Efek Kenaikan Solar ke Biaya Logistik Bisa Mencapai 40 Persen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar akan berdampak menekan kinerja logistik. Ketua Umum DPP (ALFI), Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, efek langsung terhadap komponen BBM dalam formula hitungan biaya angkutan darat (trucking) merepresentasi 35-40 persen.
Yukki juga mengatakan, efek domino BBM subsidi naik akan mengerek harga barang konsumsi, dan hal ini yang terberat, apalagi inflasi menjadi perhatian khusus pemerintah untuk tetap ditekan. Belum lagi jika merembet pada sentimen negatif luar negeri, seperti kurs.
Kinerja logistik akan alami tekanan sangat besar, karena komponen BBM dalam angkutan darat cukup tinggi. Apalagi, distribusi barang dengan moda trasnportasi darat secara nasional masih didominasi angkutan darat.
"Sehingga berapapun koofisien kenaikan BBM akan berdampak besar," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (5/9/2022).
Sedangkan efek tidak langsungnya, imbuhnya, yang berkaitan dengan biaya lain seperti harga maintenance dan sparepart juga akan terdongkrak naik akibat tidak langsung dari ongkos produksi dan pengiriman spare part kepada pengusaha/pemilik truk.
Di sisi lain, kata Yukki, belum lagi respon pasar pengguna angkutan, yang pada dasarnya free market, seakan tidak peduli dan membebankan pergeseran harga akibat kenaikan harga BBM kepada pelaku penyedia jasa angkutan.
"Hal ini karena mereka mengangap dasar kenaikan hanya harga BBM sebagai akibat langsung tersebut," tuturnya.
Yukki pun menyadari bahwa kenaikan biaya logistik nasional tidak bisa dihindari lantaran efek domino bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar yang mengalami kenaikan.
Pasalnya, mayoritas pelaku logistik nasional termasuk operator truk pengangkut barang dan logistik selama ini menggunakan BBM bersubsidi karena tuntutan pasar/konsumen yang tinggi atas biaya logistik yang rendah.
"Kami memahami adanya potensi kenaikan cost logistik terutama yang behubungan dengan aktivitas truk barang dan logistik akibat kenaikan BBM Solar bersubsidi tersebut. Namun berapa persen besaran idealnya kenaikan tarif angkutan barang itu mesti dinegosiasikan secara bersama," ujarnya.
Namun disisi lain, ALFI menilai perlu adanya kepastian mengenai ketersediaan supply BBM tanpa henti secara nasional. Fenomena antrian pengisian BBM di SPBU yang kita lihat akhir akhir ini cukup masif dan memprihatinkan dan sudah berdampak kepada kinerja logistik, karena produktifitas barang modal(truck) tidak optimal.
"Supply chain itu bicara reliability and sustainability yang predictable sesusai forecast, pun demikian dalam hal BBM dari supply dan demand," katanya.
Persoalan ketidakseimbangan supply and demand pada BBM Solar bersubsidi untuk angkutan barang dan logistik menjadi masalah serius hingga ke daerah-daerah. Bahkan, ujar Yukki, di daerah-daerah yang mengalami persoalan itu ALFI sudah menginisiasi untuk mengambil peran dan berinovasi dalam membantu PT Pertamina (Persero) untuk mengurai masalah ini.
ALFI juga mendorong terwujudnya ekosistem logistik sebagai solusi jangka panjang mengatasi persoalan logistik sebagai bagian dari supply chain. Komitmen dalam efisiensi layanan logistik menjadi tolok ukur efektifnya kinerja logistik dan dukungan industri lainnya.
"Jadi bisnis kami sangat bergantung juga terhadap industri lain yang menggunakan jasa kami. Efisiensi di sisi produsen sebagai konsumen kami berarti efisiensi di dalam bisnis kami. Sehingga perlu multi sektor dan kelembagaan ini memastikan bisnis logistik berkelanjutan (misal tidak hanya Kemenhub, tapi ada kemendag, kemenperin, kemenkeu, dan lain-lain)," katanya.
Yukki juga mengatakan, efek domino BBM subsidi naik akan mengerek harga barang konsumsi, dan hal ini yang terberat, apalagi inflasi menjadi perhatian khusus pemerintah untuk tetap ditekan. Belum lagi jika merembet pada sentimen negatif luar negeri, seperti kurs.
Kinerja logistik akan alami tekanan sangat besar, karena komponen BBM dalam angkutan darat cukup tinggi. Apalagi, distribusi barang dengan moda trasnportasi darat secara nasional masih didominasi angkutan darat.
"Sehingga berapapun koofisien kenaikan BBM akan berdampak besar," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (5/9/2022).
Sedangkan efek tidak langsungnya, imbuhnya, yang berkaitan dengan biaya lain seperti harga maintenance dan sparepart juga akan terdongkrak naik akibat tidak langsung dari ongkos produksi dan pengiriman spare part kepada pengusaha/pemilik truk.
Di sisi lain, kata Yukki, belum lagi respon pasar pengguna angkutan, yang pada dasarnya free market, seakan tidak peduli dan membebankan pergeseran harga akibat kenaikan harga BBM kepada pelaku penyedia jasa angkutan.
"Hal ini karena mereka mengangap dasar kenaikan hanya harga BBM sebagai akibat langsung tersebut," tuturnya.
Yukki pun menyadari bahwa kenaikan biaya logistik nasional tidak bisa dihindari lantaran efek domino bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar yang mengalami kenaikan.
Pasalnya, mayoritas pelaku logistik nasional termasuk operator truk pengangkut barang dan logistik selama ini menggunakan BBM bersubsidi karena tuntutan pasar/konsumen yang tinggi atas biaya logistik yang rendah.
"Kami memahami adanya potensi kenaikan cost logistik terutama yang behubungan dengan aktivitas truk barang dan logistik akibat kenaikan BBM Solar bersubsidi tersebut. Namun berapa persen besaran idealnya kenaikan tarif angkutan barang itu mesti dinegosiasikan secara bersama," ujarnya.
Namun disisi lain, ALFI menilai perlu adanya kepastian mengenai ketersediaan supply BBM tanpa henti secara nasional. Fenomena antrian pengisian BBM di SPBU yang kita lihat akhir akhir ini cukup masif dan memprihatinkan dan sudah berdampak kepada kinerja logistik, karena produktifitas barang modal(truck) tidak optimal.
"Supply chain itu bicara reliability and sustainability yang predictable sesusai forecast, pun demikian dalam hal BBM dari supply dan demand," katanya.
Persoalan ketidakseimbangan supply and demand pada BBM Solar bersubsidi untuk angkutan barang dan logistik menjadi masalah serius hingga ke daerah-daerah. Bahkan, ujar Yukki, di daerah-daerah yang mengalami persoalan itu ALFI sudah menginisiasi untuk mengambil peran dan berinovasi dalam membantu PT Pertamina (Persero) untuk mengurai masalah ini.
ALFI juga mendorong terwujudnya ekosistem logistik sebagai solusi jangka panjang mengatasi persoalan logistik sebagai bagian dari supply chain. Komitmen dalam efisiensi layanan logistik menjadi tolok ukur efektifnya kinerja logistik dan dukungan industri lainnya.
"Jadi bisnis kami sangat bergantung juga terhadap industri lain yang menggunakan jasa kami. Efisiensi di sisi produsen sebagai konsumen kami berarti efisiensi di dalam bisnis kami. Sehingga perlu multi sektor dan kelembagaan ini memastikan bisnis logistik berkelanjutan (misal tidak hanya Kemenhub, tapi ada kemendag, kemenperin, kemenkeu, dan lain-lain)," katanya.
(akr)