Ini Masalah Utama Kemiskinan Masyarakat Pesisir
A
A
A
DEPOK - Tingkat kemiskinan masyarakat pesisir di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan sebesar 32,4%. Padahal, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang seharusnya laut menjadi potensi utama.
Beberapa permasalahan teknis yang menghambat kesejahteraan nelayan, antara lain sebagian besar masih nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif. Kemudian, struktur armada penangkapan yang masih didominasi usaha kecil/tradisional dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah. Dari jumlah itu, hanya 4.487 unit kapal yang tergolong modern, sedangkan 241.889 unit kapal ikan masih berupa perahu tanpa motor. Selanjutnya, ada ketimpangan pemanfaatan ikan di 80% perairan Pantai Utara Jawa dan di laut dangkal.
"Konsekuensinya, banyak yang telah mengalami over fishing (tingkat pemanfaatan rendah) atau menjadi ajang pencurian ikan," ujar Ferry Joko Juliantono, saat promosi doktor bidang Sosiologi yang digelar di Gedung M Departemen Administrasi FISIP UI, Depok, Selasa (16/6/2015).
Dalam disertasinya berjudul Dinamika Relasi dan Struktur dalam Reproduksi Kemiskinan Masyarakat Nelayan: Studi atas Masyarakat Nelayan di Desa Teluk, Labuan, Banten, dia mengungkapkan, realitas masyarakat nelayan masih memiliki karakteristik sendiri yang bukan hanya terdiri dari struktur dan kultur masyarakatnya. Realitas sosial masyarakat nelayan telah membagi formasi sosial maupun struktur sosial nelayan menjadi dua kategori, yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern.
Kategorisasi nelayan tradisional dan modern ini luput dari pertimbangan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan yang mengatur masyarakat nelayan. Khususnya, di era Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang baru pada Pemerintah Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik yang kemudian direspon oleh nelayan dalam bentuk protes.
Masalahnya, kata Ferry, peraturan menteri itu bukan hanya membatasi penggunaan pukat. Tetapi berpotensi terhadap hilangnya mata pencaharian nelayan tradisional yang sangat bergantung pada penggunaan peralatan penangkapan ikan.
"Pada saat Permen ini dikeluarkan pemerintah tidak membuat solusi jangka pendek, terutama terhadap nelayan tradisional yang jumlahnya jauh lebih besar dari nelayan modern. Dan, kelompok inilah yang paling terkena dampak dari Permen itu," katanya.
Penanganan pascapanen hasil tangkapan ikan sejak dari kapal sampai ke tempat pendaratan ikan masih buruk. Selama beberapa bulan tidak melaut, kebanyakan nelayan tidak bekerja karena tidak memiliki keterampilan lain. Pada saat inilah para nelayan banyak berutang pada rentenir dengan bunga tinggi.
"Akibatnya sebagian besar penghasilan nelayan yang diperoleh pada saat musim melaut digunakan untuk membayar utang," ungkapnya.
Beberapa permasalahan teknis yang menghambat kesejahteraan nelayan, antara lain sebagian besar masih nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif. Kemudian, struktur armada penangkapan yang masih didominasi usaha kecil/tradisional dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah. Dari jumlah itu, hanya 4.487 unit kapal yang tergolong modern, sedangkan 241.889 unit kapal ikan masih berupa perahu tanpa motor. Selanjutnya, ada ketimpangan pemanfaatan ikan di 80% perairan Pantai Utara Jawa dan di laut dangkal.
"Konsekuensinya, banyak yang telah mengalami over fishing (tingkat pemanfaatan rendah) atau menjadi ajang pencurian ikan," ujar Ferry Joko Juliantono, saat promosi doktor bidang Sosiologi yang digelar di Gedung M Departemen Administrasi FISIP UI, Depok, Selasa (16/6/2015).
Dalam disertasinya berjudul Dinamika Relasi dan Struktur dalam Reproduksi Kemiskinan Masyarakat Nelayan: Studi atas Masyarakat Nelayan di Desa Teluk, Labuan, Banten, dia mengungkapkan, realitas masyarakat nelayan masih memiliki karakteristik sendiri yang bukan hanya terdiri dari struktur dan kultur masyarakatnya. Realitas sosial masyarakat nelayan telah membagi formasi sosial maupun struktur sosial nelayan menjadi dua kategori, yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern.
Kategorisasi nelayan tradisional dan modern ini luput dari pertimbangan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan yang mengatur masyarakat nelayan. Khususnya, di era Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang baru pada Pemerintah Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik yang kemudian direspon oleh nelayan dalam bentuk protes.
Masalahnya, kata Ferry, peraturan menteri itu bukan hanya membatasi penggunaan pukat. Tetapi berpotensi terhadap hilangnya mata pencaharian nelayan tradisional yang sangat bergantung pada penggunaan peralatan penangkapan ikan.
"Pada saat Permen ini dikeluarkan pemerintah tidak membuat solusi jangka pendek, terutama terhadap nelayan tradisional yang jumlahnya jauh lebih besar dari nelayan modern. Dan, kelompok inilah yang paling terkena dampak dari Permen itu," katanya.
Penanganan pascapanen hasil tangkapan ikan sejak dari kapal sampai ke tempat pendaratan ikan masih buruk. Selama beberapa bulan tidak melaut, kebanyakan nelayan tidak bekerja karena tidak memiliki keterampilan lain. Pada saat inilah para nelayan banyak berutang pada rentenir dengan bunga tinggi.
"Akibatnya sebagian besar penghasilan nelayan yang diperoleh pada saat musim melaut digunakan untuk membayar utang," ungkapnya.
(dmd)