Siraman Dana Panas Daerah
A
A
A
PEMERINTAH dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 telah mengalokasikan dana daerah yang sangat besar. Langkah ini menuai pujian karena pemerintah pusat telah menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan daerah, di sisi lain peluang penyelewengan uang rakyat sangat besar.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengakui, Indonesia untuk pertama kalinya mencatat sejarah jumlah transfer anggaran daerah (pemda) lebih besar dari belanja kementerian dan lembaga (K/L). Menkeu mencatat, transfer daerah untuk 2016 sebesar Rp782,2 triliun dari yang tadinya Rp664,6 triliun pada 2015. "Transfer ke daerah dari yang tadinya Rp664,6 triliun menjadi Rp782,2 triliun atau naik Rp117,6 triliun," ujarnya di Gedung BKPM Jakarta, Jumat (14/8/2015)
Dia melanjutkan, untuk dana desa mengalami kenaikan menjadi Rp47 triliun, dari Rp20,8 triliun pada 2015. "Jadi dua itu naik semua jika dibandingakn dengan belanja K/L. Biasanya belanja K/L itu tinggi, tapi sekarang kita mau fokus ke bangun daerah. Ini history kita," imbuhnya.
Di sisi lain, Menkeu masih bingung dengan pikiran pemerintah daerah (pemda) mengendapkan dana di bank mencapai Rp273 triliun. Padahal, dana pemberian pemerintah pusat itu bisa digunakan untuk membangun wilyahnya.
"Mengendapnya dana tersebut merupakan tanggung jawab pemda untuk menyalurkannya. Nah, kalau belum ditransfer ke Kabupaten itu pemda harus nyari jalan sendiri gimana caranya. Ini uang sudah ada padahal. Tinggal dipakai membangun, jangan dianggap bencana," kata Bambang.
"Daerah itu harusnya sadar kalau uang yang ditransfer itu haknya masyarakat daerah. Bukan uang Pemda. Kalau menganggur Rp273 triliun berarti ada hal yang ditahan di Pemda, itu harus diluruskan," imbuhnya.
Komisi XI DPR RI memberikan peringatan (warning) kepada pemerintah terkait potensi kebocoran dana transfer ke daerah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
"Nah tentu persoalannya jangan sampai manajemen transfer ini menimbulkan kebocoran-kebocoran, melahirkan ketimpangan penyimpangan baru. Maka sebabnya kami berharap pemerintah membuat regulasi yang transparan agar mampu merespon aliran dana yang besar ini dengan manajemen yang lebih baik," kata anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno.
Kendati demikian, dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan kucuran dana lebih besar terhadap daerah. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi ekonomi dan pemberian otonomi daerah yang bertanggung jawab mulai terlihat.
Hanya saja, Hendrawan mengingatkan bahwa aliran dana yang masuk tersebut tidak disalahgunakan dan pada akhirnya menimbulkan koruptor baru di daerah. "Jangan sampai ini kita kirim banyak uang ke daerah, tapi banyak koruptor baru dan melahirkan penyimpangan baru. Sehingga masalah-masalah hukum lahir," tegasnya.
Dia mengimbau agar pemerintah memiliki rambu-rambu dan tata kelola yang baik terkait mekanisme pencairan dana desa tersebut. "Itu sebabnya dugaan saya mengapa Sofyan Djalil yang background-nya hukum dimasukkan ke Bappenas," imbuh Hendrawan.
Senada dengannya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga meminta agar pemerintah mengawasi pencairan dana desa tersebut. Sosialisasi dan penyuluhan perlu dilakukan agar tidak terjadi masalah baru di daerah.
"Maksudnya bagus untuk mendorong desa tumbuh, tapi kalau sosialisasi dan penyuluhannya kurang, itu bisa jadi masalah baru di desa. Bisa diklasifikasikan sebagai kasus korupsi. Ini harus hati-hati. Karena uang kita terbatas, jangan sampai kita memberikan alokasi yang nantinya malah jadi kontraproduktif," pungkasnya.
