Soal Pelabelan BPA Galon Guna Ulang, Produsen Mamin Minta Bukti Ganggu Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) dari Aspadin Jawa Tengah dengan tegas menolak wacana kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan mewajibkan pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang. Alasannya, kebijakan ini jelas akan merugikan industri yang memproduksi kemasan ini dan belum adanya bukti empiris bahwa air galon guna ulang ini menyebabkan gangguan kesehatan bagi para konsumen.
“Paparan yang disampaikan BPOM terkait adanya bahaya kesehatan kemasan galon guna ulang ini terkesan hanya untuk menakut-nakuti masyarakat saja. Hal itu terlihat dari semua paparan yang disampaikan BPOM tidak ada bukti empirisnya. Termasuk bukti dari peneliti UGM yang mengatakan bahwa air kemasan ini bisa menyebabkan infertilitas, ini juga tidak ada bukti empirisnya sama sekali,” ujar anggota Gapmmi yang juga pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) DPD Jawa Tengah, Willy Bintoro Chandra.
Dia menceritakan apa yang terjadi dalam acara diskusi pelabelan BPA galon guna ulang yang digelar BPOM di Yogyakarta baru-baru ini. Saat itu, BPOM menghadirkan narasumbernya adalah peneliti dari Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Ayu Puspandari, yang menyampaikan hasil kajiannya dengan menghitung burden of disease atau beban biaya penyakit dari dampak paparan BPA.
Menurutnya, beban biaya kesehatan terkait infertilitas yang disebabkan paparan BPA air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang mencapai Rp 16 sampai dengan Rp 30,6 triliun.
“Saya langsung protes saat itu. Saya bilang ke dia, kalau bicara di depan umum itu harus jelas, benar dan ada bukti empirisnya. Saya minta papernya ke dia, tapi enggak dikasih. Jadi saya menganggap apa yang disampaikan peneliti UGM saat itu bohong-bohongan doang,” ujarnya.
Willy menegaskan, bahwa belum ada bukti sampai saat ini yang menyatakan AMDK galon guna ulang ini telah menyebabkan infertilitas.
“Jadi, bagaimana mungkin sesuatu yang belum ada buktinya, ada peneliti yang dengan bangganya bisa menghitung kerugian kesehatan yang disebabkan. Ini kan hanya menakut-nakuti masyarakat namanya dan membuat gaduh saja karena tidak ada buktinya sama sekali,” katanya.
Saat itu, menurut Willy, tidak ada tanggapan sama sekali dari peneliti UGM terkait pertanyaan yang disampaikannya itu. “Dia diam saja waktu itu dan moderatornya hanya menyampaikan semua masukan akan ditampung dan dikaji lagi,” ucapnya.
Saat itu, Kepala Balai Besar POM Yogyakarta juga hanya membacakan paparan yang sama seperti yang disampaikan BPOM Pusat pada acara-acara serupa, di mana BPOM telah menemukan migrasi BPA yang melebihi batas ambang aman di enam kota di Indonesia, yaitu Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.
“Paparan yang disampaikan BPOM terkait adanya bahaya kesehatan kemasan galon guna ulang ini terkesan hanya untuk menakut-nakuti masyarakat saja. Hal itu terlihat dari semua paparan yang disampaikan BPOM tidak ada bukti empirisnya. Termasuk bukti dari peneliti UGM yang mengatakan bahwa air kemasan ini bisa menyebabkan infertilitas, ini juga tidak ada bukti empirisnya sama sekali,” ujar anggota Gapmmi yang juga pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) DPD Jawa Tengah, Willy Bintoro Chandra.
Dia menceritakan apa yang terjadi dalam acara diskusi pelabelan BPA galon guna ulang yang digelar BPOM di Yogyakarta baru-baru ini. Saat itu, BPOM menghadirkan narasumbernya adalah peneliti dari Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Ayu Puspandari, yang menyampaikan hasil kajiannya dengan menghitung burden of disease atau beban biaya penyakit dari dampak paparan BPA.
Menurutnya, beban biaya kesehatan terkait infertilitas yang disebabkan paparan BPA air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang mencapai Rp 16 sampai dengan Rp 30,6 triliun.
“Saya langsung protes saat itu. Saya bilang ke dia, kalau bicara di depan umum itu harus jelas, benar dan ada bukti empirisnya. Saya minta papernya ke dia, tapi enggak dikasih. Jadi saya menganggap apa yang disampaikan peneliti UGM saat itu bohong-bohongan doang,” ujarnya.
Willy menegaskan, bahwa belum ada bukti sampai saat ini yang menyatakan AMDK galon guna ulang ini telah menyebabkan infertilitas.
“Jadi, bagaimana mungkin sesuatu yang belum ada buktinya, ada peneliti yang dengan bangganya bisa menghitung kerugian kesehatan yang disebabkan. Ini kan hanya menakut-nakuti masyarakat namanya dan membuat gaduh saja karena tidak ada buktinya sama sekali,” katanya.
Saat itu, menurut Willy, tidak ada tanggapan sama sekali dari peneliti UGM terkait pertanyaan yang disampaikannya itu. “Dia diam saja waktu itu dan moderatornya hanya menyampaikan semua masukan akan ditampung dan dikaji lagi,” ucapnya.
Saat itu, Kepala Balai Besar POM Yogyakarta juga hanya membacakan paparan yang sama seperti yang disampaikan BPOM Pusat pada acara-acara serupa, di mana BPOM telah menemukan migrasi BPA yang melebihi batas ambang aman di enam kota di Indonesia, yaitu Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.