Respons Pembatasan GGL dalam Produk Pangan, Gapmmi Tegaskan Kolaborasi dan Harmonisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) tetap bersikukuh untuk mengedepankan pentingnya kajian dampak dan risiko yang didukung oleh data ilmiah yang komprehensif terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang diterbitkan Pemerintah akhir Juli 2024.
GAPMMI merasa perlu dilibatkan dan bersama-sama dengan Pemerintah (Kementerian dan Lembaga terkait) untuk meluruskan hal tentang gula, garam dan lemak (GGL) melalui edukasi konsumsi pangan yang baik dan seimbang kepada masyarakat.
Sebagaimana dilansir sebelumnya, PP Nomor 28 Tahun 2024 ini salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat. GAPMMI sepenuhnya mendukung tujuan baik Pemerintah untuk menciptakan Masyarakat Indonesia lebih sehat dengan mengurangi Penyakit Tidak Menular (PTM).
“Yang utama adalah pentingnya kolaborasi dan harmonisasi baik antar Kementerian dan Lembaga serta para pemangku kepentingan terkait terhadap Peraturan yang akan diterbitkan, namun sangat disayangkan proses terbitnya PP Nomor 28 tahun 2024 menafikan hal tersebut,” jelas Adhi Lukman selaku Ketua Umum GAPMMI.
“GAPMMI tidak pernah dilibatkan sebelumnya padahal industri makanan minuman pangan olahan kemasan merupakan pelaku utama. Tidak ada kajian komprehensif meliputi kajian risiko dan dampak menyeluruh yang timbul”, tegas Adhi.
Adhi Lukman juga mengingatkan faktor risiko PTM yang dikedepankan oleh Pemerintah sebagai tujuan PP Nomor 28 tahun 2024 ini, disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang.
Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja. Sehingga menentukan batas maksimal gula, garam, lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular, dikarenakan konsumsi gula, garam, lemak masyarakat, hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan.
Pembatasan kandungan gula, garam dan lemak tentu akan mempengaruhi fungsi teknologi dan formulasi pangan. Hampir tidak ada produk pangan yang tidak memiliki kandungan gula, garam dan lemak kecuali air mineral.
GAPMMI memperoleh informasi bahwa beberapa peraturan turunan PP Nomor 28 tahun 2024 termasuk adanya pengaturan Pelabelan Pangan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan "dikebut" sebelum mid-September 2024 meskipun untuk standarnya masih belum harmoni dengan industri dan dinilai *melompat" dari tahapan sebuah roadmap yang penting seperti edukasi.
Untuk itu, GAPMMI berharap agar Pemerintah bersedia menunda peraturan turunan tersebut dan membuat roadmap, pilot bersama stakeholder terkait termasuk pakar teknologi pangan dan gizi di Indonesia mengingat peraturan krusial yang menentukan arah bangsa ke depannya perlu memprioritaskan kepentingan Nasional (National interest) di atas segala-galanya.
“Kedaulatan negara hendaknya menjadi tujuan yang utama, bukan semata-mata kepentingan beberapa gelintir kelompok yang menjadi pertimbangan namun justru berpotensi melemahkan daya saing bangsa, hilangnya kesempatan berusaha bahkan menutup mata pencaharian, terlalu mahal harga yang harus dibayar oleh negara dari keluarnya PP ini”, tutup Adhi.
GAPMMI merasa perlu dilibatkan dan bersama-sama dengan Pemerintah (Kementerian dan Lembaga terkait) untuk meluruskan hal tentang gula, garam dan lemak (GGL) melalui edukasi konsumsi pangan yang baik dan seimbang kepada masyarakat.
Sebagaimana dilansir sebelumnya, PP Nomor 28 Tahun 2024 ini salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat. GAPMMI sepenuhnya mendukung tujuan baik Pemerintah untuk menciptakan Masyarakat Indonesia lebih sehat dengan mengurangi Penyakit Tidak Menular (PTM).
“Yang utama adalah pentingnya kolaborasi dan harmonisasi baik antar Kementerian dan Lembaga serta para pemangku kepentingan terkait terhadap Peraturan yang akan diterbitkan, namun sangat disayangkan proses terbitnya PP Nomor 28 tahun 2024 menafikan hal tersebut,” jelas Adhi Lukman selaku Ketua Umum GAPMMI.
“GAPMMI tidak pernah dilibatkan sebelumnya padahal industri makanan minuman pangan olahan kemasan merupakan pelaku utama. Tidak ada kajian komprehensif meliputi kajian risiko dan dampak menyeluruh yang timbul”, tegas Adhi.
Adhi Lukman juga mengingatkan faktor risiko PTM yang dikedepankan oleh Pemerintah sebagai tujuan PP Nomor 28 tahun 2024 ini, disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang.
Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja. Sehingga menentukan batas maksimal gula, garam, lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular, dikarenakan konsumsi gula, garam, lemak masyarakat, hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan.
Pembatasan kandungan gula, garam dan lemak tentu akan mempengaruhi fungsi teknologi dan formulasi pangan. Hampir tidak ada produk pangan yang tidak memiliki kandungan gula, garam dan lemak kecuali air mineral.
GAPMMI memperoleh informasi bahwa beberapa peraturan turunan PP Nomor 28 tahun 2024 termasuk adanya pengaturan Pelabelan Pangan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan "dikebut" sebelum mid-September 2024 meskipun untuk standarnya masih belum harmoni dengan industri dan dinilai *melompat" dari tahapan sebuah roadmap yang penting seperti edukasi.
Untuk itu, GAPMMI berharap agar Pemerintah bersedia menunda peraturan turunan tersebut dan membuat roadmap, pilot bersama stakeholder terkait termasuk pakar teknologi pangan dan gizi di Indonesia mengingat peraturan krusial yang menentukan arah bangsa ke depannya perlu memprioritaskan kepentingan Nasional (National interest) di atas segala-galanya.
“Kedaulatan negara hendaknya menjadi tujuan yang utama, bukan semata-mata kepentingan beberapa gelintir kelompok yang menjadi pertimbangan namun justru berpotensi melemahkan daya saing bangsa, hilangnya kesempatan berusaha bahkan menutup mata pencaharian, terlalu mahal harga yang harus dibayar oleh negara dari keluarnya PP ini”, tutup Adhi.
(akr)