Mirisnya Sri Lanka, Bensin Habis Mau Impor Nggak Punya Duit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perekonomian Sri Lanka runtuh akibat diterpa masalah utang. Bailout International Monetary Fund (IMF) jalan satu-satunya agar negara tersebut kembali pulih. Demikian disampaikan oleh Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe kepada parlemen pada Rabu (22/6),
"Kami sekarang menghadapi situasi yang jauh lebih serius, lebih dari sekedar kekurangan bahan bakar, listrik, gas, dan makanan. Kami bahkan tidak bisa membeli bahan bakar impor, bahkan untuk uang tunai, akibat beratnya utang yang ditanggung oleh perusahaan petroleum kami, dan kami mulai melihat tanda-tanda kejatuhan ke titik terendah," ujar Wickremesinghe.
Analisa yang suram ini menyeruak ketika pihak berwenang melakukan perbincangan dengan pemberi pinjaman yang berbasis di Washington terkait kesepakatan dana segar untuk negara yang bangkrut ini. Sri Lanka membutuhkan USD6 miliar dalam beberapa bulan mendatang untuk menopang cadangannya, membayar tagihan impor yang membengkak dan menstabilkan mata uangnya.
Sebelumnya, Sri Lanka telah menyelesaikan diskusi awal dengan IMF, dan bertukar pikiran tentang keuangan publik, keberlanjutan utang, sektor perbankan dan jaminan sosial, "Kami bermaksud untuk masuk ke dalam kesepakatan tingkat resmi dengan IMF pada akhir Juli," tambah Wickremesinghe.
Pihak berwenang juga berencana untuk mengadakan konferensi bantuan kredit dengan negara-negara sahabat, termasuk India, Jepang dan Cina, untuk bantuan lebih lanjut. Sri Lanka telah gagal menghentikan krisis ekonomi terburuk yang dihadapinya dalam sejarah kemerdekaannya.
Kekurangan makanan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok yang berkepanjangan berisiko memperparah aksi protes dan dapat menghambat stabilitas politik lebih lanjut. Pada Selasa, Hamilton Reserve Bank Ltd., yang memegang lebih dari USD250 juta dari 5,875% Obligasi Negara Internasional Sri Lanka yang jatuh tempo 25 Juli, mengajukan gugatan di pengadilan federal New York untuk meminta pembayaran penuh pokok dan bunga setelah negara itu gagal bayar bulan lalu.
"Kami sekarang menghadapi situasi yang jauh lebih serius, lebih dari sekedar kekurangan bahan bakar, listrik, gas, dan makanan. Kami bahkan tidak bisa membeli bahan bakar impor, bahkan untuk uang tunai, akibat beratnya utang yang ditanggung oleh perusahaan petroleum kami, dan kami mulai melihat tanda-tanda kejatuhan ke titik terendah," ujar Wickremesinghe.
Analisa yang suram ini menyeruak ketika pihak berwenang melakukan perbincangan dengan pemberi pinjaman yang berbasis di Washington terkait kesepakatan dana segar untuk negara yang bangkrut ini. Sri Lanka membutuhkan USD6 miliar dalam beberapa bulan mendatang untuk menopang cadangannya, membayar tagihan impor yang membengkak dan menstabilkan mata uangnya.
Sebelumnya, Sri Lanka telah menyelesaikan diskusi awal dengan IMF, dan bertukar pikiran tentang keuangan publik, keberlanjutan utang, sektor perbankan dan jaminan sosial, "Kami bermaksud untuk masuk ke dalam kesepakatan tingkat resmi dengan IMF pada akhir Juli," tambah Wickremesinghe.
Pihak berwenang juga berencana untuk mengadakan konferensi bantuan kredit dengan negara-negara sahabat, termasuk India, Jepang dan Cina, untuk bantuan lebih lanjut. Sri Lanka telah gagal menghentikan krisis ekonomi terburuk yang dihadapinya dalam sejarah kemerdekaannya.
Kekurangan makanan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok yang berkepanjangan berisiko memperparah aksi protes dan dapat menghambat stabilitas politik lebih lanjut. Pada Selasa, Hamilton Reserve Bank Ltd., yang memegang lebih dari USD250 juta dari 5,875% Obligasi Negara Internasional Sri Lanka yang jatuh tempo 25 Juli, mengajukan gugatan di pengadilan federal New York untuk meminta pembayaran penuh pokok dan bunga setelah negara itu gagal bayar bulan lalu.
(nng)