Kisah Pengusaha UMKM Berkelit dari Himpitan Wabah Corona
loading...
A
A
A
Apa boleh buat, kini ia turun langsung menjual kopinya, dibantu seorang barista. “Yang penting bagaimana bisa survive selama korona,” tuturnya. Sebelum pandemi corona melanda, sesungguhnya ia memiliki bisnis sampingan berupa workshop membangun kedai kopi dengan bujet minim. Terakhir sedianya digelar pada 28 Maret silam. Tapi menyusul imbauan dari pemerintah untuk bekerja dari rumah dan untuk menjaga jarak, pelatihan itu dibatalkan.
Dalam satu bulan, sedikitnya tiga kali ia membagi ilmu tentang bisnis kopi. “Saya muter ke Depok, Bogor, Jakarta,” katanya. Sejauh ini, sedikitnya ia sudah menggelar 26 pelatihan. Ada sekitar 200 peserta yang menjadi mentornya. Dari pelatihan, pendapatannya terbilang lumayan. Setiap peserta dikenai fee Rp 425.000 untuk tiga sesi berdurasi 3-4 jam. Mahal? Tidak juga. Ongkos itu, menurutnya, semacam investasi. Dengan investasi, peserta akan termotivasi untuk serius menggeluti bisnis dan memiliki kedai sendiri. “Ada peserta yang dibiayai kantor, sampai saat ini dia tetap saja jadi karyawan,” cetusnya. Singkat cerita,”Seorang pengusaha itu harus berivestasi.”
Selain itu, setelah pelatihan selesai, seorang peserta bebas bertukar pikiran, juga bertukar informasi mengenai penyalur gelas, susu, dan segala tetek bengek dalam bisnis kopi. “Jadi saya ini pemilik kedai kopi yang melahirkan kedai kopi,” tuturnya bangga. Kurang lebih sudah 60 kedai kopi yang lahir sebagai hasil dari pelatihannya. “Sekarang saya sedang berpikir bagaimana melanjutkan pelatihan itu, mungkin bisa menggunakan aplikasi zoom,” ucap ayah satu anak yang hingga saat ini masih rajin membagi tutorial membuat berbagai minuman dari kopi lewat You Tube.
Dodi Lazuardi, pengusaha kue kering di Bandung juga merasakan pahitnya wabah corona. Seperti Sadruddin, semestinya bisnis kue berlabel eclair miliknya panen pada hari-hari ini. Maklum Idul Fitri sudah di depan mata. Apa daya kini omzet usahanya menukik 30 persen. “Permintaan turun, ya produksi juga terpaksa dibatasi,” katanya kepada SINDOnews. Akibat pembatasan produksi, mau tak mau ia merumahkan sebagian karyawannya. Semula karyawannnya ada 15 orang. Sekarang tinggal lima orang. “Itu setelah saya menghitung rasio luas ruang produksi dengan praktik social distancing, ya segitu jumlah maksimalnya,” tuturnya.
Padahal, sejak beberapa tahun lalu usaha yang bermarkas di Kawasan Dago, Bandung Utara, sudah menerapkan sistem daring dalam pemasarannya. “Saya sudah full online, dari pemasaran, pemesanan, sampai pengiriman barang untuk dalam kota,” paparnya. Namun ia mengakui sistem daring sangat membantu dalam menjalankan bisnisnya. “Apalagi sekarang mobilitas masyarakat sedang dibatasi,” katanya seraya bersyukur pasokan bahan baku pembuatan kuenya tak terkendala PSBB.
Pemasaran eclair sendiri sendiri sudah merambah Solo, Yogyakarta, Surabaya, Kalimantan Timur, hingga Sumatera dan Papua. Satu hal yang disyukurinya, dalam kondisi sulit, bisnisnya masih dicari oleh para pelanggan setia. “Saya masih dikejar-kejar konsumen,” tuturnya. “Tak jarang saya dimarahi konsumen,” ujarnya setengah tertawa,”Pusing saya, seperti orang yang punya salah.” Toh ia ogah menolak rezeki. “Kami, pelaku usaha, memang tidak mau kehilangan momen lebaran, masyarakat memang jor-jorannya saat lebaran. Sayang untuk dilewatkan.”
