DPR: Inalum Bisa Bangkrut karena Pajak Air Permukaan

Kamis, 26 November 2015 - 11:03 WIB
DPR: Inalum Bisa Bangkrut...
DPR: Inalum Bisa Bangkrut karena Pajak Air Permukaan
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan menyanyangkan permasalahan pajak air permukaan Inalum dengan pemerintah.

Menurutnya, sebagai perusahaan BUMN, Inalum belum mendapatkan support real khususnya di tataran Pemda. Ini bisa terlihat dari adanya ketidaksepahaman antara Inalum dengan Pemda di Sumatera Utara, terutama terkait pajak air prmukaan.

Menurutnya, Pemda mestinya tidak terlalu memaksakan kenaikan pajak air permukaan yang terlalu tinggi yang akan memberatkan Inalum. Hal ini penting sehingga Inalum sebagai BUMN bisa lebih maju dan bersaing.

"Jadi kan sudah ada hasil kajian dari BPKP-nya. Ikutin itu saja," ujarnya, kemarin.

Menurutnya, Dikatakannya, jika Inalum sudah mengikuti aturan pajak air permukaan dari kajian BPKP, maka langkah Dispenda yang masih menaikkan pajak tersebut justru akan berdampak buruk bagi Inalum sendiri.

Dijelaskan, dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Inalum (Asahan II) ditagih PAP berdasarkan tarif industri progresif sebesar Rp1.444/m3, sehingga dalam satu tahun surat ketetapan pajak daerah (SKPD) lebih dari Rp500 miliar.

"Jadi ini jelas sangat memberatkan, tidak adil, dan Inalum bisa bangkrut karena pajak daerah ini," jelas Heri.

Padahal, PAP untuk pembangkitan listrik yang dijual ke PLN yang dikenakan kepada Asahan I berdasarkan tarif Rp7,5/Kwh. Pemprov Sumut sudah pernah minta BPKP Sumut untuk mengkaji berapa besaran PAP yang wajar untuk pembangkitan listrik untuk kepentingan sendiri atas Inalum yaitu Rp19,8/KwH.

"Jadi wajar bila Inalum menyampaikan keberatan atas penetapan tarif industri atas kegiatan pembangkitan listrik, yang dikenakan Dispenda," katanya.

Menurutnya, meski keberatan dengan hasil perhitungan Dispenda, Inalum tetap berkontribusi terhadap pendapatan daerah dari pajak air permukaan, baik untuk air yang digunakan untuk industri di pabrik peleburan, di perumahan maupun untuk pembangkitan listrik, khusus untuk pembangkit litrik Inalum menggunakan tarif Rp7,5/kwh, seperti diatur dalam Peraturan Gubernur.

Namun, dia juga menyarankan solusi untuk menghadapi persoalan tersebut. "Pertama adakan pendekatan dulu dengan pihak Pemda, lalu Inalum bisa meminta opini dari jamdatun dan segera membuat MoU dengan Pemerintah Provinsi Sumut (Plt Gubernur), sehingga tercapai kesepakatan pembayaran pajak air permukaan yang disarankan BPKP, terakhir meminta kepada komisi terkait untuk menjadi masukan atas keberadaan otonomi daerah," jelasnya.

Pihaknya menyarankan agar regulasi sebaiknya diperbaiki. Hal ini guna menciptakan sinergi yang lebih baik antara pusat dan daerah.

Sementara, menurut pengamat dan praktisi hukum Acong Latif mengatakan, masyarakat tentu ingin tahu, mengapa pajak air permukaan menimbulkan kegaduhan, disaat sebenarnya Inalum sudah menjadi BUMN, sedangkan pada masa Inalum masih sebagai PMA tidak bermasalah.

Pada masa PMA pajak air permukaan termasuk pajak-pajak daerah lainnya dibayarkan Inalum sebagai satu kesatuan yang disebut annual fee kepada Pemerintah. Annual fee diatur dalam master agreement yaitu perjanjian induk antara investor Jepang dengan Pemerintah RI.

Selanjutnya oleh Pemerintah Pusat, annual fee ini dikembalikan kepada Pemda secara proporsional, yaitu kepada Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota yang melingkupi Danau Toba dan aliran Sungai Asahan, transmisi serta lokasi pabrik peleburan, masing-masing kabupaten Toba samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Batubara, kota Tanjung Balai.

"Formula perhitungan annual fee berbeda dengan perhitungan pajak, komponen perhitungannya terdiri iuran tetap, yaitu USD2,600,000 dan iuran variable yang tergantung pada harga Aluminium dunia (London Metal Exchange). Peruntukan dari annual fee juga sudah diatur, yaitu terdiri dari pajak air permukaan, pajak bumi dan bangunan, dan pajak lainnya," tuturnya
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0678 seconds (0.1#10.140)