Menilik Kinerja Saham Bank Digital: Bersinar di 2021, Pudar di 2022
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tahun 2022 nasib bank digital tak seindah tahun lalu. Sempat menjadi primadona di bursa, kini harga saham sejumlah bank digital turun signifikan. Kondisi pasar yang berubah drastis menjadi penyebab utama harga saham bank digital turun tajam.
Berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia, pada 2021 saham bank digital mencatat lonjakan signifikan, berkisar 79% hingga 4.368%. Saham PT Allobank Indonesia Tbk (BBHI), misalnya, menjadi saham bank digital paling moncer pada tahun lalu setelah menutup buku dengan kenaikan harga mencapai 4.368%.
Namun, per 19 Desember 2022, mayoritas saham bank digital mencatat rapor merah. Saham-saham bank digital sejak awal tahun kompak mengalami penurunan berkisar 6,27% hingga 76%. Per 19 Desember, sebanyak 5 dari 7 bank bahkan mencatat penurunan lebih dari 50% secara year to date. Di antaranya Bank Jago (76%), Bank Neo Commerce (67,4%), Bank Raya (75,5%), Allobank (54,5%), dan Bank Bumi Arta (65,4%)
Analis Samuel Sekuritas Farras Farhan menilai penurunan kinerja saham bank digital tahun ini merupakan bagian dari dinamika pasar yang bergerak cepat. Kondisi pasar pada 2020-2021 dan 2022 menurutnya sangat kontras.
Pada 2020 atau tahun pertama pandemi Covid-19 berlangsung, laju perekonomian mengalami kontraksi akibat kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Di akhir 2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun 2,1%.
Di saat mobilitas masyarakat dibatasi, berbagai kegiatan masih tetap berlangsung, mulai dari kegiatan pendidikan, perkantoran, hingga belanja dapat difasilitasi dengan teknologi. Tak heran sektor teknologi mencuat dan dianggap sebagai sektor yang mampu menjembatani kegiatan ekonomi selama masa pandemi.
Menurut Farras, kenaikan saham-saham teknologi terjadi secara global. Di Amerika Serikat, indeks Nasdaq yang berisi saham-saham teknologi tumbuh 47,58% (yoy) pada 2020, jauh melampaui kinerja indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average.
Di Indonesia, indeks saham teknologi (IDXTechno) baru diperkenalkan pada 25 Januari 2021. Di penghujung tahun tersebut, IDXTechno mampu mencetak kenaikan 380,14%, sangat jauh melampaui pertumbuhan IHSG yang hanya 10,08%.
“Kita harus flashback untuk memahami mengapa sektor teknologi tahun 2020 hingga 2021 booming. Selain adaptasi teknologi yang kuat selama pandemi, kebijakan stimulus moneter juga berpengaruh,” jelas Farras, dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).
Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menambahkan, kebijakan stimulus yang dilakukan banyak negara membuat tingkat suku bunga menjadi rendah. Para pengelola dana kelas kakap (hedge fund) dan investor pada umumnya terpacu untuk mencari instrumen yang memberikan keuntungan lebih besar.
Menurut Tirta, pada masa pandemi, terutama di periode 2020-2021, saham-saham yang terkait dengan Old Economy tidak terlalu diminati karena bisnis emiten-emiten tersebut tengah tertekanan akibat pandemi. Saham-saham New Economy yang belum dilirik pun menjadi incaran sehingga mendorong kenaikan harga yang signifikan.
“Kondisi ekonomi yang tertekan membuat saham-saham Old Economy dihindari. Investor pun akhirnya berlomba-lomba masuk ke perusahaan yang terkait teknologi seperti bank digital. Harga sahamnya pun booming, bahkan di saat bank-bank tersebut belum memiliki produk aplikasi,” jelasnya.
Menurut Tirta, memasuki tahun 2022 faktor-faktor yang mendukung kenaikan saham-saham bank digital mulai pudar. Stimulus besar-besaran perlahan memang membangkitkan sisi permintaan. Namun, sisi pasokan tidak mampu mengimbagi tren pemulihan permintaan sehingga menimbulkan gangguan pada rantai pasok global.
Serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 telah memicu kenaikan inflasi global yang tak terkendali. Perang telah memicu kenaikan harga komoditas energi, mulai dari minyak hingga batu bara.
