12 Rekomendasi Paket Ekonomi Partai Perindo
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 12 rekomendasi paket ekonomi Indonesia dihasilkan dalam rembuk ekonomi nasional Partai Perindo. Acara dengan tema “Memacu Laju Ekonomi: Sampai Kapan Rakyat Bertahan?” tersebut diikuti pakar-pakar ekonomi Indonesia.
Paket ekonomi yang direkomendasikan; Pertama, pemerintah perlu meningkatkan sinkronisasi otoritas moneter dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan mengoptimalkan masuknya devisa hasil ekspor.
Kedua, kondisi saat ini gawat darurat, pemerintah tidak punya dignity untuk menjalankan kebijakan termasuk didalam, kualitas birokrat harus diperbaiki agar kebijakannya bisa berjalan.
Ketiga, paradigma tentang pembangunan dan pemeritahan harus diubah dengan lebih fokus ke sektor rill, dengan kebijakan fiskal yang tepat, investasi, inovasi, engagement di semua aspek.
Keempat, meminta jajaran pemerintah untuk membangun iklim ekonomi dan politik, sensitifitas dan situasi relasi politik yang kondusif. Kelima, penyerapan anggaran yang tepat sasaran sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keenam, meminta pemerintah agar mengeluarkan kebijakan ekonomi yang mendukung industri dalam negeri sehingga iklim investasi kembali kondusif.
Ketujuh, mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan sumber pembiayaan dan bahan baku dalam negeri sehingga banyak menyerap tenaga kerja lokal.
Kedelapan, pemerintah segera memprioritaskan pengembangan UMKM melalui peningkatan akses pasar, modal, pelatihan, dan juga perlindungan khusus untuk memperkecil kesenjangan ekonomi masyarakat.
Kesembilan, memacu pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan pemerataan pertumbuhan ekonomi.
Kesepuluh, mendesak pemerintah merealisasikan politik pertanian masa depan lebih baik melalui keberpihakan kepemilikan lahan sendiri oleh petani, akses modal murah, proteksi hasil-hasil pertanian termasuk politik anggaran yang terus berpihak pada kesejahteraan petani.
Kesebelas, menjaga daya beli masyarakat agar konsumsi tetap terjaga dan meningkat. Terakhir, mengoptimalkan kinerja BUMN untuk mengerjakan proyek yang feasible untuk meningkatkan pendapatan negara, agar dapat mengurangi ketergantungan pendapatan dari pajak.
"Kita butuh formula baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di saat ekonomi dunia bergeser, harga komoditi bergeser seperti sekarang ini," kata Ari Kuncoro, ekonom yang juga dekan FEB UI pada Rembuk Ekonomi Nasional dalam rangka peringatan HUT ke-1 Partai Perindo, Selasa (6/10/2015).
Dia meminta pemerintah agar dapat menstabilkan inflasi, memberikan perlindungan kepada golongan menengah ke bawah, dan meredam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. "Kita masih dalam tahap perlambatan dan butuh waktu tiga bulan untuk masa pemulihan," katanya.
Sementara, Anggito Abimanyu menyoroti persoalan birokrasi. “Apapun solusi yang bagus kalau mesin birokrasinya itu tidak responsif, itu menjadi sia-sia,” ujarnya. Dia mengatakan, di Indonesia ada beberapa kementerian yang kualitas birokrasinya buruk. Dia mencontohkan dalam hal tax ratio, pada tahun 2000 tax ratio mencapai sebesar 12%, namun sekarang yang terjadi malah berkisar di angka 11%. “Itu menunjukkan sistem tidak jalan,” tuturnya.
Kualitas birokrasi yang tidak mumpuni, menjadikan Indonesia kerap hanya menjadi penggembira di ajang pertemuan dunia. “Di forum ASEAN saja bahasa Inggris kita tidak karuan, negoisasi tidak berdasar, pokoknya begini, pokoknya begini. Jadi memang lemah sekali,” tegas mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu itu.
