Subsidi Energi Bengkak hingga Rp502 Triliun, Pengamat: Hapus Premium!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggaran subsidi energi tahun 2022 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, mencapai Rp502 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp131,5 triliun. Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan kenaikan itu merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang memilih untuk tidak menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) , harga LPG, dan juga tarif listrik.
"Memang ada pertimbangan kalau itu dinaikkan serentak maka akan memicu inflasi dan akhirnya akan menurunkan daya beli, keterpurukan daya beli itu kan belum selesai akibat pandemi, sehingga bisa dipahami kalau pemerintah tidak menaikkan harga energi tadi," kata Fahmy dalam program Market Review di IDX Channel, Kamis (23/6/2022).
Menurut Fahmi, sebenarnya pemerintah bisa saja menyiasati supaya beban anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk membayar subsidi dan kompensasi tidak terlalu besar. ia menyampaikan beberapa upaya.
Pertama adalah menetapkan harga BBM sesuai dengan harga keekonomian. Harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan kepada Pertamina agar sesuai dengan harga keekonomian.
"Jadi kalau pada saat harga minyak dunia meningkat ya Pertamax dan Pertamax ke atas itu harganya juga akan dinaikkan," ujarnya.
Ia menambahkan, kompensasi baru diberikan apabila Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian. Seperti pertamax yang dijual Rp12.500 sementara harga keekonomiannya sudah mencapai Rp16.000.
"Nah selisih sekitar Rp4.000 tadi itu yang ditanggung pemerintah dalam bentuk kompensasi. Tapi kalau diserahkan kepada Pertamina, maka pemerintah tidak perlu membayar kompensasi," tambahnya.
Kemudain yang kedua ia menjelaskan Pertalite apabila dinaikkan akan memberikan dampak terhadap inflasi, tetapi penerimaan subsidi terbesar di Pertalite dan solar.
"Menurut saya ini sesungguhnya bisa dibatasi, diberikan pembatasan-pembatasan agar subsidinya tepat sasaran," ucapnya.
"Memang ada pertimbangan kalau itu dinaikkan serentak maka akan memicu inflasi dan akhirnya akan menurunkan daya beli, keterpurukan daya beli itu kan belum selesai akibat pandemi, sehingga bisa dipahami kalau pemerintah tidak menaikkan harga energi tadi," kata Fahmy dalam program Market Review di IDX Channel, Kamis (23/6/2022).
Menurut Fahmi, sebenarnya pemerintah bisa saja menyiasati supaya beban anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk membayar subsidi dan kompensasi tidak terlalu besar. ia menyampaikan beberapa upaya.
Pertama adalah menetapkan harga BBM sesuai dengan harga keekonomian. Harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan kepada Pertamina agar sesuai dengan harga keekonomian.
"Jadi kalau pada saat harga minyak dunia meningkat ya Pertamax dan Pertamax ke atas itu harganya juga akan dinaikkan," ujarnya.
Ia menambahkan, kompensasi baru diberikan apabila Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian. Seperti pertamax yang dijual Rp12.500 sementara harga keekonomiannya sudah mencapai Rp16.000.
"Nah selisih sekitar Rp4.000 tadi itu yang ditanggung pemerintah dalam bentuk kompensasi. Tapi kalau diserahkan kepada Pertamina, maka pemerintah tidak perlu membayar kompensasi," tambahnya.
Kemudain yang kedua ia menjelaskan Pertalite apabila dinaikkan akan memberikan dampak terhadap inflasi, tetapi penerimaan subsidi terbesar di Pertalite dan solar.
"Menurut saya ini sesungguhnya bisa dibatasi, diberikan pembatasan-pembatasan agar subsidinya tepat sasaran," ucapnya.