India Larang Ekspor Beras, Filipina dan Indonesia Bisa Terpukul
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam upaya untuk mengendalikan harga domestik, pemerintah India melarang ekspor beras pecah. Perusahaan jasa finansial global Nomura menilai langkah pengekspor beras terbesar di dunia ini akan berdampak di seluruh Asia.
Selain melarang ekspor beras pecah, pemerintah India juga mengenakan pajak ekspor 20% untuk beberapa jenis beras mulai 9 September 2022. Nomura memperkirakan dampaknya terhadap negara-negara di Asia tidak akan merata. Filipina dan Indonesia diperkirakan akan paling terdampak oleh larangan tersebut.
India menyumbang sekitar 40% dari pengiriman beras global, mengekspor ke lebih dari 150 negara. Ekspor beras India mencapai 21,5 juta ton pada tahun 2021. Jumlah itu lebih dari total ekspor dari empat eksportir biji-bijian terbesar berikutnya, yakni Thailand, Vietnam, Pakistan dan Amerika Serikat.
Tetapi produksi telah menurun sebesar 5,6% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2 September akibat curah hujan monsun di bawah rata-rata, yang mempengaruhi panen.
"Untuk India, Juli dan Agustus adalah bulan paling penting untuk curah hujan, karena mereka menentukan berapa banyak beras yang ditaburkan," kata Kepala Ekonom Sonal Varma, seperti dilansir CNBC, Senin (19/9/2022). Tahun ini, tambah dia, pola hujan monsun yang tidak merata selama bulan-bulan tersebut telah mengurangi produksi.
Menurut Varma, negara-negara bagian India penghasil beras besar seperti Benggala Barat, Bihar dan Uttar Pradesh menerima curah hujan 30% hingga 40% lebih sedikit. Pemerintah India baru-baru ini mengumumkan bahwa produksi beras selama musim monsun Barat Daya antara Juni dan Oktober bisa turun 10 hingga 12 juta ton, yang menyiratkan bahwa hasil panen bisa turun sebanyak 7,7% YoY.
"Dampak larangan ekspor beras oleh India akan dirasakan baik secara langsung oleh negara-negara yang mengimpor dari India maupun secara tidak langsung oleh seluruh importir beras, karena berdampak pada harga beras global," demikian laporan Nomura yang dirilis belum lama ini.
Temuan dari Nomura mengungkapkan bahwa harga beras tetap tinggi tahun ini, dengan kenaikan harga di pasar eceran mencapai sekitar 9,3% YoY pada Juli, dibandingkan dengan 6,6% pada 2022. Inflasi harga konsumen (CPI) beras juga melonjak 3,6% tahun-ke-tahun pada Juli, naik dari 0,5% pada 2022.
Menurut Nomura, Filipina yang mengimpor lebih dari 20% kebutuhan konsumsi berasnya, adalah negara di Asia yang paling berisiko terhadap harga yang lebih tinggi. Inflasi Filipina berada pada 6,3% pada bulan Agustus, di atas kisaran target bank sentral 2% hingga 4%. Mengingat hal itu, larangan ekspor India akan menjadi pukulan tambahan bagi negara itu.
Larangan ekspor beras India juga akan merugikan Indonesia. Indonesia kemungkinan akan menjadi negara kedua yang paling terkena dampak di Asia. Nomura melaporkan bahwa Indonesia mengandalkan impor untuk 2,1% dari kebutuhan konsumsi berasnya. Selain itu, nasi membentuk sekitar 15% dari keranjang CPI makanannya.
Sementara, Singapura yang mengimpor semua berasnya, dengan 28,07% di antaranya berasal dari India pada 2021, diyakini tidak rentan seperti Filipina dan Indonesia. Penyebabnya, pangsa beras di keranjang CPI Singapura cukup kecil.
Konsumen di Singapura cenderung menghabiskan sebagian besar dari pengeluaran mereka untuk layanan, yang biasanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah cenderung menghabiskan sebagian besar pengeluaran mereka untuk makanan.
"Kerentanan perlu dilihat dari perspektif dampak pengeluaran bagi konsumen dan seberapa tergantung negara pada bahan makanan impor," kata Varma.
Di sisi lain, beberapa negara diperkirakan memperoleh untung dari langkah India tersebut. Thailand dan Vietnam sebagai pengekspor beras terbesar kedua dan ketiga di dunia, akan menjadi alternatif yang paling mungkin bagi negara-negara yang ingin mengisi kesenjangan.
Total produksi beras Vietnam adalah sekitar 44 juta ton pada tahun 2021. Sementara, data Statista menunjukkan Thailand memproduksi 21,4 juta ton beras pada 2021, meningkat 2,18 juta ton dari tahun sebelumnya.
Dengan peningkatan ekspor, dan larangan India yang memberikan tekanan pada harga beras, nilai ekspor beras secara keseluruhan akan meningkat dan kedua negara ini akan diuntungkan. "Siapa pun yang saat ini mengimpor dari India akan mencari untuk mengimpor lebih banyak dari Thailand dan Vietnam," kata Varma.
