BBM Ramah Lingkungan, B30 Energi Alami untuk Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beberapa tahun belakangan ini pemerintah Indonesia telah berkomitmen menggunakan biodiesel sebagai salah satu alternatif bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Program nyatanya adalah peresmian Biodiesel 30 Persen (B30) oleh Presiden Joko Widodo pada akhir 2019.
Presiden Jokowi saat ini menegaskan bahwa kehadiran B30 untuk mengurangi impor migas dan menekan ketergantungan bahan bakar fosil dengan memanfaatkan kelapa sawit yang melimpah ruah di Indonesia.
Kepala Badan Pengembangan SDM Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM Wiratmaja mengatakan, impor minyak Indonesia saat ini sekitar 800.000 barel per hari dari konsumsi total 1,5-1,6 juta barel.
"Jika program biodiesel ini berkembang, Indonesia bukan mengimpor BBM, namun dapat mengekspor biofuel karena termasuk jenis BBM bersih, ramah lingkungan, dan tentu ini dapat terus diperbarui," sebutnya, dalam sebuah diskusi virtual yang diadakan Kementerian ESDM.
B30 adalah BBM campuran 30% minyak kelapa sawit dan 70% solar untuk mesin diesel. (Baca: Viral! Keluhan Nasabah Tak Bisa Cairkan Asuransi Pendidikan Setelah 17 Tahun)
Kementerian ESDM juga sudah menetapkan harga indeks pasar (HIP) untuk biodiesel pada Juli 2020, yakni Rp7.321 per liter. Besaran angka tersebut mengalami kenaikan dari bulan Juni sebelumnya yang berada di angka Rp6.941 per liter.
Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi), mengatakan, kualitas B30 ini sama dengan 95% solar murni. Tentu lebih ramah lingkungan karena efisiensi pembakaran dan emisi gas buangnya lebih bersih. Dia juga meyakini biodiesel tidak mengandung sulfur.
Konsumsi spesifik bahan bakar mobil berbahan bakar B30 sedikit lebih besar dari yang berbahan solar murni, namun tidak memengaruhi tenaga mobil.
"Biodiesel mengandung atom oksigen sehingga relatif lebih suka air. Maka dari itu, tangki-tangki yang akan digunakan untuk menyimpan B30 harus terlebih dahulu bebas dari kontaminasi air. Selanjutnya harus seperti itu, jangan terkena air," katanya.
Tatang juga menambahkan, biodiesel memiliki daya melarutkan yang baik. "B30 dapat membersihkan kerak di dinding tangki penyimpan dan saluran bahan bakar sehingga bisa menyumbat saringan bahan bakar," ujarnya.
Karena itu, saat baru menggunakan B30, pada pekan pertama perlu mengganti saringan bahan bakar. Biodiesel tidak kompatibel dengan material-material logam seperti tembaga, timah, seng, kuning, dan perunggu, serta bahan nonlogam seperti karet alam maupun karet sintesis.
"Jangan lupa B30 hendaknya tidak berkontak dengan onderdil yang dibuat dari material-material itu. Lebih baik dari bahan baja karbon, baja antikarat, aluminium, teflon, viton, atau nylon 6/6," sebut Tatang.
Berbicara mengenai biodiesel, Provinsi Jawa Tengah sudah lebih dulu menggunakan biodiesel sejak 2018 dengan 20% minyak kelapa sawitnya. Setelah menjadi program pusat, Jawa Tengah menaikkannya lagi sehingga kini sudah sama menjadi 30% atau B30.
Eni Lestari, Kabid Energi Baru dan Terbarukan dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, mengatakan, mereka menjadi pelopor penggunaan biodiesel karena mempunyai Perda RUED (Rencana Umum Energi Daerah) Nomor 12 Tahun 2018. Kini sudah 16 provinsi yang juga memiliki kebijakan yang sama dan selalu dimonitor oleh Kemendagri dan Dewan Energi Nasional di bawah Kementerian ESDM.
"Provinsi yang belum selalu didorong, karena ini wajib untuk provinsi menyusun kebijakan Perda RUED tersebut," ujarnya.
