Ketua Umum DPN HKTI Fadli Zon: Kebijakan Pangan Kita Mestinya Utamakan Kesejahteraan Petani, Bukan Konsumen

Sabtu, 31 Desember 2022 - 20:17 WIB
loading...
A A A
Pengadaan dan penyerapan pasar oleh Bulog mestinya dimaksimalkan pada saat panen raya (semester I), ketika stok sedang melimpah dan harga sedang murah. Itu sebabnya keputusan untuk mengimpor beras di akhir tahun adalah keputusan yang buruk, sebab harga beras sedang tinggi. Akhir tahun seharusnya bukanlah waktu untuk pengadaan, tapi justru untuk penyaluran, atau pelepasan cadangan.

Keempat, Bulog mestinya memprioritaskan penyerapan hasil panen lokal. Sayangnya sepanjang 2022 penyerapan Bulog memang anjlok drastis. Padahal, sepanjang tahun ini setidaknya ada 4 bulan di mana harga jual petani lebih rendah dari HPP, yaitu pada bulan Maret, April, dan Mei.

HPP yang berlaku saat ini adalah Rp8.300 per kg beras dan Rp4.200 per kg gabah kering panen (GKP). Sementara itu harga beras dan gabah di pasaran pernah ada di bawah angka tersebut. Di bulan Maret lalu, misalnya, harga GKP lebih rendah dari Rp4.200. Meski naik jadi Rp4.180 di bulan April, harga GKP kemudian turun lagi menjadi Rp4.156 di bulan Mei, dan bahkan pernah drop ke angka Rp3.944 pada bulan Juni. Memang, pada bulan Juli harga GKP melonjak ke Rp4.783 dan sejak itu tidak pernah turun lagi ke angka HPP.

Mestinya, ketika harga sedang rendah, Bulog bisa memanfaatkan kesempatan untuk menyerap gabah dan beras petani. Namun, dari data yang dimiliki HKTI, saat harga sedang merosot tersebut, stok Bulog dari pengadaan dalam negeri justru ikut merosot. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Bulog bisa menyerap 1,5-2 juta ton, maka tahun ini Bulog hanya bisa menyerap sekitar 1 juta ton. Inilah yang menjelaskan kenapa CBP di akhir tahun ini jadi sangat kecil.

Namun, ini memang bukan semata-mata kesalahan Bulog, tapi kesalahan pemerintah juga. Salah satu latar belakang kenapa Bulog ragu untuk menyerap produksi lokal secara besar-besaran adalah kebijakan pemerintah sendiri. Saat ini Bulog memang kesulitan dalam menyalurkan beras. Kebijakan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), misalnya, telah menggerus pintu keluar penyaluran Bulog. Apalagi, penyaluran BPNT juga tak lagi melalui Bulog. Akibatnya, karena kesulitan menyalurkan beras, Bulog juga jadi sulit dalam membuat perhitungan berapa banyak yang harus diserap.

Sebagai gambaran, ketika kebijakan raskin/rastra diubah jadi BPNT/Program Sembako, pengadaan domestik turun drastis dari rerata 2,16 juta ton menjadi 0,99 juta ton beras. Program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH), yang dulu bernama Operasi Pasar (OP), yang semula diharapkan bisa menjadi pengganti outlet Raskin yang hilang, ternyata hanya bisa menyerap 25,3% (dari rerata 2.919.739 ton turun jadi 739.254 ton). Jadi, biang keladinya adalah kebijakan pangan kita sendiri yang belum padu.

Dan kelima, soal data pangan. Data adalah instrumen penting dalam perumusan kebijakan publik. Data pangan dan pertanian yang ada selama ini masih jauh dari akurat, sehingga menyebabkan kebijakan pangan dan pertanian yang juga tidak akurat. Itu sebabnya sejak beberapa tahun lalu HKTI selalu mengusulkan agar pemerintah melakukan “data amnesty” (pengampunan data).

Seperti halnya tax amnesty, data amnesty juga harus diatur dalam sebuah undang-undang yang bisa memberi jerat pidana terhadap penyedia data yang tidak akurat. Jadi, kesalahan data di masa lalu akan diampuni, namun sesudah undang-undang itu diterapkan, semua data benar-benar harus akurat dan verified.

Itulah catatan-catatan yang ingin disampaikan HKTI untuk menutup tahun 2022. Kami berharap catatan-catatan itu bisa direspon dengan baik oleh para pengambil kebijakan, agar kebijakan pangan kita di masa-masa mendatang bisa lebih akurat dan mengena. Selamat tahun baru 2023!
(dar)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1957 seconds (0.1#10.140)