Mengupas 3 Strategi Rusia untuk Melemahkan Dolar AS

Minggu, 18 Desember 2022 - 10:59 WIB
loading...
Mengupas 3 Strategi...
Rusia terus berupaya melemahkan dominasi dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang pembayaran Internasional, berikut beberapa strategi yang dilakukan Moskow. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Rusia terus berupaya melemahkan dominasi dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang pembayaran Internasional. Dimana sanksi ekonomi yang menghujani Moskow, justru dinilai analis memberikan efek negatif terhadap dolar AS.

Terlihat dari mata uang Rubel Rusia yang terus berdiri kokoh di tengah gelombang sanksi Barat yang tidak berhenti terhadap Kremlin akibat agresi militernya ke Ukraina pada 24 Februari 2022, lalu. Bahkan Rubel sempat menjadi mata uang terbaik di dunia pada awal-awal Perang Rusia Ukraina pecah di awal tahun.



Sempat jadi yang terlemah, Rubel semakin kokoh hingga bulan Mei 2022 dengan lonjakan mencapai 20%. Meski sedikit menyusut pada September, tapi Rubel masih mencatatkan kenaikan 19,6% terhadap the greenback.

Rusia disebut telah cukup lama ingin menumbangkan Dolar yang mendominasi pembayaran global. Konflik yang terjadi dimanfaatkan Moskow untuk menyusun strategi dalam upaya melemahkan Dolar AS, di antaranya yakni:

1. Kerek Suku Bunga

Nilai tukar Rubel sempat merosot pada awal Maret hingga menyentuh RUB 150 per USD, untuk menjadi yang terlemah sepanjang sejarah. Dibandingkan akhir tahun 2021, Rubel terpantau merosot lebih dari 101%.

Semua itu akibat dari sanksi Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan sekutunya, dimana setidaknya 7 bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional atau yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.



Ditambah AS juga juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri. Saat itu cadangan devisa Rusia sebesar USD 643 miliar yang sebagian besar berada di Luar Negeri, tidak dapat digunakan untuk mengintervensi pelemahan Rubel.

Namun Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) dan pemerintah Kremlin merespons dengan cepat untuk membalikkan kekuatan Rubel. Salah satunya dengan mendongkrak suku bunga saat itu dari 9,5% menjadi 20% pada awal Maret, lalu.

Setelah mata uang menguat, CBR kembali menekan suku bunga. Pemerintah Rusia menerapkan kebijakan capital control menjadi kunci yang membuat rubel terus menguat. Kebijakan capital control memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel.

2. Konversi

Jurus Rusia lainnya untuk melemahkan dolar AS yakni kebijakan yang mewajibkan perusahaan Rusia mengkonversi 80% valuta asing menjadi rubel. Selain itu, warga Rusia sebelumnya juga dilarang mengirim uang ke luar negeri, kebijakan tersebut kemudian dilonggarkan dengan memperbolehkan transfer maksimal USD 10.000/bulan per individu.

3. Bayar Minyak Rusia dengan Rubel

Rusia juga meminta gas dan minyak yang diimpor oleh negara-negara Eropa dibayar menggunakan Rubel. Selain itu negara pecahan Uni Soviet ini juga menerapkan penggunaan mata uang masing-masing (Rubel dan Yuan/CNY) saat berdagang dengan China.

Hal itu terbukti berhasil dengan mata uang Rubel yang terus menanjak naik. Kebangkitan nilai tukar Rubel, membuat dolar AS yang sedang kuat-kuatnya tumbang.

- Rubel Saat Ini

Kondisi Rubel saat ini menjelang akhir 2022, terbilang fluktuatif meski masih dalam tren penguatan. Pada 9 Desember, kemarin terpantau Rubel menguat menuju level 62 pada awal perdagangan.

Rubel memulihkan beberapa kerugian pekan sebelumnya di tengah aset Rusia dibayangi tekanan dari pelemahan harga minyak dan ketidakpastian terkait dampak pembatasan harga minyak Rusia.

Namun kembali pada Kamis 15 Desember kemarin, Rubel Rusia mencapai level terlemahnya terhadap dolar AS dalam lebih dari lima bulan sebelum memangkas kerugian karena batas harga Barat pada ekspor minyak Rusia meningkatkan tekanan pada penjualan.

Rubel turun menjadi 64,95 terhadap dolar AS pada awal perdagangan di Moskow untuk menjadi yang terendah sejak 6 Juli. Kemudian menutup perdangan dengan penurunan 0,8% untuk sesi hari itu di RUB 64,53 per USD.

Analis Bank of Russia mengatakan, minggu ini ekonomi negara dan keuangan pemerintah menghadapi tekanan dari embargo Uni Eropa atas ekspor minyak Rusia. Ditambah pemberlakuan batas harga 60 dolar AS per barel yang diberlakukan oleh G7, Uni Eropa dan Australia.

Pengamat juga menerangkan, Rubel bisa terus menguat jika Rusia bisa menemukan jalan keluar dari konflik Ukraina, tetapi sebaliknya akan jeblok jika perang terus berlarut-larut.

Sementara itu Presiden Rusia Vladimir Putin sempat mengklaim mata uang dolar Amerika Serikat, Euro, hingga Pound Sterling Inggris tidak akan laku lagi dalam perdagangan internasional. Menurutnya dolar AS dan beberapa lainnya akan kehilangan kredibilitasnya sebagai alat tukar transaksi di perdagangan internasional.

Putin dalam Forum Ekonomi Negara-negara Timur di Vladivostok menambahkan, negara-negara barat telah merusak fondasi sistem ekonomi global. Ada kehilangan kepercayaan pada dolar (AS), Euro, dan Pound Sterling sebagai mata uang untuk melakukan transaksi.

Sambung Putin juga menekankan, sejumlah negara mulai beralih ke mata uang lain, terutama Yuan China. "Selangkah demi selangkah kami menjauh dari penggunaan mata uang yang tidak dapat diandalkan dan dikompromikan ini," ujar Putin seperti dikutip dari Russia Today.

"Omong-omong berdasarkan statistik, bahkan sekutu-sekutu AS secara bertahap mulai mengurangi tabungan dan pembayaran mereka dalam dolar," terang Putin.

Putin juga mencatat bahwa Gazprom dan mitra dagang dari China setuju untuk membayar gas dalam mata uang Rubel dan Yuan dalam porsi 50-50. Sebelumnya, China dan Rusia disebut Putin berkomitmen untuk lebih sering menggunakan mata uang nasional sendiri.

(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1687 seconds (0.1#10.140)