Pemerintah Diminta Kurangi Hambatan Ekspor Sawit

Selasa, 02 Agustus 2022 - 21:31 WIB
loading...
Pemerintah Diminta Kurangi...
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Dr Eugenia Mardanugraha
A A A
JAKARTA - Pemerintah diminta melakukan penyesuaian terhadap kebijakan perdagangan yang mengganggu volume ekspor sawit sehingga memberikan dampak luas kepada harga tandan buah segar (TBS) petani dan kondisi over kapasitas di tanki penyimpanan pabrik sawit. Keinginan pemerintah mempercepat ekspor sawit dapat terealisasi asalkan kebijakan yang mendistorsi pasar seperti Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), dan Flush-Out (FO) dihilangkan.

Berdasarkan Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM) FEB Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng perlu dilakukan oleh pemerintah secara lebih berhati-hati supaya tidak mengganggu mekanisme pasar industri sawit di dalam negeri. Kebijakan yang baik adalah yang seminimum mungkin mendistorsi pasar.

Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha mengatakan, kebijakan pemerintah sebaiknya dapat meminimalkan distorsi terhadap pasar. Kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan ekspor berakibat tangki pabrik kelapa sawit (PKS) mengalami over kapasitas. Situasi ini berakibat PKS membatasi pembelian TBS dari petani.

(Baca juga:Luhut Dorong Ekspor Minyak Sawit Besar-besaran)

“Situasi ini membuat harga TBS jatuh, dan membawa penderitaan kepada petani sawit, khususnya petani sawit swadaya. Pembatasan ekspor CPO, meskipun sementara dalam waktu singkat mendistorsi kegiatan perdagangan kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Dampak negatif terbesar dirasakan oleh petani sawit swadaya karena harga TBS tidak kunjung menyesuaikan dengan harga internasional,” ujar Eugenia.

Hasil kajian LPEM UI ini disampaikan dalam Diskusi Virtual “Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya”, Senin (1/8/2022). Hadir dalam diskusi ini antara lain Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga dan Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung.

Dijelaskan Eugenia bahwa hambatan ekspor sawit harus dikurangi atau bahkan dihapuskan. Lantaran regulasi dan perpajakan ekspor sawit saat ini terlalu banyak antara lain Bea Keluar (BK), Pungutan Ekspor (PE), DMO, DPO, Persetujuan Ekspor, dan Flush Out (FO).

“Seluruh hambatan ekspor sebaiknya dikurangi bahkan dihapuskan. Pungutan Ekspor tidak diberlakukan dan BK perlu disederhanakan untuk memperlancar ekspor sampai harga TBS mencapai tingkat yang sesuai harapan petani swadaya,” jelas Eugenia.

(Baca juga:Dongkrak Ekspor Minyak Sawit, Jadikan Perdagangan Panglima)

Eugenia menyebutkan upaya meningkatkan harga TBS sawit petani membutuhkan dukungan peningkatan ekspor crude palm oil (CPO) dalam jumlah yang besar. Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO 1% mampu mengerek harga TBS rerata 0,33%. Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.

“Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740% atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari Rp861 per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi Rp2.250 per kilogram,” urai Eugenia.

Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211%. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.

“Kalau kita memulai dari harga awal TBS Rp1.380 per kg, maka dengan meningkatkan ekspor 200% atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani,” ujarnya.

(Baca juga:Fadli Zon Desak Pemerintah Revisi Larangan Ekspor Minyak Sawit)

Akan tetapi, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini. Menurutnya, semakin tinggi harga CPO, semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO.

Kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Sayangnya pemerintah menetapkan biaya yang bertingkat sesuai dengan kenaikan harga.

LPEM UI sepakat penghapusan kebijakan seperti DMO serta DPO. Solusinya pemerintah menjadikan PE dan BK dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor. “Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor,” ujar Eugenia.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono sepakat hambatan ekspor sawit harus dikurangi karena Indonesia sebagai eksportir sawit terbesar di dunia idealnya menikmati surplus dan manfaat dari tingginya harga CPO di pasar dunia.

“Saya setuju apabila hambatan ekspor sawit dikurangi. Kebijakan ekspor sawit harus dikurangi menjadi dua saja yakni BK dan PE saja,” ujarnya.

