Perlakuan Khusus ke TKA Asal China Bisa Jadi Bumerang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beragam masalah seketika bermunculan seiring sejalan dengan penyebaran pandemi Covid-19. Namun ada satu masalah yang sejak awalnya sudah kompleks lalu kini semakin runyam setelah kehebohan berita pandemi mulai menurun. Nama masalahnya adalah ketenagakerjaan . Jangankan menemukan solusi, merunutkan masalahnya saja sungguh sukar.
Problematika ketenagakerjaan yang paling sering digunakan adalah lemahnya daya saing. Mudah diucapkan tapi penjabarannya akan sangat panjang, penuh perdebatan, dan tarik-menarik kepentingan. Penggunaan tenaga kerja asing khususnya asal Tiongkok kerap dimunculkan menjadi isu hangat. Namun solusi untuk menyelesaikan kelemahan para pekerja lokal juga tidak kunjung ditemukan.
Bahkan di masa pandemi ini kabar TKA semakin negatif karena dikhawatirkan menjadi pembawa virus dari negara asalnya. Terakhir mencuat berita Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang dipanggil oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pasalnya Ida memperjuangkan agar investasi yang masuk ke Indonesia lebih serius mengembangkan kemampuan SDM di Tanah Air.
Sikap Menteri Ida sangat sejalan dengan pendapat pengamat ekonomi dari INDEF Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, permasalahan utama yang harus dibereskan terletak pada screening investasi yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, proses seleksi investasi yang berorientasi kepentingan nasional Indonesia masih terhitung lemah.
"Sebaiknya diperketat pengawasan di awal. Bila ada investasi yang mau masuk, pastikan berapa banyak kebutuhan TKA-nya. Apa benar tidak ada tenaga kerja lokal yang keahliannya setara dengan TKA tersebut," ujar Bhima saat dihubungi. ( Baca juga:Menaker Ida: Corona Masih Ada, Pekerja dan Masyarakat Diminta Waspada )
Dia mencurigai ada cara berpikir yang aneh, karena jumlah tenaga kerja yang ada di Indonesia mencapai 137 juta orang. Bahkan untuk keahlian tertentu seperti di sektor konstruksi dan pertambangan, sudah sangat umum bila SDM Indonesia banyak yang dipekerjakan oleh perusahaan internasional.
"Kenapa tidak mendahulukan SDM yang ada di dalam negeri saja," ujarnya.
Kemudian juga dia menilai harus ada jaminan TKA yang datang mesti memiliki keahlian. Ini pun juga perlu diperketat, bahkan harus memiliki validasi. Dia mengkhawatirkan ada beberapa temuan TKA di perusahaan pengolahan nikel ternyata memiliki keahlian yang rendah.
"Ini masalah serius. Bagaimana cara pemerintah memverifikasi persyaratan selama ini sehingga benar-benar keahlian TKA yang masuk memang tidak ada di Indonesia," tegasnya.
Dengan porsi yang mayoritas, dia "menggarisbawahi" derasnya arus TKA asal Tiongkok yang terus masuk di tengah-tengah situasi pandemi. Menurutnya, ini bisa menjadi bumerang karena jadi catatan negatif juga di mata para investor lainnya.
"Investasi kan bukan cuma Tiongkok, tapi kenapa mereka yang mendapat perlakuan spesial? Perusahaan asing negara lain saja patuh menunggu sampai situasi pandemi berakhir untuk melakukan perjalanan dari luar negeri ke Indonesia. Jangan ada perlakuan khusus ke satu negara tertentu, karena akan berdampak pada kepercayaan investor dari negara selain Tiongkok," imbuhnya.
Sementara itu, Department Head Industry & Regional Research Bank Mandiri, Dendi Ramdani, menilai solusi ketanagakerjaan cukup sederhana, yaitu dengan menaati regulasi yang ada. Menurutnya, integritas melaksanakan aturan adalah keharusan. Dengan demikian aturan main adil dan bisa dipercaya seluruh kalangan.
"Persoalan investasi asing hanya soal aturan harus ditegakkan. Jangan sampai disiplin di level bawah saja," ujar Dendi.
Dendi mengingatkan, di masa lalu ada masanya investasi Jepang dan AS menjadi prioritas seperti Tiongkok sekarang. Karena itu menurut dia, proses Tiongkok hingga berperan penting berjalan cukup alamiah.
"Level teknologinya sepadan dengan sumber daya di Indonesia. Beda dengan teknologi Jepang yang masuk biasanya akan butuh kualifikasi SDM tinggi," terangnya.
Namun dia mengingatkan, berita soal besarnya investasi Tiongkok di Indonesia juga sering dilebih-lebihkan masyarakat karena faktanya tidak sebesar itu. Karena bila dibandingkan dengan investasi Tiongkok di negara ASEAN lain, ternyata masih jauh lebih besar dibandingkan penempatan di Indonesia.
