalam negeri di tengah tingginya permintaan ekspor.
Selain itu, DMO juga mewajibkan para pelaku usaha pertambangan batu bara menjual komoditas itu seharga US$70 per metrik ton bagi pembangkit listrik untuk kepentingan umum, serta US$90 per metrik ton bagi industri selain smelter.
Ketetapan harga ini memungkinkan harga produk industri hingga tarif listrik tetap stabil. Sebab, harga komoditas ini secara langsung mempengaruhi beban operasional industri maupun pembangkit.
Kebijakan itu ditetapkan meski nilai batu bara di pasar global sedang melonjak tajam di atas US$250 per metrik ton. DMO dijadikan amunisi bagi pemerintah dalam mengamankan pasokan dalam negeri dengan harga yang telah ditetapkan.
Dalam wacana yang beredar di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian, sejumlah kalangan mendorong adanya kenaikan DMO dari 25 persen dari total produksi menjadi 30 persen dari total produksi.
Sebagai gambaran, tahun ini pemerintah menargetkan produksi sebesar 663 juta ton hingga akhir Desember 2022. Artinya, saat ini, kewajiban pasokan dalam negeri yang harus dipastikan oleh penambang adalah 166 juta ton atau 25 persen dari produksi.
Akan tetapi, bila DMO dinaikkan menjadi 30 persen, maka batu bara untuk kebutuhan dalam negeri harus dipasok 199 juta ton. Sedangkan sisanya dipersilakan dijual untuk pasar luar negeri.
Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam (BGNL) Kementerian Perindustrian Wiwik Pudjiastuti menerangkan bahwa kebutuhan batu bara untuk industri seperti semen bakal melonjak tahun ini.
Proyeksi kebutuhannya sebesar 16,66 juta ton dari hanya 4,45 juta ton tahun lalu. Selain itu dia menyebut bahwa penjualan harga batu bara untuk industri belum merata.
"Kalau diizinkan kami berharap DMO dinaikkan menjadi 30 persen sehingga benar-benar industri semen bisa bergerak lebih leluasa," katanya.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Lana Saria menyebut usulan meningkatkan DMO menjadi 30 persen masih dikaji oleh kementerian.
Saat ini pemerintah terus berupaya memastikan pasokan batu bara dalam negeri dapat disalurkan secara merata untuk industri nonkelistrikan.
Kementerian juga akan melakukan audiensi dengan perusahaan tambang. Pemerintah kata dia perlu mencocokan kadar kalori sesuai spesifikasi industri dengan produksi perusahaan tambang.
Di lain pihak Wakil Presiden Direktur sekaligus CEO PT Indika Energy, Tbk. sebagai salah satu produsen batu bara tidak mempermasalahkan usulan tersebut asalkan regulasi yang diterbitkan itu memungkinkan untuk dijalankan.
"Karena kan pada akhrinya apapun di sini kan untuk rakyat selama semuanya equal treament semua harus make sense. Swasta harus melakukannya secara ekonomi masih feasible dan juga apa namanya imposible," terangnya.
(atk)