Ekonom Sebut Pemerintahan Akan Datang Bisa Diwarisi Utang Belasan Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance ( Indef ), Didik J. Rachbini, mewanti-wanti utang pemerintah yang terus membengkak. Menurutnya, posisi dan rasio utang pemerintah saat ini sudah sangat memprihatinkan.
Pada November 2022, Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah mencapai Rp7.554,2 triliun dengan rasio utang mencapai 38,6% dari PDB. Pada 2014 posisi utang pemerintah baru sebesar Rp2.608,78 triliun.
“2014 posisi utang itu Rp2.600-an (triliun), SBY diserang habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasa. Sampai November 2022 utang itu (sekarang) Rp7.500-an (triliun),” ujar Didik dalam diskusi INDEF, dikutip Jumat (6/1/2023).
Didik menerangkan, utang Indonesia yang tercatat di Kementerian Keuangan itu belum termasuk utang perusahaan-perusahaan negara atau BUMN. Jika ditotal menyeluruh, maka jumlahnya akan melejit lagi.
Menurut Didik, ketika masa pemerintahan saat ini berakhir, maka akan mewariskan jumlah utang yang fantastis untuk pemerintah berikutnya. “Ditambah BUMN Rp2.000-Rp3.000 (triliun), itu (nantinya) belasan triliun utang yang diwariskan pada pemimpin akan datang,” tuturnya.
Menurut Didik, meski banyak kalangan, termasuk dirinya, sudah sering berbicara mengenai porsi utang pemerintah, namun semua itu sama sekali tak disambut baik. Padahal, kata dia, lonjakan utang tersebut akan berimplikasi pada pengelolaan keuangan negara.
“Implikasinya kepada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang,” tegasnya.
Lebih jauh ia menerangkan, melonjaknya utang terjadi saat masa-masa Covid-19. Saat itu pemerintah jorjoran mengeluarkan perppu yang menambahkan defisit anggaran. “Awal Covid itu sumber justifikasi dan DPR enggak bisa apa-apa dengan perppu,” ujar Didik.
Di samping itu, Didik pun tak bisa menangkis bahwa sebenarnya ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Hanya saja yang disayangkan terlalu banyak kongkalikong yang membuat fungsi check dan balance di DPR menjadi sangat lemah.
“Ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi di Indonesia,” tandasnya.
Pada November 2022, Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah mencapai Rp7.554,2 triliun dengan rasio utang mencapai 38,6% dari PDB. Pada 2014 posisi utang pemerintah baru sebesar Rp2.608,78 triliun.
“2014 posisi utang itu Rp2.600-an (triliun), SBY diserang habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasa. Sampai November 2022 utang itu (sekarang) Rp7.500-an (triliun),” ujar Didik dalam diskusi INDEF, dikutip Jumat (6/1/2023).
Didik menerangkan, utang Indonesia yang tercatat di Kementerian Keuangan itu belum termasuk utang perusahaan-perusahaan negara atau BUMN. Jika ditotal menyeluruh, maka jumlahnya akan melejit lagi.
Menurut Didik, ketika masa pemerintahan saat ini berakhir, maka akan mewariskan jumlah utang yang fantastis untuk pemerintah berikutnya. “Ditambah BUMN Rp2.000-Rp3.000 (triliun), itu (nantinya) belasan triliun utang yang diwariskan pada pemimpin akan datang,” tuturnya.
Menurut Didik, meski banyak kalangan, termasuk dirinya, sudah sering berbicara mengenai porsi utang pemerintah, namun semua itu sama sekali tak disambut baik. Padahal, kata dia, lonjakan utang tersebut akan berimplikasi pada pengelolaan keuangan negara.
“Implikasinya kepada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang,” tegasnya.
Lebih jauh ia menerangkan, melonjaknya utang terjadi saat masa-masa Covid-19. Saat itu pemerintah jorjoran mengeluarkan perppu yang menambahkan defisit anggaran. “Awal Covid itu sumber justifikasi dan DPR enggak bisa apa-apa dengan perppu,” ujar Didik.
Di samping itu, Didik pun tak bisa menangkis bahwa sebenarnya ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Hanya saja yang disayangkan terlalu banyak kongkalikong yang membuat fungsi check dan balance di DPR menjadi sangat lemah.
“Ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi di Indonesia,” tandasnya.
(uka)