5 Pengusaha Keturunan Tionghoa Terkaya di Indonesia, Hartanya Bikin Melongo

Kamis, 18 Agustus 2022 - 21:50 WIB
loading...
5 Pengusaha Keturunan Tionghoa Terkaya di Indonesia, Hartanya Bikin Melongo
Nomor wahid dalam jajaran orang terkaya di Indonesia telah berdiri kokoh dua bersaudara keturunan Tionghoa, yakni Robert Budi dan Michael Hartono. Berikut kisah 5 pengusaha keturunan Tionghoa terkaya di Indonesia. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Nomor wahid dalam jajaran orang terkaya di Indonesia telah berdiri kokoh dua bersaudara pengusaha keturunan Tionghoa , yakni Robert Budi dan Michael Hartono. Pemilik perusahaan rokok Djarum dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) itu tetap mempertahankan posisi teratasnya dalam daftar orang terkaya Indonesia.



Dua bersaudara Hartono telah bertengger di posisi pertama dalam 10 tahun terakhir. Menurut Prof Rhenald, keturunan China atau Tionghoa memiliki prinsip yang berbeda dengan perantau dari negara lain. Jika perantau Yahudi banyak yang menjadi ilmuan, perantau asal China lebih memilih menjadi pedagang.

Prof Rhenald Kasali juga menerangkan jika ada yang bertanya kenapa banyak keturunan Tionghoa yang sukses, hampir semua jawaban mengatakan kepercayaan dan kerja keras. Tak hanya itu, keturunan Tionghoa juga mendidik anak agar tidak hidup boros.



"Kemudian, ilmu berdagang juga sudah diturunkan orang tua sejak kecil. “Jadi ada pekerjaan yang diberikan kepada orang yang dipercaya (yaitu anak),” ujar Prof Rhenald.

Keturunan Tionghoa juga dinilai lebih berani berinvestasi dalam jangka yang panjang. Namun, ada juga yang dinilai lebih perhitungan dan hidup hemat. Lantaran tekad dan kerja keras, berikut 5 daftar pengusaha keturuan Tionghoa terkaya di Indonesia:

1. Budi dan Michael Hartono

Nama Hartono bersaudara ini sudah menjadi langganan di dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Jumlah kekayaan dari pemilik saham mayoritas PT Bank Central Asia Tbk dan Djarum ini mencapai USD42,6 miliar atau setara dengan Rp612,25 triliun.

Robert Budi Hartono atau yang memiliki nama asli Oei Hwie Tjhong, (lahir 28 April 1941) adalah seorang pengusaha Indonesia. Ia merupakan anak kedua dari pendiri perusahaan Djarum yaitu Oei Wie Gwan.

Robert merupakan keturunan Tionghoa-Indonesia. Kakaknya bernama Michael Bambang Hartono alias Oei Hwie Siang. Kekayaan dua bersaudara ini bermula dari Oei Wie Gwan yang membeli usaha kecil dalam bidang kretek bernama Djarum Gramophon serta pada tahun 1951 mengubah namanya menjadi Djarum.

Oei mulai memasarkan kretek dengan merek “Djarum” yang ternyata sukses di pasaran. Pada tahun 1963, pabrik perusahaan Djarum terbakar dan perusahaan sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Oei meninggal tak lama kemudian.

Setelah Oei meninggal, Robert bersama kakaknya Michael Bambang Hartono, melanjutkan usaha tersebut. Djarum kembali bangkit dan memodernisasikan peralatan di pabriknya. Pada tahun 1972 Djarum mulai mengeskpor produk rokoknya ke luar negeri.

Tiga tahun kemudian Djarum memasarkan Djarum Filter, merek pertamanya yang diproduksi menggunakan mesin, diikuti merek Djarum Super yang diperkenalkan pada tahun 1981. Di tangan dua bersaudara Hartono tersebut, Djarum bertumbuh menjadi perusahaan raksasa. Djarum saat ini memiliki pangsa pasar yang besar di Amerika Serikat.

Seiring dengan pertumbuhannya, perusahaan rokok ini menjelma dari perusahaan rokok menjadi Group Bisnis yang berinvestasi di berbagai sektor antara lain perbankan, properti, agrobisnis, elektronik dan multimedia.

2. Keluarga Widjaja

Pada posisi kedua ada Widjaja family dengan kekayaan tercatat sebesar USD9,7 miliar atau senilai dengan Rp138,59 triliun. Keluarga Widjaja mewarisi kerajaan bisnis Eka Tjipta Widjaja, yang meninggal pada Januari 2019 pada usia 98 tahun.

Datang sebagai imigran China ke Indonesia, Eka Tjipta Widjaja mulai menjual biskuit saat remaja. Eka pindah ke Indonesia ketika berusia 9 tahun. Di usianya yang masih sangat muda, Eka yang saat itu masih dipanggil Oei Ek Tjhong pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Tiba di Makassar sekitar tahun 1932, Eka terjun langsung membantu ayahnya yang sudah lebih dulu tiba dan mempunyai toko kecil. Karir bisnis Eka mulai bersinar pada tahun 1980 ketika memutuskan membeli sebidang perkebunan kelapa sawit dengan luas lahan 10 ribu hektar yang berlokasi di Riau.

Untuk menopang usaha perkebunan kelapa sawitnya Eka juga membeli mesin dan pabrik yang bisa memuat hingga 60 ribu ton kelapa sawit. Pada tahun 1981 Eka lalu membeli perkebunan sekaligus pabrik teh dengan luas mencapai 1.000 hektar.

