Pengaturan Label Halal dalam RUU Ciptaker Akan Hapus Monopoli MUI
loading...
A
A
A
JAKA - Terkait jaminan produk halal (JPH), RUU Ciptakerja memperlihatkan semangat baru dan penuh terobosan. Pasalnya RUU ini mengatur agar JPH lebih mudah, murah, cepat dan melibatkan dukungan masyarakat lebih luas.
Demikian poin penting pernyataan sikap Dewan Pengurus Perkumpulan Institut Halal dan Baik. Lembaga yang didirikan antara lain oleh (alm) KH Sholahudin Wahid atau Gus Sholah itu menegaskan dukungannya terhadap upaya memperkuat, memudahkan dan mempercepat jaminan produk halal melalui Omnibus Law.
"Monopoli MUI dihapus. Dalam RUU Ciptaker, ormas Islam lain bisa memberikan sertifikasi halal. Itu bagus. Kekhawatiran MUI bahwa ini akan menimbulkan ‘konflik fatwa’ kami kira berlebihan dan kurang beralasan," kata Ketua Dewan Pengurus Halal Institut, Andy Soebjakto Molanggato.
(Baca Juga: Ini Draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang Hapus Kewajiban Produk Halal)
Lanjut Andy mengatakan, proses pengesahan RUU Ciptaker memangh akan berliku. "Salah satu sebabnya kira adalah potensi upaya dari pihak-pihak yang kepentingannya dirugikan. Di antara pihak-pihak yang berpotensi merasa 'terganggu' kepentingannya, kalau dalam konteks sertifikasi halal, ya MUI dan LPPOM MUI," kata Andy lagi.
Terkait kekhawatiran akan terjadi konflik fatwa dan kebingungan umat jika JPH tidak lagi dalam satu pintu sebagaimana disampaikan MUI, Halal Institut menilai hal itu tidak perlu. Karena substansi, keilmuan dan kapasitas membuat fatwa halal bukan eksklusif milik MUI.
"Sejak ratusan tahun lalu ulama-ulama kita di berbagai pesantren atau perguruan tinggi memiliki kapasitas itu. Selain itu, mayoritas ulama dan masyarakat muslim di Indonesia kan mazhabnya Sunni, pengikut Imam Syafi’i. Jadi mereka memiliki pemahaman hampir sama dalam mengkaji kehalalan satu produk," papar Andy.
Pelibatan ormas-ormas Islam mainstream dalam penetapan fatwa halal dinilai Andy justru akan semakin menguatkan dan menggandakan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan JPH. ‘Konflik fatwa’ juga tidak akan terjadi karena yang akan berlaku adalah satu produk fatwa. Misalnya, jika satu produk sudah difatwa halal oleh Muhammadiyah maka tidak perlu ada konfirmasi dari NU atau MUI. Demikian pula sebaliknya.
"Perlu juga dicatat, fatwa adalah tahap paling akhir dari pemeriksaan halal yang dilakukan auditor halal/LPH. Standarnya ketat. 99,9% urusan sertifikasi halal selesai pada tahap pemeriksaan. Fatwa hanya gong penutup," sambungnya.
Ditambahkan, perbedaan dalam masalah fiqih yang sifatnya cabang tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat muslim sudah semakin memahami hal ini. "Kekhawatiran bahwa umat akan kebingungan adalah penghinaan terhadap kecerdasan dan kedewasaan umat Islam di Indonesia," tutur Andy.
Bagi Andy, alasan spesifik fatwa tidak boleh lagi dimonopoli MUI adalah untuk menghindari bottle neck (antrian panjang) dalam sertifikasi produk halal. Selama era voluntary MUI hanya sanggup menangani sekitar 50.000-80.000 produk. Padahal setelah mandatory akan muncul kebutuhan jaminan halal untuk jutaan produk per tahun.
"Klaim sepihak bahwa MUI mampu melaksanakan 102 juta fatwa dalam satu tahun justru membuka kecurigaan apa sesungguhnya motivasi MUI? Faktanya dari sekitar 5.000 pengajuan sertifikasi produk halal yang telah dialihkan ke LPPOM dan MUI sejak 17 Oktober 2019 hingga saat ini (Juni 2020) hanya 30 produk yang sudah selesai penetapan fatwa halalnya," urai Andy lagi.
(Baca Juga: Gandeng IFC, Kemenkop UKM Perluas Pasar Produk Halal)
Bagi Andy, gambaran kemudahan terlihat dalam draft RUU Ciptaker karena misalnya, memodifikasi kewajiban sertifikat halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Yakni cukup dengan pernyataan (self declare) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH. "Batas waktu dalam prosesnya lebih singkat dan ada perubahan sanksi administratif maupun sanksi pidana," katanya.
Sementara mengenai pernyataan (Self Declare) halal dari Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, Andy menilai kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi umum pelaku usaha di Indonesia dimana mayoritas mata pencaharian penduduk di Indonesia adalah dari sektor informal, termasuk di dalamnya pelaku usaha mikro dan kecil yang meliputi 99% dari seluruh pelaku usaha (sekitar 64 juta pelaku usaha).
"Pelaku usaha mikro dan kecil yang modalnya terbatas, harus dimudahkan pengurusan jaminan produk halalnya. Agar usaha mereka bertahan atau berkembang tanpa melanggar jaminan produk halal, bisa ditempuh 2 (dua) opsi, yakni subsidi pembiayaan dari pemerintah dan modifikasi atau penurunan level aturan jaminan produk halal. Nah, self declare berbasis standar halal yang dikeluarkan oleh BPJPH itu bentuk modifikasi," jelasnya.
