Kementerian ESDM: Pertambangan Tanpa Izin Perlu Jadi Perhatian Bersama

Selasa, 12 Juli 2022 - 13:29 WIB
loading...
Kementerian ESDM: Pertambangan...
Kementerian ESDM menegaskan bahwa penanganan kegiatan penambangan tanpa izin terus menjadi perhatian pemerintah. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pertambangan tanpa izin (peti) terus menjadi perhatian Pemerintah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa penanganan isu peti beserta dampaknya butuh upaya bersama dan dukungan semua pihak.

Kementerian ESDM mencatat, terdapat lebih dari 2.700 lokasi peti yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lokasi peti batu bara sekitar 96 lokasi dan peti mineral sekitar 2.645 lokasi (berdasarkan data triwulan III-2021). Salah satu lokasi peti yang terbanyak adalah di Provinsi Sumatera Selatan.

"Peti adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat," ungkap Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi, Selasa (12/7/2022).



Selain itu, peti juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat sekitar. Karena tidak berizin, peti mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya.

"Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya," ujar Sunindyo.

Menghadapi peti, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian RI, terus bekerja sama.

Upaya yang telah dilakukan menurutnya antara lain dengan inventarisasi lokasi peti, penataan wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah Daerah, hingga upaya penegakan hukum.

Dari sisi regulasi, peti juga melanggar UU No 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.

Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.

Sunindyo mengatakan, perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik penambangan ilegal ini tidak lain karena banyaknya dampak negatif dari peti, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.



Dampak sosial kegiatan peti antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.

"Peti juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat," imbuhnya.

Dari sisi lingkungan, lanjut dia, peti akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.

"Kegiatan peti umumnya juga mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri, tidak adanya ventilasi udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang bawah tanah," tandasnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1273 seconds (0.1#10.140)