Diakui Joko, fokus pemerintah saat ini ekspor sawit kembali lancar dan meningkat. Walaupu di sisi lain, pemerintah juga konsen terhadap minyak goreng. Banyak spekulasi yang menyebutkan kalau ekspor dibebaskan, maka minyak goreng susah lagi.

“Jadi kebijakan pemerintah harus satu paket. Idealnya ekspor berjalan maksimal dalam konteks devisa dan harga TBS. Di sisi lain, ketersediaan minyak goreng dalam negeri mencukupi dari aspek jumlah dan harga tertentu. Perlu kombinasi kebijakan yang baik,” ujarnya.

Joko mengusulkan supaya pemerintah cukup memastikan pasokan sebanyak 2,5 juta ton minyak goreng untuk masyarakat kelompok tertentu. Namun, pemerintah jangan pula mengorbankan volume ekspor sawit yang mencapai 35 juta ton setiap tahunnya.

Menurut Joko, kebijakan DMO belum berjalan optimal saat ini karena kompleksitas dalam penerapannya, sehingga volume ekspor CPO dan RBD Olein belum normal yang berdampak rendahnya harga TBS petani. Pasca pencabutan larangan ekspor, kinerja ekspor CPO dan RBD Olein hanya 1,4 juta ton sepanjang Juni 2022.

“Sedangkan di bulan Juli, ekspor baru 1,2 juta ton memasuki minggu ketiga. Akibatnya, stok nasional diperkirakan 6,7 juta ton pada Juni. Padahal, stok normalnya sebesar 4 juta sampai 4,5 juta ton. Ekspor CPO dan RBD dikatakan normal jika volume ekspor bulanan telah mencapai 3 juta ton,” urai lulusan Fakultas Pertanian UGM ini.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menambahkan bisnis sawit porsi untuk pasar domestik hanya 35% dan sisanya 65% diekspor. Jadi ada yang terganggu terhadap pasokan ekspor, maka selesai semua dan ekspor itu no barrier. DMO dan DPO hapus,” tegas Sahat.

Untuk instrumen pengontrol harga minyak goreng, dia mengusulkan kebijakan tarif untuk menjaga suplai dalam negeri bisa terjamin. “Terpenting masyarakat penghasilan rendah memperoleh harga minyak goreng dengan subsidi bukan BLT,” ujar dia.

Sahat mengatakan, program minyak goreng curah tidak bisa diserahkan ke pihak swasta karena ada sekitar 17.00 titik distribusi seluruh Indonesia. “Untuk menjaga ketersediaan minyak goreng diserahkan ke pemerintah melalui Perum Bulog dan RNI. Kenapa mereka tidak ditugasi mengurus distribusinya, apalagi minyak goreng termasuk 11 komoditas pangan strategis,” ungkap dia.

Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung mengungkapkan terhambatnya ekspor sawit berdampak kepada kehidupan petani di seluruh bidang mulai dari aspek sosial dan ekonomi. Ini terbukti, pendapatan petani sawit saat ini anjlok menjadi Rp200.000 per hektare (ha) dari sebelumnya Rp2,5 juta per ha.

Berdasarkan data Apkasindo per 30 Juli 2022, harga TBS di petani swadaya rerata di kisaran Rp1.448 per kg. Sementara itu, harga TBS petani plasma mencapai Rp1.775 per kg.

“Saat ini, harga TBS petani rerata di bawah ketetapan harga rekomendasi Dinas Perkebunan Provinsi sebesar 5% sampai 21%. Setelah pungutan ekspor ditunda sementara, idealnya harga TBS sudah di antara rentang Rp2.100 - Rp2.250 per kilogram,” kata Gulat.

Gulat mengatakan meskipun pemerintah telah mencabut larangan eskpor sawit, namun karena masih diberlakukan DMO dan DPO, harga TBS petani masih sangat rendah dan sulit naik.

“Setelah larangan ekspor dicabut, harga TBS masih turun. Ini karena ekspor masih terhambat kebijakan DMO, DPO, dan lain-lain. Oleh karena itu, kami minta kebijakan DMO, DPO, dan flush out dihapus supaya industri sawit kembali normal dan harga TBS petani kembali naik,” pinta Gulat.
(dar)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0945 seconds (0.1#10.140)