"Dibandingkan Thailand dan Vietnam, masih jauh lebih kecil di Indonesia. Permasalahannya hanya penegakan hukum di sana lebih baik. Aturan investasi harus ditegakkan untuk ketenagakerjaan ataupun lingkungan. Kemudian semua aturan harusnya ditegakkan untuk pihak asing ataupun dari dalam negeri sendiri," tambahnya.
Pengamat Bisnis dari Inventure Indonesia, Yuswohady, juga memiliki proyeksi tren ketenagakerjaan di tengah kondisi New Normal. Menurutnya, satu hal yang paling menentukan ke depan adalah arus manusia yang semakin terbatas dibandingkan masa sebelumnya. Ini karena kondisi pandemi berlawanan dengan globalisasi. Setiap negara akan membatasi keluar masuk orang bahkan hingga empat tahun ke depan.
"Semua itu demi memantau penyebaran. Karena itu seharusnya jadi potensi menguntungkan SDM lokal. Ini juga termasuk brand lokal karena brand asing terkendala masuk Tanah Air," ujar Yuswohady.
Tapi dia juga mengingatkan potensi tersebut juga butuh kerja keras dan upaya maksimal. Para SDM harus mau mengembangkan kemampuannya untuk memacu daya saing. Alhasi, mereka harus meningkatkan standarnya ke level global.
"Justru SDM domestik bekerja keras menaikkan levelnya menjadi standar kualitas global," ujarnya.
Lebih dari itu, menurutnya juga akan muncul keahlian baru setelah belajar dari krisis di masa pandemi. Hal paling umum adalah tren digital transformasi seketika dibutuhkan semua pihak. Mereka ingin secepatnya mengadopsi teknologi digital bahkan hingga di sektor UMKM.
"Teknologinya harus bisa mendukung low touch sesuai tren di masa pandemi," ujarnya.
Selain itu harus dibangun juga roadmap future skill. Meskipun sulit untuk mengharapkan ada diskusi intens antara pemerintah dan swasta. Dirinya mencontohkan, saat ini ada beberapa sektor yang naik daun, misalnya agrikultur yang diuntungkan kondisi pandemi. Tapi pelakunya tidak dapat menerapkan gaya lama namun harus berbasis digital. Sektor lain yang sangat krusial tentu saja e-commerce hingga pendidikan.
"Sektor ini butuh pasar SDM yang harus disiapkan. Kemudian juga harus ditanggulangi sektor yang akan menantang seperti turisme. Tentu wisata tidak akan sama lagi sehingga SDM yang dibutuhkan karena semakin butuh platform digital. Indonesia harus menciptakan SDM untuk mengisi," terangnya.
Problematika ketenagakerjaan yang paling sering digunakan adalah lemahnya daya saing. Mudah diucapkan tapi penjabarannya akan sangat panjang, penuh perdebatan, dan tarik-menarik kepentingan. Penggunaan tenaga kerja asing khususnya asal Tiongkok kerap dimunculkan menjadi isu hangat. Namun solusi untuk menyelesaikan kelemahan para pekerja lokal juga tidak kunjung ditemukan.
Bahkan di masa pandemi ini kabar TKA semakin negatif karena dikhawatirkan menjadi pembawa virus dari negara asalnya. Terakhir mencuat berita Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang dipanggil oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pasalnya Ida memperjuangkan agar investasi yang masuk ke Indonesia lebih serius mengembangkan kemampuan SDM di Tanah Air.
Sikap Menteri Ida sangat sejalan dengan pendapat pengamat ekonomi dari INDEF Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, permasalahan utama yang harus dibereskan terletak pada screening investasi yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, proses seleksi investasi yang berorientasi kepentingan nasional Indonesia masih terhitung lemah.
"Sebaiknya diperketat pengawasan di awal. Bila ada investasi yang mau masuk, pastikan berapa banyak kebutuhan TKA-nya. Apa benar tidak ada tenaga kerja lokal yang keahliannya setara dengan TKA tersebut," ujar Bhima saat dihubungi. ( Baca juga:Menaker Ida: Corona Masih Ada, Pekerja dan Masyarakat Diminta Waspada )
Dia mencurigai ada cara berpikir yang aneh, karena jumlah tenaga kerja yang ada di Indonesia mencapai 137 juta orang. Bahkan untuk keahlian tertentu seperti di sektor konstruksi dan pertambangan, sudah sangat umum bila SDM Indonesia banyak yang dipekerjakan oleh perusahaan internasional.
"Kenapa tidak mendahulukan SDM yang ada di dalam negeri saja," ujarnya.
Kemudian juga dia menilai harus ada jaminan TKA yang datang mesti memiliki keahlian. Ini pun juga perlu diperketat, bahkan harus memiliki validasi. Dia mengkhawatirkan ada beberapa temuan TKA di perusahaan pengolahan nikel ternyata memiliki keahlian yang rendah.