Di Jawa Tengah juga mengalami tantangan tersendiri. Pada awal hadirnya biodisel ialah ketersediaan lahan masih fokus untuk pangan, belum untuk energi. Potensi tanaman di Jawa Tengah banyak komoditas namun justru bukan kelapa sawit. Potensi bionabati lain, yakni jagung, daun nyamplung, dan jarak namun masih dalam tahap pengembangan belum komersial. (Baca juga: Hasil Autopsi, Editor Metro TV Tewas karena Dua Tusukan)
Di Jawa Tengah sudah banyak masyarakat yang menggunakan B30 dengan berbagai alasan. Namun, Eni berharap masyarakat dapat melihat ini sebagai upaya untuk menjaga lingkungan agar polusi udara tidak semakin membahayakan. "Pemerintah selalu berusaha membangun gaya hidup ramah lingkungan. Bukan hanya tugas kami, juga pihak lain, komunitas, dan lembaga swadaya dapat menyosialisasikan hal tersebut," harapnya.
Jika di Jawa Tengah sudah lebih dulu menggunakan biodiesel dan mendapat respons positif dari warganya. Lain hal di Medan, Sumatera Utara yang masih menimbulkan kontroversi. Padian Adi Siregar dari LAPK Medan menceritakan, justru BBM dari alam mendapat pertentangan dari masyarakat sipil yang concern terhadap lingkungan. Padahal, kelapa sawit sangat banyak di Medan.
Terlebih posisi LPAK menjadi konsorsium Walhi, atau misalnya konsorsium lembaga-lembaga lingkungan juga di Sumatera Utara. "Energi terbarukan lain seperti listrik pun sudah dikembangkan namun membutuhkan lahan yang luas. Sehingga bagi aktivis lingkungan menganggap ini permasalahan," jelasnya.
Bagi kelompok yang concern pada pengembangan energi terbarukan atau biodiesel tentu itu menjadi kesulitannya. "Akhirnya kami konfrontasi antar-NGO atau masyarakat sipil yang kemudian melakukan edukasi atau pembinaan," tutur Padian. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Ditambah masyarakatnya yang heterogen dan masih berbasis pada harga murah sehingga energi fosil masih menjadi pilihan utama. Dia menegaskan, kini pengembangannya biodiesel lebih cenderung pada misi-misi ideologi. Sementara potensi pasar di Sumatera Utara masih belum dapat dieksplor.
Berkaitan dengan lahan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, biodiesel yang termasuk jenis energi yang baru ini juga kemungkinan didorong oleh produsen kelapa sawit. "Mereka produknya melimpah dan mendapat kesulitan pemasaran di luar negeri karena berbagai masalah. Akhirnya didorong untuk digunakan di dalam negeri sebagai campuran bahan bakar," kata Widjanarka Endro Saksono, pembina YLKI. (Ananda Nararya)
Presiden Jokowi saat ini menegaskan bahwa kehadiran B30 untuk mengurangi impor migas dan menekan ketergantungan bahan bakar fosil dengan memanfaatkan kelapa sawit yang melimpah ruah di Indonesia.
Kepala Badan Pengembangan SDM Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM Wiratmaja mengatakan, impor minyak Indonesia saat ini sekitar 800.000 barel per hari dari konsumsi total 1,5-1,6 juta barel.
"Jika program biodiesel ini berkembang, Indonesia bukan mengimpor BBM, namun dapat mengekspor biofuel karena termasuk jenis BBM bersih, ramah lingkungan, dan tentu ini dapat terus diperbarui," sebutnya, dalam sebuah diskusi virtual yang diadakan Kementerian ESDM.
B30 adalah BBM campuran 30% minyak kelapa sawit dan 70% solar untuk mesin diesel. (Baca: Viral! Keluhan Nasabah Tak Bisa Cairkan Asuransi Pendidikan Setelah 17 Tahun)
Kementerian ESDM juga sudah menetapkan harga indeks pasar (HIP) untuk biodiesel pada Juli 2020, yakni Rp7.321 per liter. Besaran angka tersebut mengalami kenaikan dari bulan Juni sebelumnya yang berada di angka Rp6.941 per liter.
Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi), mengatakan, kualitas B30 ini sama dengan 95% solar murni. Tentu lebih ramah lingkungan karena efisiensi pembakaran dan emisi gas buangnya lebih bersih. Dia juga meyakini biodiesel tidak mengandung sulfur.
Konsumsi spesifik bahan bakar mobil berbahan bakar B30 sedikit lebih besar dari yang berbahan solar murni, namun tidak memengaruhi tenaga mobil.
"Biodiesel mengandung atom oksigen sehingga relatif lebih suka air. Maka dari itu, tangki-tangki yang akan digunakan untuk menyimpan B30 harus terlebih dahulu bebas dari kontaminasi air. Selanjutnya harus seperti itu, jangan terkena air," katanya.