Tak pelak, sejumlah negara diterjang inflasi. AS mencatat inflasi 8,5% pada Juli 2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Zona Eropa kemudian menyusul rekor inflasi tertinggi di Oktober 2022 sebesar 10,6%. Tidak ketinggalan, Inggris yang sudah talak tiga dengan Uni Eropa juga mencatat rekor inflasi 11,1% di bulan yang sama.
“Kenaikan inflasi membuat biaya dana semakin mahal dan perusahaan teknologi yang sebelumnya didukung banyak dana murah, mulai ditinggalkan dan investor untuk melakukan rebalancing ke sektor-sektor potensial, seperti saham energi yang mendapat windfall dari harga komoditas,” jelas Tirta.
Merujuk pada data Bursa Efek Indonesia, kinerja IDXTechno sampai dengan 19 Desember 2022 merupakan yang paling jeblok. IDXTechno telah anjlok 43,12% (year to date) sedangkan indeks IDXEnergy melonjak 88% (year to date).
Wakil Direktur Utama PT Bank Jago Tbk. Arief Harris Tandjung menjelaskan, kondisi pasar dan faktor sentimen yang memengaruhinya merupakan sesuatu yang di luar kontrol perusahaan. Menurutnya, kenaikan harga saham perseroan pada 2020-2021 tidak terlepas dari persepsi investor yang menilai Bank Jago sebagai perusahaan teknologi.
Valuasi saham Bank Jago pun kerap dibandingkan dengan perusahaan teknologi di luar negeri yang amat tinggi. Tak heran, saat kondisi pasar berbalik, valuasi perusahaan teknologi pun mengalami normalisasi.
"Sekarang yang terpenting bagi kami adalah memiliki kinerja yang baik karena pada ujungnya valuasi akan mengarah ke kinerja. Bila kinerjanya baik, valuasi akan bercermin pada kinerja tersebut," jelas Arief.
Menurut Arief, Bank Jago saat ini memiliki permodalan yang solid untuk mendukung ekspansi. Sejak Rights Issue II Maret 2021, modal Bank Jago telah mencapai Rp8 triliun atau sudah melampaui jumlah modal minimum bank umum sebesar Rp3 triliun yang harus dipenuhi pada akhir 2022.
Ke depan, Bank Jago akan fokus untuk memperdalam kolaborasi dengan partner dan juga memperluas kerja sama dengan ekosistem untuk mendukung pertumbuhan kinerja berkelanjutan. Sampai dengan September 2022, Bank Jago telah bermitra dengan 38 partner, tersebar dari perusahaan multifinance, fintech, hingga perusahaan sekuritas.
Berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia, pada 2021 saham bank digital mencatat lonjakan signifikan, berkisar 79% hingga 4.368%. Saham PT Allobank Indonesia Tbk (BBHI), misalnya, menjadi saham bank digital paling moncer pada tahun lalu setelah menutup buku dengan kenaikan harga mencapai 4.368%.
Namun, per 19 Desember 2022, mayoritas saham bank digital mencatat rapor merah. Saham-saham bank digital sejak awal tahun kompak mengalami penurunan berkisar 6,27% hingga 76%. Per 19 Desember, sebanyak 5 dari 7 bank bahkan mencatat penurunan lebih dari 50% secara year to date. Di antaranya Bank Jago (76%), Bank Neo Commerce (67,4%), Bank Raya (75,5%), Allobank (54,5%), dan Bank Bumi Arta (65,4%)
Analis Samuel Sekuritas Farras Farhan menilai penurunan kinerja saham bank digital tahun ini merupakan bagian dari dinamika pasar yang bergerak cepat. Kondisi pasar pada 2020-2021 dan 2022 menurutnya sangat kontras.
Pada 2020 atau tahun pertama pandemi Covid-19 berlangsung, laju perekonomian mengalami kontraksi akibat kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Di akhir 2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun 2,1%.
Di saat mobilitas masyarakat dibatasi, berbagai kegiatan masih tetap berlangsung, mulai dari kegiatan pendidikan, perkantoran, hingga belanja dapat difasilitasi dengan teknologi. Tak heran sektor teknologi mencuat dan dianggap sebagai sektor yang mampu menjembatani kegiatan ekonomi selama masa pandemi.
Menurut Farras, kenaikan saham-saham teknologi terjadi secara global. Di Amerika Serikat, indeks Nasdaq yang berisi saham-saham teknologi tumbuh 47,58% (yoy) pada 2020, jauh melampaui kinerja indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average.
Di Indonesia, indeks saham teknologi (IDXTechno) baru diperkenalkan pada 25 Januari 2021. Di penghujung tahun tersebut, IDXTechno mampu mencetak kenaikan 380,14%, sangat jauh melampaui pertumbuhan IHSG yang hanya 10,08%.
