BPH Migas Bantah Harga Gas Tinggi karena PGN
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) membantah, melonjaknya harga gas disebabkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang melanggar aturan.
Kepala BPH Migas Andi Noorsaman Someng mengatakan, penyebab harga gas tinggi diakibatkan Permen ESDM No 19/2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa yang tidak konsisten terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 30/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
"Permen ESDM itu menyuburkan trader bertingkat, di mana harga gas ditetapkan oleh badan usaha bukannya oleh pemerintah," kata dia, Jakarta, Selasa (13/10/2015). (Baca: Harga Gas Tinggi karena PGN Langgar Aturan BPH Migas).
Penegasan Andi ini sekaligus membantah tulisan sejumlah media yang secara salah mengutip pernyataannya. "Saya tidak pernah mengatakan bahwa 'toll fee' dan PGN sebagai penyebab tingginya harga gas. Yang membuat harga gas tinggi karena banyaknya trader akibat permen ESDM No 19/2009," tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah media sempat memberitakan bahwa BPH Migas menyalahkan 'toll fee' yang diterapkan PGN sebagai penyebab tingginya harga gas.
Menurut Andi, revisi Permen ESDM No 19/2009 mutlak diperlukan. Multitrader membuat rantai tata niaga menjadi panjang. Sedangkan untuk harga jual, seharusnya dikontrol oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM atau BPH Migas. "Jadi tidak ada BUMN atau badan usaha yang disalahkan karena 'toll fee'," ujar dia.
Sejumlah kalangan sebelumnya telah menolak keberadaan Permen ESDM No 19/2009 karena berbenturan dengan amanat UUD 1945. Permen ini dianggap melegalisasi para trader gas modal kertas untuk menggunakan jaringan pipa gas yang telah dibangun BUMN seperti PGN.
Pasalnya, badan usaha diwajibkan untuk menggunakan pipa transmisi dan atau pipa distribusi yang dibangunnya untuk dapat dimanfaatkan bersama atau 'open acces' pada ruas transmisi dan wilayah jaringan distribusi tertentu.
Jadi dengan aturan itu, fasilitas jaringan pipa gas bumi yang telah dibangun BUMN seperti PGN dapat dipakai para trader gas yang mayoritas tidak pernah membangun infrastruktur. Sementara kebanyakan trader gas hanya bermodal kertas alias hanya menjadi broker saja.
Aturan soal 'open acces' ini dinilai telah melanggar UUD 1945 yang telah mengamanatkan bahwa bumi, tanah dan air harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pasalnya, dengan open acces pada kegiatan penjualan, maka peran negara untuk melakukan fungsi penguasaan atas kekayaan alam bisa dikatakan gagal. Skema 'open access' pada kegiatan penjualan akan mendorong trader gas modal kertas untuk menggunakan pipa distribusi yang seharusnya dikuasai negara.
Kepala BPH Migas Andi Noorsaman Someng mengatakan, penyebab harga gas tinggi diakibatkan Permen ESDM No 19/2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa yang tidak konsisten terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 30/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
"Permen ESDM itu menyuburkan trader bertingkat, di mana harga gas ditetapkan oleh badan usaha bukannya oleh pemerintah," kata dia, Jakarta, Selasa (13/10/2015). (Baca: Harga Gas Tinggi karena PGN Langgar Aturan BPH Migas).
Penegasan Andi ini sekaligus membantah tulisan sejumlah media yang secara salah mengutip pernyataannya. "Saya tidak pernah mengatakan bahwa 'toll fee' dan PGN sebagai penyebab tingginya harga gas. Yang membuat harga gas tinggi karena banyaknya trader akibat permen ESDM No 19/2009," tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah media sempat memberitakan bahwa BPH Migas menyalahkan 'toll fee' yang diterapkan PGN sebagai penyebab tingginya harga gas.
Menurut Andi, revisi Permen ESDM No 19/2009 mutlak diperlukan. Multitrader membuat rantai tata niaga menjadi panjang. Sedangkan untuk harga jual, seharusnya dikontrol oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM atau BPH Migas. "Jadi tidak ada BUMN atau badan usaha yang disalahkan karena 'toll fee'," ujar dia.
Sejumlah kalangan sebelumnya telah menolak keberadaan Permen ESDM No 19/2009 karena berbenturan dengan amanat UUD 1945. Permen ini dianggap melegalisasi para trader gas modal kertas untuk menggunakan jaringan pipa gas yang telah dibangun BUMN seperti PGN.
Pasalnya, badan usaha diwajibkan untuk menggunakan pipa transmisi dan atau pipa distribusi yang dibangunnya untuk dapat dimanfaatkan bersama atau 'open acces' pada ruas transmisi dan wilayah jaringan distribusi tertentu.
Jadi dengan aturan itu, fasilitas jaringan pipa gas bumi yang telah dibangun BUMN seperti PGN dapat dipakai para trader gas yang mayoritas tidak pernah membangun infrastruktur. Sementara kebanyakan trader gas hanya bermodal kertas alias hanya menjadi broker saja.
Aturan soal 'open acces' ini dinilai telah melanggar UUD 1945 yang telah mengamanatkan bahwa bumi, tanah dan air harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pasalnya, dengan open acces pada kegiatan penjualan, maka peran negara untuk melakukan fungsi penguasaan atas kekayaan alam bisa dikatakan gagal. Skema 'open access' pada kegiatan penjualan akan mendorong trader gas modal kertas untuk menggunakan pipa distribusi yang seharusnya dikuasai negara.
(izz)