Larangan Ekspor Gandum India Disebut Jadi Ancaman Serius Stabilitas Pangan Dalam Negeri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Larangan ekspor gandum yang dilakukan India sangat berisiko bagi stabilitas pangan di dalam negeri. Pasalnya, India merupakan produsen gandum nomor dua terbesar di dunia setelah China dengan kapasitas produksi 107,5 juta ton.
Sementara Indonesia mengimpor gandum tiap tahun sebesar 11,7 juta ton atau setara USD3,45 miliar. "Jadi kalau India melakukan proteksionisme dengan larang ekspor gandum, sangat berisiko pada stabilitas pangan kita," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (19/5/2022).
Dia memaparkan, harga gandum di pasar internasional telah naik 58,8% dalam satu tahun terakhir. Menurutnya, imbas pada inflasi pangan akan menekan daya beli masyarakat.
"Contohnya tepung terigu, mie instan sangat butuh gandum, dan Indonesia tidak bisa produksi gandum. Banyak industri makanan minuman skala kecil yang harus putar otak untuk bertahan di tengah naiknya biaya produksi," urai Bhima.
Kemudian, Bhima menilai, pelarangan ekspor gandum yang belum diketahui sampai kapan waktunya membuat kekurangan pasokan di dalam negeri, hal ini menjadi ancaman serius.
"Perang Ukraina-Rusia sudah membuat stok gandum turun signifikan, ditambah kebijakan India, tentu berimbas signifikan ke keberlanjutan usaha yang membutuhkan gandum," jelasnya.
Dengan begitu, mau tidak mau memberi "PR" bagi pengusaha untuk segera mencari sumber alternatif gandum. Namun di balik masalah ini, menurut Bhima bisa menjadi kesempatan bagi pengusaha untuk memanfaatkan bahan baku selain gandum seperti tepung jagung, singkong, hingga sorgum yang banyak ditemukan di Indonesia.
Terakhir ia menyebut, dampak dari larangan ekpsor gandum oleh India ini bisa menaikkan harga daging dan telur ayam. Sebab, pakan ternak sebagian menggunakan campuran gandum. "Jadi kalau harga gandum naik, harga daging dan telur juga naik," ucapnya.
Maka dari itu, Bhima menyarankan, pemerintah harus segera mempersiapkan strategi untuk mitigasi berlanjutnya ekspor gandum India. Selain itu, pengusaha di sektor makanan minuman dan pelaku usaha ternak juga perlu berkoordinasi mencari jalan keluar bersama dengan pemerintah.
"Sekarang harus dihitung berapa stok gandum di Tanah Air dan berapa alternatif negara penghasil gandum yang siap memasok dalam waktu dekat," kata Bhima.
"Bukan tidak mungkin, Pemerintah Indonesia bersama negara lain melakukan gugatan kepada India ke WTO karena kebijakan unilateral India merugikan konsumen dan industri di Indonesia," pungkasnya.
Sementara Indonesia mengimpor gandum tiap tahun sebesar 11,7 juta ton atau setara USD3,45 miliar. "Jadi kalau India melakukan proteksionisme dengan larang ekspor gandum, sangat berisiko pada stabilitas pangan kita," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (19/5/2022).
Dia memaparkan, harga gandum di pasar internasional telah naik 58,8% dalam satu tahun terakhir. Menurutnya, imbas pada inflasi pangan akan menekan daya beli masyarakat.
"Contohnya tepung terigu, mie instan sangat butuh gandum, dan Indonesia tidak bisa produksi gandum. Banyak industri makanan minuman skala kecil yang harus putar otak untuk bertahan di tengah naiknya biaya produksi," urai Bhima.
Kemudian, Bhima menilai, pelarangan ekspor gandum yang belum diketahui sampai kapan waktunya membuat kekurangan pasokan di dalam negeri, hal ini menjadi ancaman serius.
"Perang Ukraina-Rusia sudah membuat stok gandum turun signifikan, ditambah kebijakan India, tentu berimbas signifikan ke keberlanjutan usaha yang membutuhkan gandum," jelasnya.
Dengan begitu, mau tidak mau memberi "PR" bagi pengusaha untuk segera mencari sumber alternatif gandum. Namun di balik masalah ini, menurut Bhima bisa menjadi kesempatan bagi pengusaha untuk memanfaatkan bahan baku selain gandum seperti tepung jagung, singkong, hingga sorgum yang banyak ditemukan di Indonesia.
Terakhir ia menyebut, dampak dari larangan ekpsor gandum oleh India ini bisa menaikkan harga daging dan telur ayam. Sebab, pakan ternak sebagian menggunakan campuran gandum. "Jadi kalau harga gandum naik, harga daging dan telur juga naik," ucapnya.
Maka dari itu, Bhima menyarankan, pemerintah harus segera mempersiapkan strategi untuk mitigasi berlanjutnya ekspor gandum India. Selain itu, pengusaha di sektor makanan minuman dan pelaku usaha ternak juga perlu berkoordinasi mencari jalan keluar bersama dengan pemerintah.
"Sekarang harus dihitung berapa stok gandum di Tanah Air dan berapa alternatif negara penghasil gandum yang siap memasok dalam waktu dekat," kata Bhima.
"Bukan tidak mungkin, Pemerintah Indonesia bersama negara lain melakukan gugatan kepada India ke WTO karena kebijakan unilateral India merugikan konsumen dan industri di Indonesia," pungkasnya.
(akr)