Borong Minyak Timur Tengah, Xi Jinping Desak Pemimpin Arab Ganti Dolar dengan Yuan

Senin, 12 Desember 2022 - 14:09 WIB
loading...
Borong Minyak Timur...
Presiden China Xi Jinping berjabat tangan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman selama KTT G20 di Hangzhou, provinsi Zhejiang, China 4 September 2016. FOTO/REUTERS/Damir Sagolj
A A A
JAKARTA - Pemimpin China Xi Jinping berjanji akan memborong minyak dan gas (migas) dari negara-negara Teluk Arab tanpa mencampuri urusan mereka. Namun demikian, Xi mendesak negara-negara Arab untuk melakukan penjualan energi dalam mata uang yuan China, yang berpotensi menceraikan dolar AS.

Beijing dianggap akan lebih menguntungkan daripada Washington karena perhatian Amerika Serikat (AS) di wilayah tersebut mulai berkurang.Pendekatan China dapat menarik perhatian para pemimpin seperti Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, yang siap untuk memerintah kerajaan kaya minyak itu selama beberapa dekade.

Selama kunjungan Xi ke Arab Saudi baru-baru ini, sang pangeran menyambutnya di pertemuan Dewan Kerjasama Teluk (GCC), dan kemudian di pertemuan puncak para pemimpin Timur Tengah yang lebih luas. "Berdiri di persimpangan sejarah, kita harus memperbarui tradisi persahabatan antara Tiongkok dan GCC," kata Xi, dlansir dari ABC News, Senin (12/12/2022).



China bergantung pada negara-negara Teluk Arab, khususnya Arab Saudi, untuk impor minyak mentah bernilai miliaran dolar untuk menggerakkan ekonominya. "Kerajaan percaya bahwa sumber energi hidrokarbon akan tetap menjadi sumber daya penting untuk memenuhi kebutuhan dunia selama beberapa dekade mendatang," kata Pangeran Mohammed.

Sebagaimana diketahui, harga minyak Minyak mentah Brent diperdagangkan pada Jumat sekitar USD76 per barel, turun dari level tertinggi USD122 pada Juni. Harga yang lebih tinggi dapat mewujudkan impian sang pangeran untuk mengembangkan kota futuristik Neom di Laut Merah untuk merombak ekonomi Saudi.

Xi memuji negara-negara GCC seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab karena mereka secara aktif mencari solusi politik untuk hotspot regional, dan mengundang astronot mereka ke stasiun luar angkasa baru Tiangong China.

Xi juga mengatakan China berencana untuk membangun Pusat Demonstrasi Keamanan Nuklir China-GCC bersama yang akan melatih 300 personel tentang keselamatan dan teknologi nuklir. UEA pun telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Barakah, yang dibangun dengan Korea Selatan di bawah perjanjian ketat bahwa itu tidak akan memperkaya uranium – kemungkinan jalur menuju senjata nuklir.

Tapi mungkin yang paling penting bagi negara-negara Teluk, Xi menekankan negaranya akan tetap menjadi pembeli utama minyak mereka.

"Tiongkok akan terus mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari negara-negara GCC, memperluas impor gas alam cair, memperkuat layanan teknik dalam pengembangan hulu minyak dan gas, serta kerja sama dalam penyimpanan, transportasi, dan pemurnian," kata MrXi.

Presiden Xi memberi tahu para pemimpin Teluk Arab bahwa China akan bekerja untuk membeli migas dalam yuan, sebuah langkah yang akan mendukung tujuan Beijing untuk menetapkan mata uangnya secara internasional dan melemahkan cengkeraman dolar AS pada perdagangan dunia.

Setiap langkah eksportir minyak utama Arab Saudi untuk membuang dolar dalam perdagangan minyaknya akan menjadi langkah politik yang seismik, yang sebelumnya telah diancam oleh Riyadh dalam menghadapi kemungkinan undang-undang AS yang mengekspos anggota OPEC ke tuntutan hukum antimonopoli.

Ditanya tentang hubungan negaranya dengan Washington sehubungan dengan kehangatan yang ditunjukkan kepada Xi, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud mengatakan negara akan terus bekerja dengan semua mitranya.

"Kami tidak percaya pada polarisasi atau memilih di antara pihak," kata sang pangeran dalam konferensi pers setelah pembicaraan.



Meskipun Arab Saudi dan China menandatangani beberapa kesepakatan kemitraan strategis dan ekonomi, analis mengatakan hubungan akan tetap berlabuh sebagian besar oleh kepentingan energi, meskipun perusahaan China telah terjun ke sektor teknologi dan infrastruktur.

"Kekhawatiran energi akan tetap berada di depan dan pusat hubungan," kata Robert Mogielnicki, sarjana residen senior di Institut Negara Teluk Arab di Washington, kepada Reuters.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1872 seconds (0.1#10.140)