BI Pertahankan Bunga Acuan 7,5%
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk tetap mempertahankan BI Rate sebesar 7,5%, dengan suku bunga deposit facility 5,5% dan lending facility 8%.
Namun, keputusan itu juga diikuti dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui revisi ketentuan giro wajib minimum- loan to deposit ratio (GWM-LDR), ketentuan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka (down payment ) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB).
”Pelonggaran kebijakan makroprudensial itu untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo seusai Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta kemarin. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, kebijakan LTV diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan nasional. Bank Indonesia meyakini, pertumbuhan kredit akan meningkat, diperkirakan mendekati kisaran 15-17% tahun ini.
Peningkatan kredit didukung kondisi likuiditas perbankan yang memadai, peningkatan aktivitas ekonomi yang sejalan dengan ekspansi keuangan pemerintah, serta pelonggaran kebijakan makroprudensial oleh BI. ”Ini akan mendorong kredit tahun ini. Kalau tidak ada perubahan LTV, (pertumbuhan) kredit ini mungkin paling banter sekitar 14%,” ujarnya.
Keputusan mempertahankan BI Rate di level 7,5% juga sejalan dengan kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk menjaga agar inflasi tetap berada dalam sasaran 4±1% pada tahun 2015 dan 2016. Keputusan itu juga diharapkan dapat mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam jangka menengah.
Menurut Agus Martowardojo, BI juga akan terus mencermati berbagai faktor risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya terkait dengan perkembangan harga minyak dunia, penyesuaian harga yang diatur pemerintah (administered prices), serta faktor musiman menjelang Ramadan dan Lebaran. ”Ini risiko masih banyak antara lain risiko dari ekspektasi depresiasi nilai tukar serta harga minyak meningkat. Tapi, akhir tahun 2015 (inflasi) diharapkan ada di range 4±1%,” tandasnya.
Terkait dengan pelemahan rupiah, Agus mengatakan bahwa itu terjadi seiring penguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang global. Ke depan BI akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Dengan demikian, nilai tukar dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai bahwa kebijakan BI mempertahankan suku bunga acuan merupakan keputusan yang realistis. ”Pertimbangan utamanya saya rasa terkait dengan potensi peningkatan inflasi di dua bulan ke depan seiring momentum puasa dan Lebaran,” kata Eko kepada KORAN SINDO . Dia menambahkan, meski surplus, tren neraca perdagangan tetap disertai dengan penurunan nilai ekspor yang berarti penerimaan devisa dari sisi ekspor untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Penurunan BI Rate pun akan semakin melemahkan nilai tukar rupiah. Padahal, potensi peningkatan permintaan menjelang puasa dan Hari Raya butuh dukungan nilai tukar yang stabil. ”Dengan fakta bahwa content impor industri masih tinggi, jika BI Rate turun, bisa saja pertumbuhan ekonomi tetap tidak meningkat karena nilai tukar tergerus. Jadi, bertahan di 7,5% merupakan opsi yang realistis,” jelasnya.
Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto juga menilai langkah BI mempertahankan BI Rate sudah tepat, menimbang ekspektasi inflasi yang masih tinggi, defisit neraca berjalan yang masih besar, dan kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga.
”Tapi, BI juga cerdas mengakomodasi keinginan industri dengan melonggarkan LTV guna menghadang perlambatan ekonomi ke depan. Keputusan BI tepat dan berguna untuk menyeimbangkan agresivitas pemerintah dalam membangun infrastruktur. Ke depan, jika ekspektasi inflasi rendah, tentu BI juga akan menurunkan BI Rate ke kisaran 7- 7,25%,” ujarnya.
Kunthi fahmar sandy
Namun, keputusan itu juga diikuti dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui revisi ketentuan giro wajib minimum- loan to deposit ratio (GWM-LDR), ketentuan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka (down payment ) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB).
”Pelonggaran kebijakan makroprudensial itu untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo seusai Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta kemarin. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, kebijakan LTV diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan nasional. Bank Indonesia meyakini, pertumbuhan kredit akan meningkat, diperkirakan mendekati kisaran 15-17% tahun ini.
Peningkatan kredit didukung kondisi likuiditas perbankan yang memadai, peningkatan aktivitas ekonomi yang sejalan dengan ekspansi keuangan pemerintah, serta pelonggaran kebijakan makroprudensial oleh BI. ”Ini akan mendorong kredit tahun ini. Kalau tidak ada perubahan LTV, (pertumbuhan) kredit ini mungkin paling banter sekitar 14%,” ujarnya.
Keputusan mempertahankan BI Rate di level 7,5% juga sejalan dengan kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk menjaga agar inflasi tetap berada dalam sasaran 4±1% pada tahun 2015 dan 2016. Keputusan itu juga diharapkan dapat mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam jangka menengah.
Menurut Agus Martowardojo, BI juga akan terus mencermati berbagai faktor risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya terkait dengan perkembangan harga minyak dunia, penyesuaian harga yang diatur pemerintah (administered prices), serta faktor musiman menjelang Ramadan dan Lebaran. ”Ini risiko masih banyak antara lain risiko dari ekspektasi depresiasi nilai tukar serta harga minyak meningkat. Tapi, akhir tahun 2015 (inflasi) diharapkan ada di range 4±1%,” tandasnya.
Terkait dengan pelemahan rupiah, Agus mengatakan bahwa itu terjadi seiring penguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang global. Ke depan BI akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Dengan demikian, nilai tukar dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai bahwa kebijakan BI mempertahankan suku bunga acuan merupakan keputusan yang realistis. ”Pertimbangan utamanya saya rasa terkait dengan potensi peningkatan inflasi di dua bulan ke depan seiring momentum puasa dan Lebaran,” kata Eko kepada KORAN SINDO . Dia menambahkan, meski surplus, tren neraca perdagangan tetap disertai dengan penurunan nilai ekspor yang berarti penerimaan devisa dari sisi ekspor untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Penurunan BI Rate pun akan semakin melemahkan nilai tukar rupiah. Padahal, potensi peningkatan permintaan menjelang puasa dan Hari Raya butuh dukungan nilai tukar yang stabil. ”Dengan fakta bahwa content impor industri masih tinggi, jika BI Rate turun, bisa saja pertumbuhan ekonomi tetap tidak meningkat karena nilai tukar tergerus. Jadi, bertahan di 7,5% merupakan opsi yang realistis,” jelasnya.
Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto juga menilai langkah BI mempertahankan BI Rate sudah tepat, menimbang ekspektasi inflasi yang masih tinggi, defisit neraca berjalan yang masih besar, dan kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga.
”Tapi, BI juga cerdas mengakomodasi keinginan industri dengan melonggarkan LTV guna menghadang perlambatan ekonomi ke depan. Keputusan BI tepat dan berguna untuk menyeimbangkan agresivitas pemerintah dalam membangun infrastruktur. Ke depan, jika ekspektasi inflasi rendah, tentu BI juga akan menurunkan BI Rate ke kisaran 7- 7,25%,” ujarnya.
Kunthi fahmar sandy
(ars)