Dia juga menyiapkan pabrik dengan kapasitas 20 ribu ton teh. Tak lantas puas berbisnis kelapa sawit dan teh, Eka juga merambah bisnis bank. Dia kemudian membeli Bank Internasional Indonesia (BII) dengan aset mencapai Rp13 miliar.

Eka lantas merambah ke bisnis kertas. Dia membeli PT Indah Kiat yang bisa memproduksi hingga 700 ribu pulp per tahun dan bisa memproduksi kertas hingga 650 ribu per tahun.

Kemudian ia melebarkan sayap bisnisnya di bidang real estat dan sukses dengan bendera Sinar Mas Group, yang merupakan salah satu konglomerat pada masa Orde Baru. Eka juga membangun ITC Mangga Dua, Green View apartemen yang berada di Roxy, Ambassador di Kuningan, dan sejumlah properti lainnya.

Saat ini Sinar Mas memiliki banyak lini bisnis, mulai dari bidang kertas, real estat, jasa keuangan, kesehatan, agribisnis dan telekomunikasi. Empat putra tertua Widjaja mengawasi kekaisaran yang ia bangun, sementara yang lain telah membangun bisnis mereka sendiri.

3. Anthoni Salim

Pada posisi ketiga ada Anthoni Salim dengan kekayaan USD8,5 miliar setara Rp121,45 triliun. Ia memimpin Salim Group, dengan beragan investasi di bidang makanan, ritel, perbankan, telekomunikasi hingga energi.

Salim adalah CEO Indofood dengan pendapatan sebesar USD5,8 miliar yang merupakan salah satu pembuat mie instan terbesar di dunia.

Ia juga memiliki saham di perusahaan investasi Yang terdaftar di Hong Kong First Pacific dengan aset USD27 miliar di enam negara. Anthoni adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dari almarhum Liem Sioe Liong, seorang taipan yang selama beberapa dekade sangat dekat dengan Presiden Soeharto.

Pada tahun 1998, tepat setelah Suharto jatuh dari kekuasaan, Salims kehilangan Bank Central Asia (BCA). Keluarga Hartonos, yang sekarang menjadi keluarga terkaya, menguasainya bertahun-tahun kemudian.

4. Prajogo Pangestu

Lalu ada Prajogo Pangestu yang merupakan pengusaha keturunan Tionghoa dengan kekayaan USD6,1 miliar. Ia merupakan seorang Taipan kayu terbesar di Indonesia sebelum Krisis Ekonomi 1997 di peringkat nomor 5 orang terkaya RI.

Ia memiliki nama tionghoa, Phang Djun Pen dari pemberian sang ayah. Nama tersebut diberikan oleh sang ayah, karena memiliki arti “burung besar yang terbang tinggi untuk menguak awan mendung”. Dalam mitologi kuno suku khek (orang China Taiwan).

Ayahnya memiliki pekerjaan sebagai seorang penyadap getah karet. Nama ayahnya sendiri ialah Phang Siu On. Seorang Prajogo di masa muda memang mengalami kesulitan ekonomi, karena penghasilan sang ayah terbilang pas-pasan sebagai penyadap getah karet.

Bisnisnya berawal di akhir 70-an di Djajanti Timber Group dan membentuk Barito Pacific. Menurut laporan, pernah mendapatkan konsesi hutan sebanyak 6 juta hektar lebih. Operasi pemotongan kayunya sekarang jauh lebih kecil dari sebelumnya, tetapi kekayaannya masih tertimbun di Tri Polyta Indonesia Tbk, produsen 'polypropylene' terbesar di Indonesia.

Kongsi dengan Kartini Muljadi. Perusahaannya Barito Pacific Timber go public pada tahun 1993 dan mengubah namanya menjadi Barito Pacific setelah mengurangi bisnis kayunya pada tahun 2007. Pada tahun 2007 Barito Pacific mengakuisisi 70% perusahaan petrokimia Chandra Asri, yang juga diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

Pada tahun 2011 Chandra Asri bergabung dengan Tri Polyta Indonesia dan menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di negara itu. Thaioil mengakuisisi 15% saham Chandra Asri pada Juli 2021. Mereka akan mulai mengembangkan situs petrokimia kedua pada tahun 2022.

5. Susilo Wonowidjojo dan Family

Selanjutnya ada Susilo Wonowidjojo yang merupakan anak ketiga dari Surya Wonowidjojo, pendiri Gudang Garam, perusahan rokok kretek di Kediri, Jawa Timur. Pada 2000, ia menggantikan kakaknya Rachman Halim atau Tjoa To Hing (anak pertama Surya Wonowidjojo) sebagai pimpinan Gudang Garam yang meninggal pada 27 Juli 2008 di Singapura.

Susilo telah menjadi direktur utama sejak 2009, sedangkan adiknya Juni Setiawati adalah komisaris utama. Gudang Garam berekspansi ke infrastruktur termasuk pembangunan dan pembangunan jalan tol pada tahun 2019, dan sedang membangun Bandara Dhoho di Kediri, Jawa Timur.

Susilo Wonowidjojo dan keluarganya mendapatkan kekayaan mereka dari pembuat kretek yang diperdagangkan secara publik Gudang Garam, yang memproduksi 90 miliar rokok pada tahun 2019. Pada 2021, Susilo Wonowidjojo dengan harga USD3,4 miliar bertengger dalam 10 besar orang terkaya di Indonesia versi Forbes.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1566 seconds (0.1#10.140)