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan, indeks kepercayaan konsumen terus menurun dan pemerintah mesti mengeluarkan kebijakan jangka pendek untuk menambah stimulus dan mendorong investor agar ingin berinvestasi di Indonesia. Dia juga meminta, ke depannya pemerintah harus bisa menstabilkan harga kebutuhan pokok dan harus mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Didik J Rachbini menekankan, saat ini ada dua permasalahan yang dihadapi Indonesia. Pertama, krisis dan kedua adalah kesenjangan. Dalam menangani krisis yang terpenting adalah membangun iklim ekonomi dan politik yang kondusif. “Sensitivitas kondisi psikologis, relasi politik itu paling penting. Ini yang sekarang terjadi saling berkelahi sendiri, berkelahi itu modal sosial terendah,” terangnya.
Selain itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus bersama-sama mengatasi nilai tukar rupiah. “Dikomunikasikan ke bank-bank. Sekarang bank-bank tidak pernah dipanggil. Bank bisa ambil keuntungan sendiri dari nilai tukar rupiah,” ungkapnya.
Selain itu, dia mengingatkan untuk meneliti kembali satu-persatu kebijakan ekspor. Karena seringkali eksportir tidak memanfaatkan fasilitas potongan tarif ekspor untuk negara-negara ASEAN misalnya. Hal tersebut merupakan kesalahan pengusaha dan pemerintah yang kurang mensosialisasikan strategi kebijakan ekspor. Selain itu, penyerapan APBN dan jangka menengah adalah membangun industri. “Dulu industri kita dua kali lebih tinggi pertumbuhannya dibanding pertumbuhan ekonomi sekarang,” kata Didik.
Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) mengungkapkan bahwa Perindo mengumpulkan para pakar ekonomi di berbagai bidang serta ekonom yang pernah menjabat di pemerintahan untuk urun rembuk mengatasi persoalan ekonomi. “Ini menjadi masalah serius milik kita bersama dan menjadi masalah kita bersama karena Indonesia milik semua, serta kita tidak ingin melihat Indonesia terpuruk lebih lama,” ungkap dia.
Dia mengatakan apa yang terjadi saat ini berbeda dengan tahun 1998. Dimana pada masa itu yang dihadapi oleh bangsa ini adalah krisis keuangan, karena banyak bank bermasalah. “Saat ini yang kita hadapi bukan krisis keuangan lagi, tetapi krisis ekonomi yang sangat struktural. Semua pihak kena dari atas sampai bawah,” ucap pria asal Jawa Timur tersebut.
Dampaknya, lanjut HT, lebih cepat dirasakan oleh menengah bawah karena makanan serba impor. Bila hal tersebut berlanjut maka tahun 2016 Indonesia bisa berhadapan dengan krisis yang lebih buruk dibanding tahun 1998.
HT menuturkan, saat ini Indonesia tak lagi memiliki penopang ekonomi. Indonesia kini tak lagi bisa mengandalkan minyak seperti era 1970-an, era pembangunan pabrik-pabrik pada tahun 1980-an hingga 1990-an juga tidak seperti dulu lagi. Begitu juga komoditas yang selama 2000-an hingga tiga tahun lalu masih berjaya, kini pun sudah tak bisa diandalkan karena turunnya harga-harga komoditas.
Selain itu, HT menyoroti tentang kesenjangan yang makin melebar akibat kondisi perekonomian saat ini. “Kita kurang berjuang terhadap masyarakat ekonomi lemah. UMKM yang mereka butuhkan modal murah, pelatihan karena edukasinya kurang, proteksi, perlakuan yang lebih baik, special treatment supaya mereka tumbuhnya bisa lebih cepat daripada menengah ke atas,” tuturnya.
HT mengatakan sejak zaman Orde Baru pembangunan ekonomi Indonesia lebih cenderung kepada masyarakat menengah ke atas. “Kita sering fokus pada proyek-proyek besar sehingga makin lama kesenjangan makin lebar, sehingga masyarakat kita di tatanan menengah ke bawah seperti petani, nelayan, UMKM, buruh, selalu ketinggalan. Selama ini, Indonesia tidak pernah punya konsep fokus dedicated kepada masyarakat yang tertinggal,” pungkas HT.