"Ini masalah serius. Bagaimana cara pemerintah memverifikasi persyaratan selama ini sehingga benar-benar keahlian TKA yang masuk memang tidak ada di Indonesia," tegasnya.
Dengan porsi yang mayoritas, dia "menggarisbawahi" derasnya arus TKA asal Tiongkok yang terus masuk di tengah-tengah situasi pandemi. Menurutnya, ini bisa menjadi bumerang karena jadi catatan negatif juga di mata para investor lainnya.
"Investasi kan bukan cuma Tiongkok, tapi kenapa mereka yang mendapat perlakuan spesial? Perusahaan asing negara lain saja patuh menunggu sampai situasi pandemi berakhir untuk melakukan perjalanan dari luar negeri ke Indonesia. Jangan ada perlakuan khusus ke satu negara tertentu, karena akan berdampak pada kepercayaan investor dari negara selain Tiongkok," imbuhnya.
Sementara itu, Department Head Industry & Regional Research Bank Mandiri, Dendi Ramdani, menilai solusi ketanagakerjaan cukup sederhana, yaitu dengan menaati regulasi yang ada. Menurutnya, integritas melaksanakan aturan adalah keharusan. Dengan demikian aturan main adil dan bisa dipercaya seluruh kalangan.
"Persoalan investasi asing hanya soal aturan harus ditegakkan. Jangan sampai disiplin di level bawah saja," ujar Dendi.
Dendi mengingatkan, di masa lalu ada masanya investasi Jepang dan AS menjadi prioritas seperti Tiongkok sekarang. Karena itu menurut dia, proses Tiongkok hingga berperan penting berjalan cukup alamiah.
"Level teknologinya sepadan dengan sumber daya di Indonesia. Beda dengan teknologi Jepang yang masuk biasanya akan butuh kualifikasi SDM tinggi," terangnya.
Namun dia mengingatkan, berita soal besarnya investasi Tiongkok di Indonesia juga sering dilebih-lebihkan masyarakat karena faktanya tidak sebesar itu. Karena bila dibandingkan dengan investasi Tiongkok di negara ASEAN lain, ternyata masih jauh lebih besar dibandingkan penempatan di Indonesia.
"Dibandingkan Thailand dan Vietnam, masih jauh lebih kecil di Indonesia. Permasalahannya hanya penegakan hukum di sana lebih baik. Aturan investasi harus ditegakkan untuk ketenagakerjaan ataupun lingkungan. Kemudian semua aturan harusnya ditegakkan untuk pihak asing ataupun dari dalam negeri sendiri," tambahnya.
Pengamat Bisnis dari Inventure Indonesia, Yuswohady, juga memiliki proyeksi tren ketenagakerjaan di tengah kondisi New Normal. Menurutnya, satu hal yang paling menentukan ke depan adalah arus manusia yang semakin terbatas dibandingkan masa sebelumnya. Ini karena kondisi pandemi berlawanan dengan globalisasi. Setiap negara akan membatasi keluar masuk orang bahkan hingga empat tahun ke depan.
"Semua itu demi memantau penyebaran. Karena itu seharusnya jadi potensi menguntungkan SDM lokal. Ini juga termasuk brand lokal karena brand asing terkendala masuk Tanah Air," ujar Yuswohady.
Tapi dia juga mengingatkan potensi tersebut juga butuh kerja keras dan upaya maksimal. Para SDM harus mau mengembangkan kemampuannya untuk memacu daya saing. Alhasi, mereka harus meningkatkan standarnya ke level global.
"Justru SDM domestik bekerja keras menaikkan levelnya menjadi standar kualitas global," ujarnya.
Lebih dari itu, menurutnya juga akan muncul keahlian baru setelah belajar dari krisis di masa pandemi. Hal paling umum adalah tren digital transformasi seketika dibutuhkan semua pihak. Mereka ingin secepatnya mengadopsi teknologi digital bahkan hingga di sektor UMKM.
"Teknologinya harus bisa mendukung low touch sesuai tren di masa pandemi," ujarnya.
Selain itu harus dibangun juga roadmap future skill. Meskipun sulit untuk mengharapkan ada diskusi intens antara pemerintah dan swasta. Dirinya mencontohkan, saat ini ada beberapa sektor yang naik daun, misalnya agrikultur yang diuntungkan kondisi pandemi. Tapi pelakunya tidak dapat menerapkan gaya lama namun harus berbasis digital. Sektor lain yang sangat krusial tentu saja e-commerce hingga pendidikan.
"Sektor ini butuh pasar SDM yang harus disiapkan. Kemudian juga harus ditanggulangi sektor yang akan menantang seperti turisme. Tentu wisata tidak akan sama lagi sehingga SDM yang dibutuhkan karena semakin butuh platform digital. Indonesia harus menciptakan SDM untuk mengisi," terangnya.
(uka)