Baca: Menkeu Bingung Pemda Endapkan Dana Rp273 T di Bank
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengakui, Indonesia untuk pertama kalinya mencatat sejarah jumlah transfer anggaran daerah (pemda) lebih besar dari belanja kementerian dan lembaga (K/L). Menkeu mencatat, transfer daerah untuk 2016 sebesar Rp782,2 triliun dari yang tadinya Rp664,6 triliun pada 2015. "Transfer ke daerah dari yang tadinya Rp664,6 triliun menjadi Rp782,2 triliun atau naik Rp117,6 triliun," ujarnya di Gedung BKPM Jakarta, Jumat (14/8/2015)
Dia melanjutkan, untuk dana desa mengalami kenaikan menjadi Rp47 triliun, dari Rp20,8 triliun pada 2015. "Jadi dua itu naik semua jika dibandingakn dengan belanja K/L. Biasanya belanja K/L itu tinggi, tapi sekarang kita mau fokus ke bangun daerah. Ini history kita," imbuhnya.
Di sisi lain, Menkeu masih bingung dengan pikiran pemerintah daerah (pemda) mengendapkan dana di bank mencapai Rp273 triliun. Padahal, dana pemberian pemerintah pusat itu bisa digunakan untuk membangun wilyahnya.
"Mengendapnya dana tersebut merupakan tanggung jawab pemda untuk menyalurkannya. Nah, kalau belum ditransfer ke Kabupaten itu pemda harus nyari jalan sendiri gimana caranya. Ini uang sudah ada padahal. Tinggal dipakai membangun, jangan dianggap bencana," kata Bambang.
"Daerah itu harusnya sadar kalau uang yang ditransfer itu haknya masyarakat daerah. Bukan uang Pemda. Kalau menganggur Rp273 triliun berarti ada hal yang ditahan di Pemda, itu harus diluruskan," imbuhnya.
Komisi XI DPR RI memberikan peringatan (warning) kepada pemerintah terkait potensi kebocoran dana transfer ke daerah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
"Nah tentu persoalannya jangan sampai manajemen transfer ini menimbulkan kebocoran-kebocoran, melahirkan ketimpangan penyimpangan baru. Maka sebabnya kami berharap pemerintah membuat regulasi yang transparan agar mampu merespon aliran dana yang besar ini dengan manajemen yang lebih baik," kata anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno.
Kendati demikian, dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan kucuran dana lebih besar terhadap daerah. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi ekonomi dan pemberian otonomi daerah yang bertanggung jawab mulai terlihat.
Hanya saja, Hendrawan mengingatkan bahwa aliran dana yang masuk tersebut tidak disalahgunakan dan pada akhirnya menimbulkan koruptor baru di daerah. "Jangan sampai ini kita kirim banyak uang ke daerah, tapi banyak koruptor baru dan melahirkan penyimpangan baru. Sehingga masalah-masalah hukum lahir," tegasnya.
Dia mengimbau agar pemerintah memiliki rambu-rambu dan tata kelola yang baik terkait mekanisme pencairan dana desa tersebut. "Itu sebabnya dugaan saya mengapa Sofyan Djalil yang background-nya hukum dimasukkan ke Bappenas," imbuh Hendrawan.
Senada dengannya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga meminta agar pemerintah mengawasi pencairan dana desa tersebut. Sosialisasi dan penyuluhan perlu dilakukan agar tidak terjadi masalah baru di daerah.
"Maksudnya bagus untuk mendorong desa tumbuh, tapi kalau sosialisasi dan penyuluhannya kurang, itu bisa jadi masalah baru di desa. Bisa diklasifikasikan sebagai kasus korupsi. Ini harus hati-hati. Karena uang kita terbatas, jangan sampai kita memberikan alokasi yang nantinya malah jadi kontraproduktif," pungkasnya.
Baca: Menkeu Bingung Pemda Endapkan Dana Rp273 T di Bank
(dmd)