(Erika Octaviana Sari)
Paket ekonomi yang direkomendasikan; Pertama, pemerintah perlu meningkatkan sinkronisasi otoritas moneter dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan mengoptimalkan masuknya devisa hasil ekspor.
Kedua, kondisi saat ini gawat darurat, pemerintah tidak punya dignity untuk menjalankan kebijakan termasuk didalam, kualitas birokrat harus diperbaiki agar kebijakannya bisa berjalan.
Ketiga, paradigma tentang pembangunan dan pemeritahan harus diubah dengan lebih fokus ke sektor rill, dengan kebijakan fiskal yang tepat, investasi, inovasi, engagement di semua aspek.
Keempat, meminta jajaran pemerintah untuk membangun iklim ekonomi dan politik, sensitifitas dan situasi relasi politik yang kondusif. Kelima, penyerapan anggaran yang tepat sasaran sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keenam, meminta pemerintah agar mengeluarkan kebijakan ekonomi yang mendukung industri dalam negeri sehingga iklim investasi kembali kondusif.
Ketujuh, mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan sumber pembiayaan dan bahan baku dalam negeri sehingga banyak menyerap tenaga kerja lokal.
Kedelapan, pemerintah segera memprioritaskan pengembangan UMKM melalui peningkatan akses pasar, modal, pelatihan, dan juga perlindungan khusus untuk memperkecil kesenjangan ekonomi masyarakat.
Kesembilan, memacu pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan pemerataan pertumbuhan ekonomi.
Kesepuluh, mendesak pemerintah merealisasikan politik pertanian masa depan lebih baik melalui keberpihakan kepemilikan lahan sendiri oleh petani, akses modal murah, proteksi hasil-hasil pertanian termasuk politik anggaran yang terus berpihak pada kesejahteraan petani.
Kesebelas, menjaga daya beli masyarakat agar konsumsi tetap terjaga dan meningkat. Terakhir, mengoptimalkan kinerja BUMN untuk mengerjakan proyek yang feasible untuk meningkatkan pendapatan negara, agar dapat mengurangi ketergantungan pendapatan dari pajak.
"Kita butuh formula baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di saat ekonomi dunia bergeser, harga komoditi bergeser seperti sekarang ini," kata Ari Kuncoro, ekonom yang juga dekan FEB UI pada Rembuk Ekonomi Nasional dalam rangka peringatan HUT ke-1 Partai Perindo, Selasa (6/10/2015).
Dia meminta pemerintah agar dapat menstabilkan inflasi, memberikan perlindungan kepada golongan menengah ke bawah, dan meredam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. "Kita masih dalam tahap perlambatan dan butuh waktu tiga bulan untuk masa pemulihan," katanya.
Sementara, Anggito Abimanyu menyoroti persoalan birokrasi. “Apapun solusi yang bagus kalau mesin birokrasinya itu tidak responsif, itu menjadi sia-sia,” ujarnya. Dia mengatakan, di Indonesia ada beberapa kementerian yang kualitas birokrasinya buruk. Dia mencontohkan dalam hal tax ratio, pada tahun 2000 tax ratio mencapai sebesar 12%, namun sekarang yang terjadi malah berkisar di angka 11%. “Itu menunjukkan sistem tidak jalan,” tuturnya.
Kualitas birokrasi yang tidak mumpuni, menjadikan Indonesia kerap hanya menjadi penggembira di ajang pertemuan dunia. “Di forum ASEAN saja bahasa Inggris kita tidak karuan, negoisasi tidak berdasar, pokoknya begini, pokoknya begini. Jadi memang lemah sekali,” tegas mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu itu.