Selain melarang ekspor beras pecah, pemerintah India juga mengenakan pajak ekspor 20% untuk beberapa jenis beras mulai 9 September 2022. Nomura memperkirakan dampaknya terhadap negara-negara di Asia tidak akan merata. Filipina dan Indonesia diperkirakan akan paling terdampak oleh larangan tersebut.
India menyumbang sekitar 40% dari pengiriman beras global, mengekspor ke lebih dari 150 negara. Ekspor beras India mencapai 21,5 juta ton pada tahun 2021. Jumlah itu lebih dari total ekspor dari empat eksportir biji-bijian terbesar berikutnya, yakni Thailand, Vietnam, Pakistan dan Amerika Serikat.
Tetapi produksi telah menurun sebesar 5,6% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2 September akibat curah hujan monsun di bawah rata-rata, yang mempengaruhi panen.
"Untuk India, Juli dan Agustus adalah bulan paling penting untuk curah hujan, karena mereka menentukan berapa banyak beras yang ditaburkan," kata Kepala Ekonom Sonal Varma, seperti dilansir CNBC, Senin (19/9/2022). Tahun ini, tambah dia, pola hujan monsun yang tidak merata selama bulan-bulan tersebut telah mengurangi produksi.
Menurut Varma, negara-negara bagian India penghasil beras besar seperti Benggala Barat, Bihar dan Uttar Pradesh menerima curah hujan 30% hingga 40% lebih sedikit. Pemerintah India baru-baru ini mengumumkan bahwa produksi beras selama musim monsun Barat Daya antara Juni dan Oktober bisa turun 10 hingga 12 juta ton, yang menyiratkan bahwa hasil panen bisa turun sebanyak 7,7% YoY.
"Dampak larangan ekspor beras oleh India akan dirasakan baik secara langsung oleh negara-negara yang mengimpor dari India maupun secara tidak langsung oleh seluruh importir beras, karena berdampak pada harga beras global," demikian laporan Nomura yang dirilis belum lama ini.
Temuan dari Nomura mengungkapkan bahwa harga beras tetap tinggi tahun ini, dengan kenaikan harga di pasar eceran mencapai sekitar 9,3% YoY pada Juli, dibandingkan dengan 6,6% pada 2022. Inflasi harga konsumen (CPI) beras juga melonjak 3,6% tahun-ke-tahun pada Juli, naik dari 0,5% pada 2022.
Menurut Nomura, Filipina yang mengimpor lebih dari 20% kebutuhan konsumsi berasnya, adalah negara di Asia yang paling berisiko terhadap harga yang lebih tinggi. Inflasi Filipina berada pada 6,3% pada bulan Agustus, di atas kisaran target bank sentral 2% hingga 4%. Mengingat hal itu, larangan ekspor India akan menjadi pukulan tambahan bagi negara itu.
Larangan ekspor beras India juga akan merugikan Indonesia. Indonesia kemungkinan akan menjadi negara kedua yang paling terkena dampak di Asia. Nomura melaporkan bahwa Indonesia mengandalkan impor untuk 2,1% dari kebutuhan konsumsi berasnya. Selain itu, nasi membentuk sekitar 15% dari keranjang CPI makanannya.
Sementara, Singapura yang mengimpor semua berasnya, dengan 28,07% di antaranya berasal dari India pada 2021, diyakini tidak rentan seperti Filipina dan Indonesia. Penyebabnya, pangsa beras di keranjang CPI Singapura cukup kecil.
Konsumen di Singapura cenderung menghabiskan sebagian besar dari pengeluaran mereka untuk layanan, yang biasanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah cenderung menghabiskan sebagian besar pengeluaran mereka untuk makanan.
"Kerentanan perlu dilihat dari perspektif dampak pengeluaran bagi konsumen dan seberapa tergantung negara pada bahan makanan impor," kata Varma.
Di sisi lain, beberapa negara diperkirakan memperoleh untung dari langkah India tersebut. Thailand dan Vietnam sebagai pengekspor beras terbesar kedua dan ketiga di dunia, akan menjadi alternatif yang paling mungkin bagi negara-negara yang ingin mengisi kesenjangan.
Total produksi beras Vietnam adalah sekitar 44 juta ton pada tahun 2021. Sementara, data Statista menunjukkan Thailand memproduksi 21,4 juta ton beras pada 2021, meningkat 2,18 juta ton dari tahun sebelumnya.
Dengan peningkatan ekspor, dan larangan India yang memberikan tekanan pada harga beras, nilai ekspor beras secara keseluruhan akan meningkat dan kedua negara ini akan diuntungkan. "Siapa pun yang saat ini mengimpor dari India akan mencari untuk mengimpor lebih banyak dari Thailand dan Vietnam," kata Varma.
(fai)