Mantan Analis Wall Street: Sanksi Barat Malah Positif bagi Rusia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sanksi ekonomi yang dilancarkan Barat terhadap Rusia dinilai telah menjadi bumerang yang malah membawa banyak keuntungan bagi Moskow. Sanksi bertubi-tubi tersebut tak hanya menjadikan Rusia lebih mandiri, tapi juga lebih kaya.
"Sanksi Barat sangat bagus untuk Rusia. Setiap negara yang terancam oleh sanksi AS dipaksa untuk mandiri," kata Hudson dalam sebuah wawancara dengan outlet berita Jerman Junge Welt, yang dilansir Russia Today, Senin (8/8/2022).
Dia mengatakan bahwa sanksi telah secara efektif mendorong Rusia melakukan substitusi impor, dan negara itu kini berada di jalur untuk benar-benar bebas dari ketergantungan pada barang-barang Barat.
"Daripada mengimpor mobil Jerman, Rusia beralih ke China untuk mengembangkan industri otomotifnya sendiri. Rusia sekarang bergerak sangat cepat untuk menggantikan ketergantungannya pada Barat untuk barang-barang manufaktur dengan produksi dalam negerinya sendiri. Satu-satunya hal yang tidak dapat mereka produksi adalah film Walt Disney dan tas tangan Italia," kata ekonom tersebut.
Dia menambahkan bahwa meski Rusia tidak mungkin dapat memproduksi secara massal beberapa barang mewah yang biasa diimpornya, ekonominya sebagian besar akan mandiri dan mencukupi.
Hudson juga mencatat bahwa sanksi, yang ditujukan untuk mengurangi keuntungan Rusia dari ekspor energi, justru malah membawa pendapatan tambahan ke anggaran negara tersebut. “Rusia adalah penerima manfaat besar dari rencana embargo energi Jerman. Semakin sedikit gas yang dijual Rusia, semakin banyak uang yang dihasilkan," katanya merujuk pada harga energi yang meroket seiring dengan penurunan ekspor Rusia.
Sanksi yang menargetkan ekonomi Rusia juga gagal mengacaukan mata uang nasionalnya, rubel. Sebaliknya, hal itu justru telah mempercepat proses de-dolarisasi.
"Bahkan sebelum perang di Ukraina ada upaya untuk menurunkan dolar (namun) tidak ada yang mengharapkan prosesnya dimulai begitu cepa. Tapi Washington telah membekukan semua akun dalam dolar dan euro, jadi Rusia harus keluar dari dolar dan sistemnya. Dan inilah yang membantu rubel Rusia. Padahal, maksud di balik sanksi Barat adalah untuk meruntuhkan rubel agar impor Rusia lebih mahal," tuturnya.
Sebaliknya, langkah pemerintah Rusia yang membalas dengan memutuskan agar minyak, gas, titanium, dan aluminium produksinya harus dibayar oleh Barat dalam rubel. "Dan rubel telah meningkat nilainya. Adalah adil untuk mengatakan bahwa Barat telah menembak dirinya sendiri," cetusnya.
Namun, menurut Hudson, penerima keuntungan terbesar dari sanksi yang diterapkan ke Rusia adalah Amerika Serikat (AS). Hal ini karena Eropa, yang sangat bergantung pada energi Rusia, dihadapkan pada krisis energi dan pangan secara simultan, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memperhatikan hal-hal lain.
"Pada dasarnya, Washington tidak peduli jika Rusia memenangkan perang (di Ukraina), karena AS telah berhasil menghilangkan persaingannya di Eropa, terutama Jerman," tandasnya.
"Sanksi Barat sangat bagus untuk Rusia. Setiap negara yang terancam oleh sanksi AS dipaksa untuk mandiri," kata Hudson dalam sebuah wawancara dengan outlet berita Jerman Junge Welt, yang dilansir Russia Today, Senin (8/8/2022).
Dia mengatakan bahwa sanksi telah secara efektif mendorong Rusia melakukan substitusi impor, dan negara itu kini berada di jalur untuk benar-benar bebas dari ketergantungan pada barang-barang Barat.
"Daripada mengimpor mobil Jerman, Rusia beralih ke China untuk mengembangkan industri otomotifnya sendiri. Rusia sekarang bergerak sangat cepat untuk menggantikan ketergantungannya pada Barat untuk barang-barang manufaktur dengan produksi dalam negerinya sendiri. Satu-satunya hal yang tidak dapat mereka produksi adalah film Walt Disney dan tas tangan Italia," kata ekonom tersebut.
Dia menambahkan bahwa meski Rusia tidak mungkin dapat memproduksi secara massal beberapa barang mewah yang biasa diimpornya, ekonominya sebagian besar akan mandiri dan mencukupi.
Hudson juga mencatat bahwa sanksi, yang ditujukan untuk mengurangi keuntungan Rusia dari ekspor energi, justru malah membawa pendapatan tambahan ke anggaran negara tersebut. “Rusia adalah penerima manfaat besar dari rencana embargo energi Jerman. Semakin sedikit gas yang dijual Rusia, semakin banyak uang yang dihasilkan," katanya merujuk pada harga energi yang meroket seiring dengan penurunan ekspor Rusia.
Sanksi yang menargetkan ekonomi Rusia juga gagal mengacaukan mata uang nasionalnya, rubel. Sebaliknya, hal itu justru telah mempercepat proses de-dolarisasi.
"Bahkan sebelum perang di Ukraina ada upaya untuk menurunkan dolar (namun) tidak ada yang mengharapkan prosesnya dimulai begitu cepa. Tapi Washington telah membekukan semua akun dalam dolar dan euro, jadi Rusia harus keluar dari dolar dan sistemnya. Dan inilah yang membantu rubel Rusia. Padahal, maksud di balik sanksi Barat adalah untuk meruntuhkan rubel agar impor Rusia lebih mahal," tuturnya.
Sebaliknya, langkah pemerintah Rusia yang membalas dengan memutuskan agar minyak, gas, titanium, dan aluminium produksinya harus dibayar oleh Barat dalam rubel. "Dan rubel telah meningkat nilainya. Adalah adil untuk mengatakan bahwa Barat telah menembak dirinya sendiri," cetusnya.
Namun, menurut Hudson, penerima keuntungan terbesar dari sanksi yang diterapkan ke Rusia adalah Amerika Serikat (AS). Hal ini karena Eropa, yang sangat bergantung pada energi Rusia, dihadapkan pada krisis energi dan pangan secara simultan, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memperhatikan hal-hal lain.
"Pada dasarnya, Washington tidak peduli jika Rusia memenangkan perang (di Ukraina), karena AS telah berhasil menghilangkan persaingannya di Eropa, terutama Jerman," tandasnya.
(fai)