Industri Jasa Keuangan Belum Berpihak pada Difabel
A
A
A
SEMARANG - Sekertaris pusat studi dan layanan disabilitas Slamet Tohari menilai, produk atau layanan jasa keuangan di Indonesia masih belum berpihak kepada para penyandang cacat atau difabel, baik secara sistem maupun infrastruktur.
Menurutnya, selama ini penyandang disabilitas masih dianggap kelompok rentan dan belum melek keuangan, sehingga masih sulit mendapatkan akses ke jasa keuangan.
Dia mengaku, masih banyak perbankan di daerah yang tidak mengizinkan kaum difabel walau hanya sekadar menabung atau meminjam uangan, karena tidak adanya pelayanan berbasis khusus difabel, seperti huruf braille dan perangkat lainnya.
"Infrastruktur industri keuanganan belum bisa diakses penyandang disabilitas, seperti ramp kursi roda, guide block, toilet khusus, ATM khusus, dan juga sistem perbankannya sendiri," katanya di sela-sela edukasi keuangan bagi penyandang Disabilitas di Semarang, Minggu (23/8/2015).
Padahal, kaum difabel sangat butuh akses ke perbankan dan jasa keuangan lainnya. "Sekarang ini banyak difabel yang sudah memiliki usaha sendiri yang bisa menghasilkan income. Contohnya penyandang tuna netra yang yang membuka pijat, mereka sehari bisa mendapatkan uang Rp100 ribu sampai Rp500 ribu, karena tidak memiliki akses ke perbankan uang itu hanya disimpan saja. Hal ini kemudian rentan terhadap kejahatan," jelasnya.
Berdasarkan survai pusat studi dan layanan disabilitas menunjukan bahwa 94% penyandang disabilitas tidak pernah mencatat keuangan mereka, dan hanya 6% yang memiliki catatan keuangan dengan baik. "Kondisi ini jelas memprihatinkan," ucapnya.
Karena itu, pihaknya berharap industri jasa keuangan juga memerikan akses perbankan selebar-lebarnya kepada kaum difabel. Sehingga mereka mampu mengatur keuangan mereka sendiri dengan baik.
Deputi Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pusat Jalius menyatakan, banyak kesulitan yang dialami penyandang disabilitas untuk mengakses produk atau layanan jasa keuangan.
Penyebab di antaranya, kurang meleknya mereka (penyandang disabilitas) dalam dunia keuangan, ketidakmampuan mereka membuat perencanaan keuangan untuk kebutuhan sehari-hari, dan bahkan hak mereka dalam mengakses jasa keuangan. Hal ini terkait tingkat pendidikan yang dimiliki penyandang disabilitas.
"Penyabab lain adalah karena memang sistem industri jasa keuangan yang ada masih belum aksesibel terhadap kaum difabel," katanya.
Menurutnya, para penyandang disabilitas masih hidup di tengah stigma yang buruk akibat minimnya peranan pemerintah, yang tidak mempunyai proteksi sosial yang baik, baik itu di bidang pendidikan, maupun dalam layanan perbankan dan jasa keuangan.
"Kondisi ini menjadikan mereka semakin terpuruk, terutama dalam aspek ekonomi," kata Julius.
Karena itu, OJK akan terus mendorong kaum disabilitas melek kuangan, dan mendorong jasa keuangan agar lebih aksesibel dan awared terhadap hak-hak penyandang cacat.
Menurutnya, selama ini penyandang disabilitas masih dianggap kelompok rentan dan belum melek keuangan, sehingga masih sulit mendapatkan akses ke jasa keuangan.
Dia mengaku, masih banyak perbankan di daerah yang tidak mengizinkan kaum difabel walau hanya sekadar menabung atau meminjam uangan, karena tidak adanya pelayanan berbasis khusus difabel, seperti huruf braille dan perangkat lainnya.
"Infrastruktur industri keuanganan belum bisa diakses penyandang disabilitas, seperti ramp kursi roda, guide block, toilet khusus, ATM khusus, dan juga sistem perbankannya sendiri," katanya di sela-sela edukasi keuangan bagi penyandang Disabilitas di Semarang, Minggu (23/8/2015).
Padahal, kaum difabel sangat butuh akses ke perbankan dan jasa keuangan lainnya. "Sekarang ini banyak difabel yang sudah memiliki usaha sendiri yang bisa menghasilkan income. Contohnya penyandang tuna netra yang yang membuka pijat, mereka sehari bisa mendapatkan uang Rp100 ribu sampai Rp500 ribu, karena tidak memiliki akses ke perbankan uang itu hanya disimpan saja. Hal ini kemudian rentan terhadap kejahatan," jelasnya.
Berdasarkan survai pusat studi dan layanan disabilitas menunjukan bahwa 94% penyandang disabilitas tidak pernah mencatat keuangan mereka, dan hanya 6% yang memiliki catatan keuangan dengan baik. "Kondisi ini jelas memprihatinkan," ucapnya.
Karena itu, pihaknya berharap industri jasa keuangan juga memerikan akses perbankan selebar-lebarnya kepada kaum difabel. Sehingga mereka mampu mengatur keuangan mereka sendiri dengan baik.
Deputi Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pusat Jalius menyatakan, banyak kesulitan yang dialami penyandang disabilitas untuk mengakses produk atau layanan jasa keuangan.
Penyebab di antaranya, kurang meleknya mereka (penyandang disabilitas) dalam dunia keuangan, ketidakmampuan mereka membuat perencanaan keuangan untuk kebutuhan sehari-hari, dan bahkan hak mereka dalam mengakses jasa keuangan. Hal ini terkait tingkat pendidikan yang dimiliki penyandang disabilitas.
"Penyabab lain adalah karena memang sistem industri jasa keuangan yang ada masih belum aksesibel terhadap kaum difabel," katanya.
Menurutnya, para penyandang disabilitas masih hidup di tengah stigma yang buruk akibat minimnya peranan pemerintah, yang tidak mempunyai proteksi sosial yang baik, baik itu di bidang pendidikan, maupun dalam layanan perbankan dan jasa keuangan.
"Kondisi ini menjadikan mereka semakin terpuruk, terutama dalam aspek ekonomi," kata Julius.
Karena itu, OJK akan terus mendorong kaum disabilitas melek kuangan, dan mendorong jasa keuangan agar lebih aksesibel dan awared terhadap hak-hak penyandang cacat.
(izz)