Pertamina Didesak Sesuaikan Harga BBM Subsidi
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) kembali didesak untuk menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, ditengah tren merosotnya harga minyak mentah dunia hingga pernah menyentuh level di bawah USD27 per barel. Pengamat ekonomi dari UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi menerangkan lebih mahalnya harga solar yang dijual SPBU dibanding solar industri merupakan kejahatan kepada rakyat.
(Baca Juga: Harga Minyak Merosot, Momen Tepat Lenyapkan Premium)
Menurutnya, Pertamina sudah seharusnya menyesuaikan harga BBM subsidi dengan kondisi harga minyak dunia yang sedang anjlok. “Ini tidak boleh terjadi. Ini bentuk nyata kejahatan negara pada rakyatnya. Logikanya terbalik, solar untuk industri semestinya lebih mahal dari pada solar subsidi. Ini tentu tidak boleh dibiarkan,” jelasnya di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Dia juga menerangkan bahwa sebenarnya Pertamina sudah mendapatkan untung besar selama ini. “Bagaimana ceritanya kemudian Pertamina mengambil keuntungan dari masyarakat yang sebetulnya sudah jauh dapat keuntungan (margin) yang amat besar dari biaya produksi,” sambungnya.
Diterangkan juga bahwa dengan kondisi sekarang ini tidak menutup kemungkinan ada pihak yang berani menjual harga solar non subsidi di bawah harga solar subsidi. Seperti yang pernah terjadi pada Agustus 2015 lalu, dimana harga solar subsidi di SPBU dijual dengan harga Rp6.900 per liter, namun PT AKR Corporindo Tbk justru menjual solar industri di level Rp 6.400 per liter, lebih murah Rp500 per liter.
“Begitu teganya negara mengekspos kata solar subsidi namun sebetulnya rakyat yang mensubsidi pemerintah. Aneh tapi nyata, negara menurut pikiran rasional saya sudah terlalu rakus,” pungkasnya.
(Baca Juga: Harga Minyak Merosot, Momen Tepat Lenyapkan Premium)
Menurutnya, Pertamina sudah seharusnya menyesuaikan harga BBM subsidi dengan kondisi harga minyak dunia yang sedang anjlok. “Ini tidak boleh terjadi. Ini bentuk nyata kejahatan negara pada rakyatnya. Logikanya terbalik, solar untuk industri semestinya lebih mahal dari pada solar subsidi. Ini tentu tidak boleh dibiarkan,” jelasnya di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Dia juga menerangkan bahwa sebenarnya Pertamina sudah mendapatkan untung besar selama ini. “Bagaimana ceritanya kemudian Pertamina mengambil keuntungan dari masyarakat yang sebetulnya sudah jauh dapat keuntungan (margin) yang amat besar dari biaya produksi,” sambungnya.
Diterangkan juga bahwa dengan kondisi sekarang ini tidak menutup kemungkinan ada pihak yang berani menjual harga solar non subsidi di bawah harga solar subsidi. Seperti yang pernah terjadi pada Agustus 2015 lalu, dimana harga solar subsidi di SPBU dijual dengan harga Rp6.900 per liter, namun PT AKR Corporindo Tbk justru menjual solar industri di level Rp 6.400 per liter, lebih murah Rp500 per liter.
“Begitu teganya negara mengekspos kata solar subsidi namun sebetulnya rakyat yang mensubsidi pemerintah. Aneh tapi nyata, negara menurut pikiran rasional saya sudah terlalu rakus,” pungkasnya.
(akr)