Tatang juga menambahkan, biodiesel memiliki daya melarutkan yang baik. "B30 dapat membersihkan kerak di dinding tangki penyimpan dan saluran bahan bakar sehingga bisa menyumbat saringan bahan bakar," ujarnya.
Karena itu, saat baru menggunakan B30, pada pekan pertama perlu mengganti saringan bahan bakar. Biodiesel tidak kompatibel dengan material-material logam seperti tembaga, timah, seng, kuning, dan perunggu, serta bahan nonlogam seperti karet alam maupun karet sintesis.
"Jangan lupa B30 hendaknya tidak berkontak dengan onderdil yang dibuat dari material-material itu. Lebih baik dari bahan baja karbon, baja antikarat, aluminium, teflon, viton, atau nylon 6/6," sebut Tatang.
Berbicara mengenai biodiesel, Provinsi Jawa Tengah sudah lebih dulu menggunakan biodiesel sejak 2018 dengan 20% minyak kelapa sawitnya. Setelah menjadi program pusat, Jawa Tengah menaikkannya lagi sehingga kini sudah sama menjadi 30% atau B30.
Eni Lestari, Kabid Energi Baru dan Terbarukan dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, mengatakan, mereka menjadi pelopor penggunaan biodiesel karena mempunyai Perda RUED (Rencana Umum Energi Daerah) Nomor 12 Tahun 2018. Kini sudah 16 provinsi yang juga memiliki kebijakan yang sama dan selalu dimonitor oleh Kemendagri dan Dewan Energi Nasional di bawah Kementerian ESDM.
"Provinsi yang belum selalu didorong, karena ini wajib untuk provinsi menyusun kebijakan Perda RUED tersebut," ujarnya.
Di Jawa Tengah juga mengalami tantangan tersendiri. Pada awal hadirnya biodisel ialah ketersediaan lahan masih fokus untuk pangan, belum untuk energi. Potensi tanaman di Jawa Tengah banyak komoditas namun justru bukan kelapa sawit. Potensi bionabati lain, yakni jagung, daun nyamplung, dan jarak namun masih dalam tahap pengembangan belum komersial. (Baca juga: Hasil Autopsi, Editor Metro TV Tewas karena Dua Tusukan)
Di Jawa Tengah sudah banyak masyarakat yang menggunakan B30 dengan berbagai alasan. Namun, Eni berharap masyarakat dapat melihat ini sebagai upaya untuk menjaga lingkungan agar polusi udara tidak semakin membahayakan. "Pemerintah selalu berusaha membangun gaya hidup ramah lingkungan. Bukan hanya tugas kami, juga pihak lain, komunitas, dan lembaga swadaya dapat menyosialisasikan hal tersebut," harapnya.
Jika di Jawa Tengah sudah lebih dulu menggunakan biodiesel dan mendapat respons positif dari warganya. Lain hal di Medan, Sumatera Utara yang masih menimbulkan kontroversi. Padian Adi Siregar dari LAPK Medan menceritakan, justru BBM dari alam mendapat pertentangan dari masyarakat sipil yang concern terhadap lingkungan. Padahal, kelapa sawit sangat banyak di Medan.
Terlebih posisi LPAK menjadi konsorsium Walhi, atau misalnya konsorsium lembaga-lembaga lingkungan juga di Sumatera Utara. "Energi terbarukan lain seperti listrik pun sudah dikembangkan namun membutuhkan lahan yang luas. Sehingga bagi aktivis lingkungan menganggap ini permasalahan," jelasnya.
Bagi kelompok yang concern pada pengembangan energi terbarukan atau biodiesel tentu itu menjadi kesulitannya. "Akhirnya kami konfrontasi antar-NGO atau masyarakat sipil yang kemudian melakukan edukasi atau pembinaan," tutur Padian. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Ditambah masyarakatnya yang heterogen dan masih berbasis pada harga murah sehingga energi fosil masih menjadi pilihan utama. Dia menegaskan, kini pengembangannya biodiesel lebih cenderung pada misi-misi ideologi. Sementara potensi pasar di Sumatera Utara masih belum dapat dieksplor.
Berkaitan dengan lahan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, biodiesel yang termasuk jenis energi yang baru ini juga kemungkinan didorong oleh produsen kelapa sawit. "Mereka produknya melimpah dan mendapat kesulitan pemasaran di luar negeri karena berbagai masalah. Akhirnya didorong untuk digunakan di dalam negeri sebagai campuran bahan bakar," kata Widjanarka Endro Saksono, pembina YLKI. (Ananda Nararya)
(ysw)