Transisi Energi Perlu Didukung Kebijakan Insentif Fiskal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gelombang permintaan atas energi terbarukan perlu terus didorong oleh kebijakan yang menarik menuju dekarbonisasi. Pengalaman negara lain, pencapaian target dipengaruhi berbagai kebijakan salah satunya insentif fiskal.
Hal itu sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan tenaga Listrik.
"Regulasi ini mengatur harga listrik dari energi terbarukan yang lebih menarik dari ketentuan sebelumnya," ujar Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris dalam diskusi virtual ertajuk Percepatan Regulasi Transisi Energi, baru-baru ini.
Menurut dia harga listrik dari energi terbarukan masih lebih tinggi dibandingkan energi fosil. Namun, melalui Perpres tersebut seluruh stakeholder termasuk pegiat energi terbarukan telah merumuskan harga yang telah mempertimbangkan aspek perekonomian dan percepatan energi terbarukan.
Selain memberikan aspek legal yang lebih kuat, Perpres ini juga mengatur aspek transisi untuk mempercepat pengurangan pembangkit listrik tenaga uap atau berbahan batu bara. Pembangkit listrik yang ada kemudian berbasis energi baru terbarukan.
Harris mengatakan, porsi 51 persen untuk energi baru terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 menjadi daya tarik bagi investor.
"Sudah banyak badan usaha nasional dan dari luar badan usaha yang tadinya bergerak di migas dan batu bara, mencoba masuk ke energi baru terbarukan," kata dia.
Ketua Komite Energi Terbarukan DPN Apindo Surya Darma menyebutkan sektor energi akan berkompetisi dengan sektor lain dalam investasi energi baru terbarukan. "Tingkat pengembaliannya lebih lama dibanding sektor lain, misalnya energi fosil," kata dia.
Dia mengatakan perubahan ke energi baru terbarukan akan selalu dapat menjadi peluang bagi dunia usaha, apalagi dengan terbitnya Perpres Nomor 112 Tahun 2022.
"Misalnya, diperlukan industri baterai atau industri-industri baru sehingga dunia usaha menyambut positif kondisi ini," ujarnya.
Dia mengingatkan komitmen pemerintah dalam implementasi energi baru terbarukan. "Dalam Perpres Nomor 112 disebutkan untuk tidak lagi membangun pembangkit listrik tenaga uap yang bersumber batu bara," tuturnya.
Namun, dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan, sejumlah turunan batu bara dimasukkan sebagai energi baru. "Jangan sampai menjadi kontradiksi," tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi berpendapat Perpres Nomor 112 sudah komprehensif mengatur transisi energi menuju net zero emission. Namun, menurut dia, harga listrik dari energi baru terbarukan memang menjadi satu tantangan yang cukup sulit.
Untuk itu, Fahmy menyarankan pemerintah agar dapat memberikan insentif fiskal atau bahkan subsidi harga, misalnya, untuk mobil listrik. Menurut dia melalui insentif dari pemerintah dapat mendorong percepatan implementasi energi baru terbarukan. "Tanpa ini, saya kira Perpres Nomor 112 tidak akan bisa diterapkan secara optimal," ujarnya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eddy Soeparno mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam transisi energi. Salah satunya dalam pelaksanaan regulasi energi baru terbarukan. "Kami sedang melakukan dialog dengan seluruh stakeholder untuk mencapai target yang sudah dicanangkan," kata Eddy.
Hal itu sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan tenaga Listrik.
"Regulasi ini mengatur harga listrik dari energi terbarukan yang lebih menarik dari ketentuan sebelumnya," ujar Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris dalam diskusi virtual ertajuk Percepatan Regulasi Transisi Energi, baru-baru ini.
Menurut dia harga listrik dari energi terbarukan masih lebih tinggi dibandingkan energi fosil. Namun, melalui Perpres tersebut seluruh stakeholder termasuk pegiat energi terbarukan telah merumuskan harga yang telah mempertimbangkan aspek perekonomian dan percepatan energi terbarukan.
Selain memberikan aspek legal yang lebih kuat, Perpres ini juga mengatur aspek transisi untuk mempercepat pengurangan pembangkit listrik tenaga uap atau berbahan batu bara. Pembangkit listrik yang ada kemudian berbasis energi baru terbarukan.
Harris mengatakan, porsi 51 persen untuk energi baru terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 menjadi daya tarik bagi investor.
"Sudah banyak badan usaha nasional dan dari luar badan usaha yang tadinya bergerak di migas dan batu bara, mencoba masuk ke energi baru terbarukan," kata dia.
Ketua Komite Energi Terbarukan DPN Apindo Surya Darma menyebutkan sektor energi akan berkompetisi dengan sektor lain dalam investasi energi baru terbarukan. "Tingkat pengembaliannya lebih lama dibanding sektor lain, misalnya energi fosil," kata dia.
Dia mengatakan perubahan ke energi baru terbarukan akan selalu dapat menjadi peluang bagi dunia usaha, apalagi dengan terbitnya Perpres Nomor 112 Tahun 2022.
"Misalnya, diperlukan industri baterai atau industri-industri baru sehingga dunia usaha menyambut positif kondisi ini," ujarnya.
Dia mengingatkan komitmen pemerintah dalam implementasi energi baru terbarukan. "Dalam Perpres Nomor 112 disebutkan untuk tidak lagi membangun pembangkit listrik tenaga uap yang bersumber batu bara," tuturnya.
Namun, dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan, sejumlah turunan batu bara dimasukkan sebagai energi baru. "Jangan sampai menjadi kontradiksi," tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi berpendapat Perpres Nomor 112 sudah komprehensif mengatur transisi energi menuju net zero emission. Namun, menurut dia, harga listrik dari energi baru terbarukan memang menjadi satu tantangan yang cukup sulit.
Untuk itu, Fahmy menyarankan pemerintah agar dapat memberikan insentif fiskal atau bahkan subsidi harga, misalnya, untuk mobil listrik. Menurut dia melalui insentif dari pemerintah dapat mendorong percepatan implementasi energi baru terbarukan. "Tanpa ini, saya kira Perpres Nomor 112 tidak akan bisa diterapkan secara optimal," ujarnya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eddy Soeparno mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam transisi energi. Salah satunya dalam pelaksanaan regulasi energi baru terbarukan. "Kami sedang melakukan dialog dengan seluruh stakeholder untuk mencapai target yang sudah dicanangkan," kata Eddy.
(nng)