Sektor Migas Perlu Kebijakan Fiskal yang Fleksibel

Rabu, 25 Mei 2016 - 23:17 WIB
Sektor Migas Perlu Kebijakan Fiskal yang Fleksibel
Sektor Migas Perlu Kebijakan Fiskal yang Fleksibel
A A A
JAKARTA - Kebijakan fiskal yang fleksibel perlu segera diterapkan untuk sektor minyak dan gas bumi di Indonesia. Tujuannya untuk memperbaiki iklim investasi di sektor migas yang sekarang tertekan imbas loyonya harga minyak dunia sejak medio 2014.

Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi di Kantor Staf Presiden, Darmawan Prasodjo mengatakan kebijakan ini guna mendorong produksi migas agar dapat memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Dan dalam kondisi saat ini, kata dia, risiko investasi migas seharusnya ditanggung bersama antara pemerintah dan kontraktor.

“Pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan jangka pendek, melainkan bagaimana menjaga agar investasi dapat berkelanjutan. Untuk itu perlu melakukan perubahan kebijakan fiskal dengan semangat keadilan (fairness) untuk mengundang investasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews, Rabu (25/5/2016).

Ia lantas mencontohkan soal penetapan skema kontrak bagi hasil (PSC), dimana tidak dapat diterapkan sama untuk semua wilayah kerja migas. Pasalnya masing-masing memiliki kesulitan sendiri. Karena itu, kondisi sekarang ialah momen yang tepat bagi Indonesia berpindah paradigma dari regressive system ke progressive system.

“Presiden Joko Widodo telah merancang suatu dokumen yang bernama Nawacita. Dokumen ini sekarang diadopsi menjadi RPJMN. Di situ tertulis, ladang minyak memiliki karakter tersendiri karena itu dibutuhkan sistem fiskal yang fleksibel,” ujar Darmawan pada sidang pleno The 40th IPA Convention and Exhibition di Jakarta Convention Center.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah berupaya memberikan yang terbaik untuk memastikan kegiatan eksplorasi industri migas tetap berjalan. Jika dianggap perlu, pemerintah siap memberikan insentif sesuai skala prioritas, misalnya penerapan tax holiday kepada sejumlah KKKS. “Saat ini kami sedang memikirkan insentif pajak lain. Tapi sebelumnya, kami perlu mengidentifikasi terlebih dahulu harga minyak ke depan,” kata dia.

Craig McMahon, Head of Asia Pacific Research Wood Mackenzie, mengatakan saat ini sektor hulu migas global sedang menghadapi penurunan investasi yang tajam. Bagi Indonesia, kondisi ini menguntungkan sebagai pengimpor bersih (net importer) minyak. Persoalannya dalam jangka panjang situasi ini dapat merugikan seiring dengan akan pulihnya harga minyak dunia.

Menurut McMahon, Indonesia mesti bersiap dengan mendorong investasi. Sekarang menjadi saat tepat bagi pemerintah mengubah sejumlah regulasi dan kebijakan di sektor migas. “Dalam beberapa pengalaman, negara yang mengubah kebijakan akan mampu bertahan dalam kondisi seperti yang terjadi saat ini,” terangnya.

Sisi lain, perusahaan juga perlu melakukan disiplin keuangan dan menerapkan asas kehati-hatian dalam setiap investasi. “Yang diperlukan investor adalah suatu keadaan yang bisa diduga, kepastian, dan hal yang bisa diprediksi lebih jelas. Investor tidak bisa berhasil tanpa dukungan pemerintah dan sebaliknya,” ujar McMahon.

Vice President Global Sales and Marketing Schlumberger, Ronny Hendrawan menuturkan, aktivitas perusahaan penyedia jasa sektor perminyakan di Indonesia sudah terkena dampak pelemahan harga minyak dunia. Dia mencatat, aktivitas jasa mengalami penurunan 20% sepanjang 2015 dan diprediksi menurun hingga 30% pada 2016.

“Ada semacam kejatuhan. Di sektor hulu, pada 1980-an kejatuhan karena isu permintaan. Yang sekarang terjadi lebih digerakkan market share. Penurunan ini belum pernah saya lihat terjadi di Indonesia sebelumnya. Pada 2008-2009 aktivitas pengeboran juga turun, tapi hanya 3 persen,” katanya.

Menurut Cederic Cremers, Vice President Commercial and New Business Development Asia Shell, daya tawar Indonesia di sektor migas masih cukup menarik karena masih banyak cekungan di dasar laut yang belum dieksplorasi. Lapisan hidrokarbon yang belum dieksplorasi di Indonesia termasuk salah satu yang terbanyak di dunia.

Adapun Direktur Utama Pertamina, Dwi Sutjipto, mengatakan perusahaannya telah mengambil lima strategi prioritas untuk tetap bertahan dalam kondisi sulit. Antara efisiensi bisnis dan penguatan struktur keuangan. “Strategi ini tidak hanya untuk membuat Pertamina bertahan tapi juga mengamankan sektor hulu migas secara nasional,” ujarnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1202 seconds (0.1#10.140)