Dalam satu bulan, sedikitnya tiga kali ia membagi ilmu tentang bisnis kopi. “Saya muter ke Depok, Bogor, Jakarta,” katanya. Sejauh ini, sedikitnya ia sudah menggelar 26 pelatihan. Ada sekitar 200 peserta yang menjadi mentornya. Dari pelatihan, pendapatannya terbilang lumayan. Setiap peserta dikenai fee Rp 425.000 untuk tiga sesi berdurasi 3-4 jam. Mahal? Tidak juga. Ongkos itu, menurutnya, semacam investasi. Dengan investasi, peserta akan termotivasi untuk serius menggeluti bisnis dan memiliki kedai sendiri. “Ada peserta yang dibiayai kantor, sampai saat ini dia tetap saja jadi karyawan,” cetusnya. Singkat cerita,”Seorang pengusaha itu harus berivestasi.”
Selain itu, setelah pelatihan selesai, seorang peserta bebas bertukar pikiran, juga bertukar informasi mengenai penyalur gelas, susu, dan segala tetek bengek dalam bisnis kopi. “Jadi saya ini pemilik kedai kopi yang melahirkan kedai kopi,” tuturnya bangga. Kurang lebih sudah 60 kedai kopi yang lahir sebagai hasil dari pelatihannya. “Sekarang saya sedang berpikir bagaimana melanjutkan pelatihan itu, mungkin bisa menggunakan aplikasi zoom,” ucap ayah satu anak yang hingga saat ini masih rajin membagi tutorial membuat berbagai minuman dari kopi lewat You Tube.
Dodi Lazuardi, pengusaha kue kering di Bandung juga merasakan pahitnya wabah corona. Seperti Sadruddin, semestinya bisnis kue berlabel eclair miliknya panen pada hari-hari ini. Maklum Idul Fitri sudah di depan mata. Apa daya kini omzet usahanya menukik 30 persen. “Permintaan turun, ya produksi juga terpaksa dibatasi,” katanya kepada SINDOnews. Akibat pembatasan produksi, mau tak mau ia merumahkan sebagian karyawannya. Semula karyawannnya ada 15 orang. Sekarang tinggal lima orang. “Itu setelah saya menghitung rasio luas ruang produksi dengan praktik social distancing, ya segitu jumlah maksimalnya,” tuturnya.
Padahal, sejak beberapa tahun lalu usaha yang bermarkas di Kawasan Dago, Bandung Utara, sudah menerapkan sistem daring dalam pemasarannya. “Saya sudah full online, dari pemasaran, pemesanan, sampai pengiriman barang untuk dalam kota,” paparnya. Namun ia mengakui sistem daring sangat membantu dalam menjalankan bisnisnya. “Apalagi sekarang mobilitas masyarakat sedang dibatasi,” katanya seraya bersyukur pasokan bahan baku pembuatan kuenya tak terkendala PSBB.
Pemasaran eclair sendiri sendiri sudah merambah Solo, Yogyakarta, Surabaya, Kalimantan Timur, hingga Sumatera dan Papua. Satu hal yang disyukurinya, dalam kondisi sulit, bisnisnya masih dicari oleh para pelanggan setia. “Saya masih dikejar-kejar konsumen,” tuturnya. “Tak jarang saya dimarahi konsumen,” ujarnya setengah tertawa,”Pusing saya, seperti orang yang punya salah.” Toh ia ogah menolak rezeki. “Kami, pelaku usaha, memang tidak mau kehilangan momen lebaran, masyarakat memang jor-jorannya saat lebaran. Sayang untuk dilewatkan.”
(rza)