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan, indeks kepercayaan konsumen terus menurun dan pemerintah mesti mengeluarkan kebijakan jangka pendek untuk menambah stimulus dan mendorong investor agar ingin berinvestasi di Indonesia. Dia juga meminta, ke depannya pemerintah harus bisa menstabilkan harga kebutuhan pokok dan harus mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Didik J Rachbini menekankan, saat ini ada dua permasalahan yang dihadapi Indonesia. Pertama, krisis dan kedua adalah kesenjangan. Dalam menangani krisis yang terpenting adalah membangun iklim ekonomi dan politik yang kondusif. “Sensitivitas kondisi psikologis, relasi politik itu paling penting. Ini yang sekarang terjadi saling berkelahi sendiri, berkelahi itu modal sosial terendah,” terangnya.
Selain itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus bersama-sama mengatasi nilai tukar rupiah. “Dikomunikasikan ke bank-bank. Sekarang bank-bank tidak pernah dipanggil. Bank bisa ambil keuntungan sendiri dari nilai tukar rupiah,” ungkapnya.
Selain itu, dia mengingatkan untuk meneliti kembali satu-persatu kebijakan ekspor. Karena seringkali eksportir tidak memanfaatkan fasilitas potongan tarif ekspor untuk negara-negara ASEAN misalnya. Hal tersebut merupakan kesalahan pengusaha dan pemerintah yang kurang mensosialisasikan strategi kebijakan ekspor. Selain itu, penyerapan APBN dan jangka menengah adalah membangun industri. “Dulu industri kita dua kali lebih tinggi pertumbuhannya dibanding pertumbuhan ekonomi sekarang,” kata Didik.
Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) mengungkapkan bahwa Perindo mengumpulkan para pakar ekonomi di berbagai bidang serta ekonom yang pernah menjabat di pemerintahan untuk urun rembuk mengatasi persoalan ekonomi. “Ini menjadi masalah serius milik kita bersama dan menjadi masalah kita bersama karena Indonesia milik semua, serta kita tidak ingin melihat Indonesia terpuruk lebih lama,” ungkap dia.
Dia mengatakan apa yang terjadi saat ini berbeda dengan tahun 1998. Dimana pada masa itu yang dihadapi oleh bangsa ini adalah krisis keuangan, karena banyak bank bermasalah. “Saat ini yang kita hadapi bukan krisis keuangan lagi, tetapi krisis ekonomi yang sangat struktural. Semua pihak kena dari atas sampai bawah,” ucap pria asal Jawa Timur tersebut.
Dampaknya, lanjut HT, lebih cepat dirasakan oleh menengah bawah karena makanan serba impor. Bila hal tersebut berlanjut maka tahun 2016 Indonesia bisa berhadapan dengan krisis yang lebih buruk dibanding tahun 1998.
HT menuturkan, saat ini Indonesia tak lagi memiliki penopang ekonomi. Indonesia kini tak lagi bisa mengandalkan minyak seperti era 1970-an, era pembangunan pabrik-pabrik pada tahun 1980-an hingga 1990-an juga tidak seperti dulu lagi. Begitu juga komoditas yang selama 2000-an hingga tiga tahun lalu masih berjaya, kini pun sudah tak bisa diandalkan karena turunnya harga-harga komoditas.
Selain itu, HT menyoroti tentang kesenjangan yang makin melebar akibat kondisi perekonomian saat ini. “Kita kurang berjuang terhadap masyarakat ekonomi lemah. UMKM yang mereka butuhkan modal murah, pelatihan karena edukasinya kurang, proteksi, perlakuan yang lebih baik, special treatment supaya mereka tumbuhnya bisa lebih cepat daripada menengah ke atas,” tuturnya.
HT mengatakan sejak zaman Orde Baru pembangunan ekonomi Indonesia lebih cenderung kepada masyarakat menengah ke atas. “Kita sering fokus pada proyek-proyek besar sehingga makin lama kesenjangan makin lebar, sehingga masyarakat kita di tatanan menengah ke bawah seperti petani, nelayan, UMKM, buruh, selalu ketinggalan. Selama ini, Indonesia tidak pernah punya konsep fokus dedicated kepada masyarakat yang tertinggal,” pungkas HT.
(Erika Octaviana Sari)
(dmd)