Ketua Umum DPN HKTI Fadli Zon: Kebijakan Pangan Kita Mestinya Utamakan Kesejahteraan Petani, Bukan Konsumen

Sabtu, 31 Desember 2022 - 20:17 WIB
loading...
Ketua Umum DPN HKTI Fadli Zon: Kebijakan Pangan Kita Mestinya Utamakan Kesejahteraan Petani, Bukan Konsumen
Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon
A A A
JAKARTA - Kita saat ini berada di ujung tahun 2022. Ada sejumlah catatan dalam bidang pangan dan pertanian yang ingin disampaikan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) . Di tengah situasi pandemi kemarin, sektor pertanian secara umum memang masih bisa tumbuh, meskipun dengan laju yang melambat. Pertumbuhan tahun 2021 sebesar 1,84%, misalnya, masih jauh di bawah rata-rata pertumbuhan tahun 2011-2019 yang mencapai 3,95%.

Demikian pula kontibusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, bobotnya hanya tinggal 0,24%, jauh di bawah bobot rata-rata tahun-tahun sebelumnya yang berada di angka 0,50%. Sepanjang tahun 2022, kondisinya tak membaik, karena hingga kuartal III/2022 hanya bisa tumbuh sebesar 1,42%.

Dari data yang dimiliki HKTI, pertumbuhan subsektor Tanaman Pangan cenderung rendah, dan kadang mengalami kontraksi. Perkembangan data subsektor Tanaman Pangan dalam PDB ini terkonfirmasi dengan data produksi beberapa jenis komoditas utamanya yang stagnan, bahkan cenderung menurun, yaitu padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.

Menatap tahun baru 2023, dengan jumlah penduduk kurang lebih sebesar 277 juta jiwa, paradigma pangan kita seharusnya telah banyak berubah. Sesudah era Revolusi Hijau, kebijakan pangan kita mestinya telah bergeser kepada isu-isu lain, seperti soal akses atau pemenuhan kebutuhan gizi, dan bukan lagi hanya berkutat di isu komoditas.

(Baca juga:Kemerdekaan dan Pertanian)

Sayangnya, sejauh ini kita masih saja bergulat dengan isu klasik komoditas, yang menandakan politik dan kebijakan pangan kita sebenarnya tak pernah jauh beranjak. Di ujung tahun 2022 ini, misalnya, diskusi kebijakan pangan kita masih saja diramaikan oleh isu impor beras, yang dipicu impor 200.000 ton beras oleh Bulog pada awal bulan ini.

Dalam konteks ekonomi-politik yang luas, kegiatan ekspor dan impor pangan seharusnya merupakan kegiatan perdagangan biasa. Namun, impor beras terus-menerus menjadi isu panas di negeri kita karena memang memiliki sejumlah persoalan.

Pertama, impor beras biasanya dilakukan menjelang atau berdekatan dengan musim panen, sehingga merugikan petani produsen. Seperti impor kali ini, misalnya, yang dilakukan menjelang musim panen raya.

Kedua, Bulog kesannya lebih suka menyerap beras dari pasar dunia ketimbang menyerap beras hasil produksi petani untuk menutupi kebutuhan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Ini yang membuat keberpihakan Bulog terhadap petani lokal jadi terus-menerus dipertanyakan.

Dan ketiga, keputusan untuk melakukan impor beras biasanya hanya berpatokan kepada stok CBP yang rendah, namun tidak pernah memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti: kenapa stok tersebut bisa rendah? Apakah karena kekeliruan manajemen logistik Bulog sendiri, atau karena faktor eksternal? Apakah impor dilakukan pada timing yang tepat ataukah tidak?
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1152 seconds (0.1#10.140)