Senator Minta Jokowi Cabut Aturan Pelonggaran Miras
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris meminta Presiden Jokow Widodo (Jokowi) mencabut aturan pelonggaran minuman keras (miras) dari paket kebijakan ekonomi yang sudah diumumkannya pekan lalu.
Fahira yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) ini, selain tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan ekonomi, daya saing industri, dan daya beli masyarakat, aturan penjualan miras yang ada saat ini sudah cukup longgar. Hal ini karena masih boleh dijual di supermarket, bar, restoran, hotel dan di lokasi wisata.
"Namun, alasan utama kenapa (aturan pelonggaran miras) harus dikeluarkan dari paket kebijakan ekonomi adalah komitmen Pak Jokowi saat menutup Kongres Umat Islam Indonesia, Februari 2015. Beliau dengan tegas menyatakan, tidak masalah negara kehilangan triliunan rupiah karena pelarangan penjualan miras. Karena jika dibiarkan (miras dijual bebas) kerugian yang akan ditanggung negara lebih besar. Yang rakyat pegang dari seorang pemimpin itu komitmennya," kata dia dalam rilisnya, Kamis (17/9/2015).
Menurutnya, belum terlambat Jokowi mencabut rencana aturan pelonggaran penjualan miras dari paket kebijakan ekonomi. Tidak ada kondisi yang mendesak sehingga aturan penjualan miras harus dilonggarkan karena sama sekali tidak mengganggu ekonomi.
"Jika alasannya terkait pariwisata, harus kita pertanyakan kembali, apa ya wisatawan datang ke sini untuk cari bir. Kalau ya, kan mereka bisa beli di supermarket, bar, atau hotel bahkan di lokasi-lokasi wisata yang sudah ada izin jual miras. Malaysia saja yang aturan mirasnya lebih ketat jumlah wisatawannya puluhan lipat dari kita. Jadi tidak alasan yang mendesak," tutur dia.
Fahira mengungkapkan, sebelum peraturan atau kebijakan dikeluarkan harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Dia mempertanyakan sudah ada kajian dari Kemendag ataupun Kemenko Perekonomian belum bahwa dengan dilonggarkannya aturan miras, ekonomi akan membaik? Atau, apakah pemerintah sudah mengkaji secara sosiologis dampak sosial yang akan ditanggung masyarakat dari kebijakan pelonggaran aturan miras ini.
Harusnya, lanjut Fahira, saat ini Kemendag fokus kepada tindakan pelanggaran yang masih banyak dilakukan supermarket, bar, dan restoran, serta di lokasi-lokasi wisata karena masih menjual miras kepada siapa saja tanpa memeriksa identitas pembeli, sudah diatas 21 tahun atau belum.
"Apa jadinya kalau aturan pelonggaran ini benar-benar direalisasikan. Akan semakin banyak tempat-tempat penjualan miras. Semakin banyak pelanggaran menjual miras kepada anak di bawah umur. Kita tahu bagaimana kapasitas pengawasan di daerah-daerah terkait miras, sangat lemah," ujarnya.
Dia menegaskan, pelonggaran penjualan miras dengan merelaksasi Peraturan Dirjen Dagri No 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, yang akan memberikan keleluasaan kepada kepala daerah untuk menentukan lokasi mana saja yang diperbolehkan menjual miras dianggap tidak akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia.
Fahira yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) ini, selain tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan ekonomi, daya saing industri, dan daya beli masyarakat, aturan penjualan miras yang ada saat ini sudah cukup longgar. Hal ini karena masih boleh dijual di supermarket, bar, restoran, hotel dan di lokasi wisata.
"Namun, alasan utama kenapa (aturan pelonggaran miras) harus dikeluarkan dari paket kebijakan ekonomi adalah komitmen Pak Jokowi saat menutup Kongres Umat Islam Indonesia, Februari 2015. Beliau dengan tegas menyatakan, tidak masalah negara kehilangan triliunan rupiah karena pelarangan penjualan miras. Karena jika dibiarkan (miras dijual bebas) kerugian yang akan ditanggung negara lebih besar. Yang rakyat pegang dari seorang pemimpin itu komitmennya," kata dia dalam rilisnya, Kamis (17/9/2015).
Menurutnya, belum terlambat Jokowi mencabut rencana aturan pelonggaran penjualan miras dari paket kebijakan ekonomi. Tidak ada kondisi yang mendesak sehingga aturan penjualan miras harus dilonggarkan karena sama sekali tidak mengganggu ekonomi.
"Jika alasannya terkait pariwisata, harus kita pertanyakan kembali, apa ya wisatawan datang ke sini untuk cari bir. Kalau ya, kan mereka bisa beli di supermarket, bar, atau hotel bahkan di lokasi-lokasi wisata yang sudah ada izin jual miras. Malaysia saja yang aturan mirasnya lebih ketat jumlah wisatawannya puluhan lipat dari kita. Jadi tidak alasan yang mendesak," tutur dia.
Fahira mengungkapkan, sebelum peraturan atau kebijakan dikeluarkan harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Dia mempertanyakan sudah ada kajian dari Kemendag ataupun Kemenko Perekonomian belum bahwa dengan dilonggarkannya aturan miras, ekonomi akan membaik? Atau, apakah pemerintah sudah mengkaji secara sosiologis dampak sosial yang akan ditanggung masyarakat dari kebijakan pelonggaran aturan miras ini.
Harusnya, lanjut Fahira, saat ini Kemendag fokus kepada tindakan pelanggaran yang masih banyak dilakukan supermarket, bar, dan restoran, serta di lokasi-lokasi wisata karena masih menjual miras kepada siapa saja tanpa memeriksa identitas pembeli, sudah diatas 21 tahun atau belum.
"Apa jadinya kalau aturan pelonggaran ini benar-benar direalisasikan. Akan semakin banyak tempat-tempat penjualan miras. Semakin banyak pelanggaran menjual miras kepada anak di bawah umur. Kita tahu bagaimana kapasitas pengawasan di daerah-daerah terkait miras, sangat lemah," ujarnya.
Dia menegaskan, pelonggaran penjualan miras dengan merelaksasi Peraturan Dirjen Dagri No 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, yang akan memberikan keleluasaan kepada kepala daerah untuk menentukan lokasi mana saja yang diperbolehkan menjual miras dianggap tidak akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia.
(izz)