Diprotes Pengusaha, Ini Reaksi Mendag Lembong
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong akhirnya memutuskan untuk merevisi aturan impor dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 87 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Pasalnya, peraturan yang menjadi salah satu poin dalam paket kebijakan ekonomi jilid I ini banyak dihujani protes dari kalangan dunia usaha.
Dia mengklaim, saat mengeluarkan Permendag tersebut pihaknya diberi tenggat waktu yang cepat sehingga aturan yang dihasilkan tidak memuaskan dan sulit diterapkan di lapangan. Maka, saat ini tengah dia menyiapkan Permendag baru agar tidak menyulitkan pengusaha.
"Jadi kita sedang menyiapkan Permendag baru, yang membenahi khusus aspek operasional untuk importir produsen, supaya dia bisa tetap mengimpor barang jadi juga," katanya di Jakarta, Senin (7/12/2015).
Lembong menjelaskan, dalam Permendag ini pihaknya fokus pada aspek importir produsen yang dilarang melakukan impor barang jadi. Pasalnya, hal tersebut sangat penting untuk kelangsungan usaha mereka.
Kendati demikian, dalam aturan tersebut nantinya juga akan diatur jangka waktu (time frame) yang dibolehkan untuk importir produsen dapat melakukan impor barang jadi. Karena jika tidak, mereka akan terus-terusan mengimpor barang jadi.
Selama ini, importir produsen melakukan impor barang jadi untuk tes pasar sebelum produk tersebut diproduksi di dalam negeri.
"Kayaknya akan lebih diatur jangka waktu (time frame) nya. Enggak bisa terus-terusan. Harus bisa lebih jelas. Kalau tes pasar kan enggak bisa terus-terusan. Harus ada periode tes pasarnya," tandas Lembong.
Seperti diberitakan sebelumnya, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) memprotes Permendag No 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, yang diterbitkan Mendag Lembong belum lama ini.
Ketua Dewan Pembina Aprisindo Harijanto menilai aturan tersebut tidak akan menumbuhkan industri di Indonesia. Bahkan, industri justru akan mati dengan aturan baru impor tersebut.
Dalam aturan tersebut, Lembong menghapus ketentuan penetapan sebagai Importir Terdaftar (IT) Produk Tertentu. Adapun produk tertentu yang dimaksud antara lain kosmetik, pakaian jadi, obat tradisional, elektronik, alas kaki, dan mainan anak. Dengan aturan itu, impor produk tersebut hanya memerlukan Angka Pengenal Importir Umum (API-U).
"Saya kira tidak ada negara yang kuat kalau industrinya tidak tumbuh. Indonesia yang penduduknya besar, industri padat karya masih dibutuhkan," katanya di Kantor BKPM, Jakarta, Kamis (3/12/2015).
Menurutnya, aturan tersebut tidak berpihak kepada produsen dan justru menjadikan orang lebih cenderung menjadi pedagang. "Ini tidak akan menumbuhkan industri di Indonesia," imbuh dia.
Hal senada diucapkan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Sutrisno. Permendag No 87/2015 membuat importir pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) tidak diperbolehkan mengimpor barang jadi. Padahal, saat ini masih terdapat produsen yang salah satu komponennya belum memiliki skala ekonomi dan harus diimpor.
"Itu kan paradox dengan visi bangun industri. Itu trading, bukan negara industri. Kalau trading, serapan tenaga kerja jauh lebih kecil dari pada industri," tandasnya.
Pasalnya, peraturan yang menjadi salah satu poin dalam paket kebijakan ekonomi jilid I ini banyak dihujani protes dari kalangan dunia usaha.
Dia mengklaim, saat mengeluarkan Permendag tersebut pihaknya diberi tenggat waktu yang cepat sehingga aturan yang dihasilkan tidak memuaskan dan sulit diterapkan di lapangan. Maka, saat ini tengah dia menyiapkan Permendag baru agar tidak menyulitkan pengusaha.
"Jadi kita sedang menyiapkan Permendag baru, yang membenahi khusus aspek operasional untuk importir produsen, supaya dia bisa tetap mengimpor barang jadi juga," katanya di Jakarta, Senin (7/12/2015).
Lembong menjelaskan, dalam Permendag ini pihaknya fokus pada aspek importir produsen yang dilarang melakukan impor barang jadi. Pasalnya, hal tersebut sangat penting untuk kelangsungan usaha mereka.
Kendati demikian, dalam aturan tersebut nantinya juga akan diatur jangka waktu (time frame) yang dibolehkan untuk importir produsen dapat melakukan impor barang jadi. Karena jika tidak, mereka akan terus-terusan mengimpor barang jadi.
Selama ini, importir produsen melakukan impor barang jadi untuk tes pasar sebelum produk tersebut diproduksi di dalam negeri.
"Kayaknya akan lebih diatur jangka waktu (time frame) nya. Enggak bisa terus-terusan. Harus bisa lebih jelas. Kalau tes pasar kan enggak bisa terus-terusan. Harus ada periode tes pasarnya," tandas Lembong.
Seperti diberitakan sebelumnya, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) memprotes Permendag No 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, yang diterbitkan Mendag Lembong belum lama ini.
Ketua Dewan Pembina Aprisindo Harijanto menilai aturan tersebut tidak akan menumbuhkan industri di Indonesia. Bahkan, industri justru akan mati dengan aturan baru impor tersebut.
Dalam aturan tersebut, Lembong menghapus ketentuan penetapan sebagai Importir Terdaftar (IT) Produk Tertentu. Adapun produk tertentu yang dimaksud antara lain kosmetik, pakaian jadi, obat tradisional, elektronik, alas kaki, dan mainan anak. Dengan aturan itu, impor produk tersebut hanya memerlukan Angka Pengenal Importir Umum (API-U).
"Saya kira tidak ada negara yang kuat kalau industrinya tidak tumbuh. Indonesia yang penduduknya besar, industri padat karya masih dibutuhkan," katanya di Kantor BKPM, Jakarta, Kamis (3/12/2015).
Menurutnya, aturan tersebut tidak berpihak kepada produsen dan justru menjadikan orang lebih cenderung menjadi pedagang. "Ini tidak akan menumbuhkan industri di Indonesia," imbuh dia.
Hal senada diucapkan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Sutrisno. Permendag No 87/2015 membuat importir pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) tidak diperbolehkan mengimpor barang jadi. Padahal, saat ini masih terdapat produsen yang salah satu komponennya belum memiliki skala ekonomi dan harus diimpor.
"Itu kan paradox dengan visi bangun industri. Itu trading, bukan negara industri. Kalau trading, serapan tenaga kerja jauh lebih kecil dari pada industri," tandasnya.
(izz)