Demikian poin penting pernyataan sikap Dewan Pengurus Perkumpulan Institut Halal dan Baik. Lembaga yang didirikan antara lain oleh (alm) KH Sholahudin Wahid atau Gus Sholah itu menegaskan dukungannya terhadap upaya memperkuat, memudahkan dan mempercepat jaminan produk halal melalui Omnibus Law.
"Monopoli MUI dihapus. Dalam RUU Ciptaker, ormas Islam lain bisa memberikan sertifikasi halal. Itu bagus. Kekhawatiran MUI bahwa ini akan menimbulkan ‘konflik fatwa’ kami kira berlebihan dan kurang beralasan," kata Ketua Dewan Pengurus Halal Institut, Andy Soebjakto Molanggato.
(Baca Juga: Ini Draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang Hapus Kewajiban Produk Halal)
Lanjut Andy mengatakan, proses pengesahan RUU Ciptaker memangh akan berliku. "Salah satu sebabnya kira adalah potensi upaya dari pihak-pihak yang kepentingannya dirugikan. Di antara pihak-pihak yang berpotensi merasa 'terganggu' kepentingannya, kalau dalam konteks sertifikasi halal, ya MUI dan LPPOM MUI," kata Andy lagi.
Terkait kekhawatiran akan terjadi konflik fatwa dan kebingungan umat jika JPH tidak lagi dalam satu pintu sebagaimana disampaikan MUI, Halal Institut menilai hal itu tidak perlu. Karena substansi, keilmuan dan kapasitas membuat fatwa halal bukan eksklusif milik MUI.
"Sejak ratusan tahun lalu ulama-ulama kita di berbagai pesantren atau perguruan tinggi memiliki kapasitas itu. Selain itu, mayoritas ulama dan masyarakat muslim di Indonesia kan mazhabnya Sunni, pengikut Imam Syafi’i. Jadi mereka memiliki pemahaman hampir sama dalam mengkaji kehalalan satu produk," papar Andy.
Pelibatan ormas-ormas Islam mainstream dalam penetapan fatwa halal dinilai Andy justru akan semakin menguatkan dan menggandakan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan JPH. ‘Konflik fatwa’ juga tidak akan terjadi karena yang akan berlaku adalah satu produk fatwa. Misalnya, jika satu produk sudah difatwa halal oleh Muhammadiyah maka tidak perlu ada konfirmasi dari NU atau MUI. Demikian pula sebaliknya.
"Perlu juga dicatat, fatwa adalah tahap paling akhir dari pemeriksaan halal yang dilakukan auditor halal/LPH. Standarnya ketat. 99,9% urusan sertifikasi halal selesai pada tahap pemeriksaan. Fatwa hanya gong penutup," sambungnya.
Ditambahkan, perbedaan dalam masalah fiqih yang sifatnya cabang tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat muslim sudah semakin memahami hal ini. "Kekhawatiran bahwa umat akan kebingungan adalah penghinaan terhadap kecerdasan dan kedewasaan umat Islam di Indonesia," tutur Andy.
Bagi Andy, alasan spesifik fatwa tidak boleh lagi dimonopoli MUI adalah untuk menghindari bottle neck (antrian panjang) dalam sertifikasi produk halal. Selama era voluntary MUI hanya sanggup menangani sekitar 50.000-80.000 produk. Padahal setelah mandatory akan muncul kebutuhan jaminan halal untuk jutaan produk per tahun.
"Klaim sepihak bahwa MUI mampu melaksanakan 102 juta fatwa dalam satu tahun justru membuka kecurigaan apa sesungguhnya motivasi MUI? Faktanya dari sekitar 5.000 pengajuan sertifikasi produk halal yang telah dialihkan ke LPPOM dan MUI sejak 17 Oktober 2019 hingga saat ini (Juni 2020) hanya 30 produk yang sudah selesai penetapan fatwa halalnya," urai Andy lagi.
(Baca Juga: Gandeng IFC, Kemenkop UKM Perluas Pasar Produk Halal)
Bagi Andy, gambaran kemudahan terlihat dalam draft RUU Ciptaker karena misalnya, memodifikasi kewajiban sertifikat halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Yakni cukup dengan pernyataan (self declare) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH. "Batas waktu dalam prosesnya lebih singkat dan ada perubahan sanksi administratif maupun sanksi pidana," katanya.
Sementara mengenai pernyataan (Self Declare) halal dari Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, Andy menilai kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi umum pelaku usaha di Indonesia dimana mayoritas mata pencaharian penduduk di Indonesia adalah dari sektor informal, termasuk di dalamnya pelaku usaha mikro dan kecil yang meliputi 99% dari seluruh pelaku usaha (sekitar 64 juta pelaku usaha).
"Pelaku usaha mikro dan kecil yang modalnya terbatas, harus dimudahkan pengurusan jaminan produk halalnya. Agar usaha mereka bertahan atau berkembang tanpa melanggar jaminan produk halal, bisa ditempuh 2 (dua) opsi, yakni subsidi pembiayaan dari pemerintah dan modifikasi atau penurunan level aturan jaminan produk halal. Nah, self declare berbasis standar halal yang dikeluarkan oleh BPJPH itu bentuk modifikasi," jelasnya.
(akr)