RUU Pertembakauan Harus Berpihak ke Pelaku Industri
A
A
A
JAKARTA - Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan harus mengakomodir semua kepentingan pelaku industri hasil tembakau (IHT) dari sektor hulu hingga hilir. Pasalnya sektor industri hasil tembakau memberikan pemasukan terhadap negara dalam bentuk cukai sebesar 9,5% dari total APBN per tahun.
“Tembakau berbeda dengan komoditas-komoditas strategis pertanian lainnya, tembakau belum mendapatkan dukungan dan bantuan yang diperlukan untuk bisa meningkatkan produktivitas," jelasnya dalam Media diskusi 'Urgensi RUU pertembakauan terhadap sektor IHT di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Dia menambahkan akibat kurang perhatian, akhirnya tingkat produktivitas dan kualitas tembakau yang dihasilkan belum dapat mencukupi permintaan industri. Selain itu, minimnya bantuan yang diterima oleh petani tembakau, menurutnya semakin meningkatkan ongkos produksinya sehingga tidak kompetitif.
“Tata niaga pertanian yang kompleks juga menjadi salah satu hambatan utama perkembangan komoditas tembakau. Petani seringkali tidak mendapatkan akses langsung untuk menjual hasil panennya kepada pabrik atau pemasok sehingga harus mengandalkan para pengepul," ungkapnya.
Diharapkan lewat RUU Pertembakuan, pemerintah dapat membantu menyederhanakan tata niaga pertanian tembakau sehingga kesejahteraan petani juga meningkat. Berdasarkan catatan APTI, produksi tembakau selama beberapa tahun terakhir masih dibawah 200.000 ton, sedangkan permintaan pasar telah mencapai lebih dari 300.000 ton.
(Baca Juga: RUU Pertembakauan Berpotensi PHK Besar-besaran)
Selisih tersebut terpaksa harus dipenuhi oleh impor. Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendapatan Daerah (LP3D), Ayub Laksono mengatakan, tata niaga pertanian khususnya tembakau harus segera dibenahi pemerintah.
“Pabrikan rokok banyak menerima tembakau dari pihak ketiga dan tidak memperoleh langsung dari petani. Dampaknya, harga tembakau di petani rendah dan harga di pihak ketiga sudah mahal,” paparnya.
Dia juga menilai, peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk memangkas rantai distribusi tembakau dari petani dan langsung disalurkan kepada pabrikan rokok.
“Pola kemitraan antara pabrikan dengan petani harus digalakkan. Harus ada payung hukum yang mengatur mengenai program kemitraan,” pungkasnya.
“Tembakau berbeda dengan komoditas-komoditas strategis pertanian lainnya, tembakau belum mendapatkan dukungan dan bantuan yang diperlukan untuk bisa meningkatkan produktivitas," jelasnya dalam Media diskusi 'Urgensi RUU pertembakauan terhadap sektor IHT di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Dia menambahkan akibat kurang perhatian, akhirnya tingkat produktivitas dan kualitas tembakau yang dihasilkan belum dapat mencukupi permintaan industri. Selain itu, minimnya bantuan yang diterima oleh petani tembakau, menurutnya semakin meningkatkan ongkos produksinya sehingga tidak kompetitif.
“Tata niaga pertanian yang kompleks juga menjadi salah satu hambatan utama perkembangan komoditas tembakau. Petani seringkali tidak mendapatkan akses langsung untuk menjual hasil panennya kepada pabrik atau pemasok sehingga harus mengandalkan para pengepul," ungkapnya.
Diharapkan lewat RUU Pertembakuan, pemerintah dapat membantu menyederhanakan tata niaga pertanian tembakau sehingga kesejahteraan petani juga meningkat. Berdasarkan catatan APTI, produksi tembakau selama beberapa tahun terakhir masih dibawah 200.000 ton, sedangkan permintaan pasar telah mencapai lebih dari 300.000 ton.
(Baca Juga: RUU Pertembakauan Berpotensi PHK Besar-besaran)
Selisih tersebut terpaksa harus dipenuhi oleh impor. Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendapatan Daerah (LP3D), Ayub Laksono mengatakan, tata niaga pertanian khususnya tembakau harus segera dibenahi pemerintah.
“Pabrikan rokok banyak menerima tembakau dari pihak ketiga dan tidak memperoleh langsung dari petani. Dampaknya, harga tembakau di petani rendah dan harga di pihak ketiga sudah mahal,” paparnya.
Dia juga menilai, peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk memangkas rantai distribusi tembakau dari petani dan langsung disalurkan kepada pabrikan rokok.
“Pola kemitraan antara pabrikan dengan petani harus digalakkan. Harus ada payung hukum yang mengatur mengenai program kemitraan,” pungkasnya.
(akr)