Industri Minta Pemerintah Tidak Menutup Impor Garam

Jum'at, 20 November 2015 - 00:33 WIB
Industri Minta Pemerintah Tidak Menutup Impor Garam
Industri Minta Pemerintah Tidak Menutup Impor Garam
A A A
JAKARTA - Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplast) meminta pemerintah tidak menutup impor garam untuk kebutuhan industri. Sebab, kebutuhan industri terhadap garam setiap tahun terus meningkat, sedangkan ketersediaan garam lokal belum mencukupi.

"Kebutuhan industri garam semakin meningkat setiap tahun. Permintaan garam industri 1,2 juta ton per tahun, para pelaku industri sudah menyampaikan kepada Presiden (Jokowi) untuk diberikan kuota impor, karena jika tahun ini tidak dikasih, maka Januari industri tidak bisa produksi," ungkap Sekjen Inaplas Fajar Budiyono dalam siaran pers, Kamis (19/11/2015).

Dia menerangkan harga garam impor lebih murah berkisar USD38-USD40/mt atau sekitar Rp500/kg (sudah sampai di pelabuhan Indonesia). Sementara garam rakyat harganya Rp750/kg di tempat petambak.

Selain harga tinggi, dan kualitas rendah, jumlah produksi garam rakyat dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan industri. Tidak terjaminnya keberlangsungan suplai sepanjang tahun dikarenakan iklim di sebagian besar wilayah Indonesia kurang mendukung proses pembuatan garam.

“Selama proses pembangunan industri garam nasional, pemerintah jangan melarang impor garam, karena industri akan menjadi korban. Banyak pelaku industri yang akan menutup usaha. Sebenarnya gampang mengawasi impor garam untuk industri, ibaratnya industri adalah binatang buas di kebun binatang yang mudah diawasi,” bebernya.

Menurut Fajar, sebenarnya Indonesia memiliki potensi besar. Namun, produksi garam idealnya memerlukan air laut yang belum terkontaminasi. Sedangkan industri garam nasional masih tergantung di Pulau Jawa dan Madura, yang air lautnya sudah terkontaminasi.

"Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar, yaitu di NTT. Daerah ini memiliki air laut yang masih bagus, lautnya dalam, panasnya sepanjang tahun. Namun, masih mengalami kendala yakni pembebasan lahan, tanah tidak luas dan budaya masyarakat setempat," tandasnya.

Terkait hal itu, rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 58 Tahun 2012 terkait dengan kebijakan pengenaan impor garam harus mempertimbangkan dampaknya terhadap penguatan daya saing industri kimia dasar. Jika diberlakukan kebijakan tarif impor garam maka hal ini akan berdampak pada daya saing industri kimia dasar nasional.

Industri Kimia Dasar

Sektor industri kimia dasar memiliki kontribusi cukup besar terhadap perekonomian nasional. Industri Chlor Alkali Plat (CAP) diperkirakan memiliki kontribusi terhadap pembayaran pajak sebesar Rp1,5 triliun per tahun.

Produk CAP sebagai bahan baku penting (essential raw material) dari lebih 500 industri hilir sebagai katalisator industrialisasi di Indonesia, juga berperan besar menyumbang devisa negara dari sisi ekspor produk hasil industri hilir CAP.

Garam adalah bahan baku utama untuk menghasilkan Chlor Alkali, soda kaustik, soda abu, PVC, hydrogen yang merupakan bahan baku utama industri-industri lain, antara lain refinery minyak bumi, petro chemistry, sintesa organis, otomotif, tekstil, kertas, disinfektan, dan makanan.

Kebutuhan garam nasional pada 2015 diperkirakan sekitar 3,6 juta ton. Sementara produksi garam lokal rata-rata per tahun hanya sebesar 1,7 juta ton.

Industri merupakan sektor yang mendominasi penggunaan garam sebagai bahan baku proses produksi, sementara sisanya adalah untuk konsumsi rumah tangga.

"Prediksi saya tahun ini akan terjadi surplus garam konsumsi. Namun permintaan garam industri terus meningkat, sedangkan pabrik pengolahan garam industri belum ada,” ujar Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Profesor Misri Gozan.

Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan garam nasional diharapkan dapat selaras dengan kebutuhan industri kima dasar. Kebijakan tata niaga impor garam harus mempertimbangkan kepentingan seluruh stakeholder dalam hal ini petambak, rakyat, industri dan pemerintah.

Selama ini para pelaku industri lebih mengandalkan suplai garam impor, hal tersebut disebabkan garam impor memiliki spesifikasi yang baik dan memenuhi standar garam industri (SNI) dengan rata-rata kandungan NaCl diatas 96%.

"Garam rakyat sangat sulit untuk menyaingi garam indsutri namun tidak mustahil asal menggunakan sistem industrialisasi, namun industrilisasi garam membutuhkan proses yang tidak mudah, dalam pengembangan indsutrialisasi banyak juga hambatan dalam hal non teknologi," lanjut Misri.

Sementara, kondisi garam rakyat kualitasnya masih di bawah standar. Di mana kandungan atau kadar NaCl dikisaran 88-92,5%, dan kadar Magnesium (Mg) yang tinggi, Mg di kisaran 0,63- 0,92%. Selain itu, keberlangsungan suplai juga terjamin dan harga garam impor sangat kompetitif.

"Garam rakyat atau garam krosok memiliki kandungan Mn, Al, Fe yang tinggi, namun di beberapa daerah seperti Cirebon, Rembang, Pati sudah bisa memproduksi garam yang setara dengan garam industri," jelas Misri.

Mutu garam rendah juga menjadi pertimbangan utama industri tidak menggunakan garam rakyat sebagai bahan baku proses produksi. Pasalnya, jika dipaksakan, kadar Magnesium (Mg) yang tinggi akan menyebabkan hal-hal seperti; kerusakan mesin atau peralatan produksi dan berkurangnya kualitas produk.

Selain itu, garam rakyat juga belum memenuhi standar nasional garam industri. Kualitas produk garam rakyat tidak seragam dengan kandungan zat pencemaran yang tinggi. Sehingga untuk peningkatan kualitas atau pemurnian kristal garam melalui pencucian menyebabkan naiknya biaya, oleh karena itu garam rakyat cenderung dijual dengan kualitas seadanya.

Musim panas di Indonesia relatif pendek, yaitu 4-5 bulan pertahun, dengan kelembaban udara cukup tinggi di kisaran 60-70%. Sedangkan di Negara-Negara penghasil garam impor seperti, Australia, Mexico atau China, memiliki musim panas sampai 11 bulan pertahun dengan humiditas 20-30%.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7309 seconds (0.1#10.140)