“Kita harus flashback untuk memahami mengapa sektor teknologi tahun 2020 hingga 2021 booming. Selain adaptasi teknologi yang kuat selama pandemi, kebijakan stimulus moneter juga berpengaruh,” jelas Farras, dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).
Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menambahkan, kebijakan stimulus yang dilakukan banyak negara membuat tingkat suku bunga menjadi rendah. Para pengelola dana kelas kakap (hedge fund) dan investor pada umumnya terpacu untuk mencari instrumen yang memberikan keuntungan lebih besar.
Menurut Tirta, pada masa pandemi, terutama di periode 2020-2021, saham-saham yang terkait dengan Old Economy tidak terlalu diminati karena bisnis emiten-emiten tersebut tengah tertekanan akibat pandemi. Saham-saham New Economy yang belum dilirik pun menjadi incaran sehingga mendorong kenaikan harga yang signifikan.
“Kondisi ekonomi yang tertekan membuat saham-saham Old Economy dihindari. Investor pun akhirnya berlomba-lomba masuk ke perusahaan yang terkait teknologi seperti bank digital. Harga sahamnya pun booming, bahkan di saat bank-bank tersebut belum memiliki produk aplikasi,” jelasnya.
Menurut Tirta, memasuki tahun 2022 faktor-faktor yang mendukung kenaikan saham-saham bank digital mulai pudar. Stimulus besar-besaran perlahan memang membangkitkan sisi permintaan. Namun, sisi pasokan tidak mampu mengimbagi tren pemulihan permintaan sehingga menimbulkan gangguan pada rantai pasok global.
Serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 telah memicu kenaikan inflasi global yang tak terkendali. Perang telah memicu kenaikan harga komoditas energi, mulai dari minyak hingga batu bara.
Tak pelak, sejumlah negara diterjang inflasi. AS mencatat inflasi 8,5% pada Juli 2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Zona Eropa kemudian menyusul rekor inflasi tertinggi di Oktober 2022 sebesar 10,6%. Tidak ketinggalan, Inggris yang sudah talak tiga dengan Uni Eropa juga mencatat rekor inflasi 11,1% di bulan yang sama.
“Kenaikan inflasi membuat biaya dana semakin mahal dan perusahaan teknologi yang sebelumnya didukung banyak dana murah, mulai ditinggalkan dan investor untuk melakukan rebalancing ke sektor-sektor potensial, seperti saham energi yang mendapat windfall dari harga komoditas,” jelas Tirta.
Merujuk pada data Bursa Efek Indonesia, kinerja IDXTechno sampai dengan 19 Desember 2022 merupakan yang paling jeblok. IDXTechno telah anjlok 43,12% (year to date) sedangkan indeks IDXEnergy melonjak 88% (year to date).
Wakil Direktur Utama PT Bank Jago Tbk. Arief Harris Tandjung menjelaskan, kondisi pasar dan faktor sentimen yang memengaruhinya merupakan sesuatu yang di luar kontrol perusahaan. Menurutnya, kenaikan harga saham perseroan pada 2020-2021 tidak terlepas dari persepsi investor yang menilai Bank Jago sebagai perusahaan teknologi.
Valuasi saham Bank Jago pun kerap dibandingkan dengan perusahaan teknologi di luar negeri yang amat tinggi. Tak heran, saat kondisi pasar berbalik, valuasi perusahaan teknologi pun mengalami normalisasi.
"Sekarang yang terpenting bagi kami adalah memiliki kinerja yang baik karena pada ujungnya valuasi akan mengarah ke kinerja. Bila kinerjanya baik, valuasi akan bercermin pada kinerja tersebut," jelas Arief.
Menurut Arief, Bank Jago saat ini memiliki permodalan yang solid untuk mendukung ekspansi. Sejak Rights Issue II Maret 2021, modal Bank Jago telah mencapai Rp8 triliun atau sudah melampaui jumlah modal minimum bank umum sebesar Rp3 triliun yang harus dipenuhi pada akhir 2022.
Ke depan, Bank Jago akan fokus untuk memperdalam kolaborasi dengan partner dan juga memperluas kerja sama dengan ekosistem untuk mendukung pertumbuhan kinerja berkelanjutan. Sampai dengan September 2022, Bank Jago telah bermitra dengan 38 partner, tersebar dari perusahaan multifinance, fintech, hingga perusahaan sekuritas.
(uka)