Pengusaha Sepatu Curhat, Diskon 50% Tetap Tak Laku

Jum'at, 09 Oktober 2015 - 11:30 WIB
Pengusaha Sepatu Curhat, Diskon 50% Tetap Tak Laku
Pengusaha Sepatu Curhat, Diskon 50% Tetap Tak Laku
A A A
JAKARTA - Pengusaha industri padat karya seperti sepatu kini sedang mengalami kondisi yang tidak menguntungkan. Ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) membuat ongkos produksi menjadi bengkak lantaran berbahan baku impor.

Apalagi ditambah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air yang menurunkan daya beli masyarakat membuat pelaku usaha di bidang persepatuan mengurangi produksi. (Baca: Marak PHK, BKPM Bentuk Desk Khusus di Industri Ini)

Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko mengungkapkan, momen Hari Raya Idul Fitri yang biasanya dimanfaatkan masyarakat untuk membeli baju hingga sepatu baru tidak terlihat di tahun ini. Masyarakat cenderung lebih menahan diri tidak banyak membelanjakan uangnya untuk membeli keperluan tersebut.

Kondisi ini pun berdampak pada industri sepatu, yang biasanya setiap jelang Lebaran selalu merekrut karyawan baru namun tahun ini justru tidak dilakukan.

"Saat lebaran itu biasanya kita tambah karyawan. Jadi kita tahun ini merasakan betul beratnya bahwa kita enggak tambah karyawan," kata dia di gedung BKPM, Jakarta, Jumat (9/10/2015).

Menurunnya daya beli masyarakat, lanjut Eddy, membuat perusahaan lebih memilih untuk menghabi‎skan stok produk yang ada dan tidak memproduksi baru lagi. Sayangnya, sisa produk tersebut tetap tidak laku meski telah diberikan potongan harga besar-besaran.

"Kita habiskan stok produksi yang ada. Tapi sudah didiskon 50%, tetap saja enggak laku. Tahun ini benar-benar kita rasakan daya beli masyarakat rendah sekali," tutur dia.

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengakui bahwa saat ini industri sepatu, tekstil dan Industri padat karya lainnya mengalami tantangan cukup besar.‎ Bahkan, banyak perusahaan yang telah merumahkan karyawan hingga menghentikan kegiatan produksinya.

"‎Banyak keluhan dan ada yang menyampaikan sudah merumahkan, berhenti produksi dan merumahkan karyawan. Karena naiknya biaya produksi dan bahan baku impor," terang dia.

Selain itu, industri ini juga menghadapi tantangan menurunnya permintaan pasar dalam negeri karena turunnya daya beli masyarakat. Serta banyaknya produk bekas yang masuk ke Indonesia dari luar negeri.

"‎Banyak produk bekas yang masuk ke Indonesia dari luar negeri baik legal atau non legal. Selain itu tantangan permasalahan hubungan industrial sehingga mengurangi produktivitas perusahaan," tandasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8498 seconds (0.1#10.140)