Kabar Soal Simplikasi Tarif Meningkat, Pelaku Industri Gelisah

Jum'at, 15 Juli 2022 - 11:30 WIB
loading...
Kabar Soal Simplikasi Tarif Meningkat, Pelaku Industri Gelisah
Ilustrasi. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mencapai 12% untuk 2022. Kebijakan itu diterapkan berbarengan dengan simplifikasi struktur tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Teranyar, kini beredar kabar Kemenkeu akan melanjutkan kebijakan simplifikasi hingga menjadi 5 layer. Salah satu aspek yang ditekankan, yaitu golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM); penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B; dan penurunan batas kuota dari 3 juta batang ke 2 juta batang.

Menanggapi hal itu, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan pihaknya menolak rencana pemerintah terkait simplifikasi tersebut. Soalnya, kebijakan itu akan mencekik para pelaku industri tembakau kecil dalam melanjutkan usahanya.

"Pasti nanti dampaknya akan terjadi banyak perusahaan rokok yang kelimpungan. Sekarang beda dari tarif cukai antara golongan 1A dengan 1B cukup signifikan. Artinya, kalau digabung jadi satu yang golongan 1B akan naik tarifnya menuju golongan 1A. Apalagi kalau golongan 1A dinaikkan berarti kan naiknya dua kali," kata Sulami, di Jakarta, baru-baru ini.



Menurut Sulami, akibat penerapan PMK Nomor 192 Tahun 2021 masih amat berat dirasakan oleh pelaku industri tembakau menengah ke bawah. Regulasi itu membuat produksi rokok menurun. "(PMK Nomor 192 Tahun 2021) itu kenaikan tarif cukai 12%. Nah, dampaknya industri mengalami penurunan produksi karena harganya luar biasa," ujarnya.

Dia menyebut yang dibuat menderita oleh pemerintah dari PMK Nomor 192 Tahun 2021 tak hanya pengusaha, melainkan juga para petani tembakau. "Sedangkan petani otomatis penyerapannya berkurang. Akibatnya, pendapatan berkurang. Jadi kalau sudah kayak begitu pendapatan negara juga berkurang. Ujungnya, nanti rokok ilegal yang semakin marak. Pasti larinya ke sana," kata dia.

Sulami juga menambahkan bila pemerintah peduli terhadap keberlangsungan industri tembakau seharusnya fokus terhadap pemberantasan rokok ilegal. Soalnya, keberadaan rokok ilegal membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp53 triliun. Ekonom dari Universitas Negeri Semarang (UNS) Agus Trihatmoko menduga kebijakan simplifikasi nanti malah mendorong terjadi monopoli, yaitu pemain besar menguasai pasar dan mematikan pemain kecil.

"Nah, itu bisa terjadi. Karena yang selalu bisa melakukan efisiensi dan investasi besar, mereka akan efisien dalam proses produksi. Karenanya harga dia sangat kompetitif. Itu baru pakai logika bisnis. Ada yang irasional untuk mematikan yang kecil, perusahaan besar itu jual rugi dulu. Ketika itu terjadi, namanya rokok ini kan menyangkut soal rasa dan selera. Orang ketika sudah beralih ke produk (pemain besar), bisa jadi yang kecil mati dan menengah juga. Oleh sebab itu menjadi kekhawatiran," ujarnya.

Ia mengimbau kepada Kemenkeu untuk mengurungkan niat melakukan penyederhanaan tarif cukai rokok tersebut. "Diurungkan atau ditunda, dilakukan kajian atau riset secara mendalam, ada kebijakan yang ketat. Jadi analisa kami tadi benar atau tidak, buktikan dulu ke masyarakat. Nanti ketemu rumusan yang ideal," jelasnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2674 seconds (0.1#10.140)