Kereta Cepat Bisa Senasib dengan Proyek Listrik Era SBY
A
A
A
JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu menilai, proyek kereta api cepat (high speed train/HST) bakal bernasib sama dengan proyek kelistrikan (Fast Track Programme/FTP) 10.000 megawatt (MW) 1 dan 2 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketua FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, kala itu proyek kelistrikan 10.000 MW didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China, yang direncanakan akan selesai hingga akhir periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I atau selama lima tahun pertama.
"Namun yang terjadi? Hingga SBY berakhir pemerintahanya bersama Budiono, proyek pembangkit listrik hasil proyek tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu MW tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW, sisanya diharapkan selesai 2016," kata dia dalam rilisnya yang diterima Sindonews di Jakarta, Sabtu (6/2/2016).
Sayangnya, tingkat keandalan (reliability) proyek tersebut dinilai tidak akan maksimal, atau hanya mampu sekitar 55% hingga 60%. Sebab, banyak pembangkit yang rusak dan tidak sesuai yang dijanjikan pemerintah China.
"Malah sialnya banyak pembangkit yang second hand dari China. Akibatnya, PLN rugi triliunan rupiah karena harus mengantikannya dengan genset berbahan bakar minyak, serta utang pemerintah terhadap pemerintah China bertambah," imbuhnya.
Selain itu, sambung Politisi Partai Gerindra ini, untuk bisa mencairkan dana pinjaman dari Bank Exim China itu pemerintah juga dipaksa untuk membeli pesawat made in China MA 60 yang digunakan Merpati Nusantara Airlines.
"Sekarang semua pesawat sudah hampir jadi bangkai dan Merpati Airlines harus menanggung utang sebesar Rp2,7 triliun dan sekarang ditanggung pemerintah, karena pemerintah waktu itu mengeluarkan Sovereign Guarantee berupa Subsidary Loan Agreement (SLA) walaupun katanya kerja sama pembelian pesawat MA60 itu B to B alias tidak menggunakan APBN," tutur Arief.
Menurutnya, pola penawaran kerja sama pembangunan infrastruktur dari China harus menjadi pelajaran untuk Presiden Jokowi berpikir ulang mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Arief menilai proyek itu akan bernasib sama dengan proyek pembangkit listrik ataupun pengadaan armada busway oleh China, yang banyak rusak dan tidak andal.
"Jadi, kami mendesak agar Jokowi segera membatalkan proyek kereta api cepat, jangan sampai konsorsium BUMN yang terlibat dalam kereta cepat rugi besar dan harus tutup akibat tidak sanggup membayar utang biaya pembangunan," tandasnya.
Ketua FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, kala itu proyek kelistrikan 10.000 MW didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China, yang direncanakan akan selesai hingga akhir periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I atau selama lima tahun pertama.
"Namun yang terjadi? Hingga SBY berakhir pemerintahanya bersama Budiono, proyek pembangkit listrik hasil proyek tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu MW tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW, sisanya diharapkan selesai 2016," kata dia dalam rilisnya yang diterima Sindonews di Jakarta, Sabtu (6/2/2016).
Sayangnya, tingkat keandalan (reliability) proyek tersebut dinilai tidak akan maksimal, atau hanya mampu sekitar 55% hingga 60%. Sebab, banyak pembangkit yang rusak dan tidak sesuai yang dijanjikan pemerintah China.
"Malah sialnya banyak pembangkit yang second hand dari China. Akibatnya, PLN rugi triliunan rupiah karena harus mengantikannya dengan genset berbahan bakar minyak, serta utang pemerintah terhadap pemerintah China bertambah," imbuhnya.
Selain itu, sambung Politisi Partai Gerindra ini, untuk bisa mencairkan dana pinjaman dari Bank Exim China itu pemerintah juga dipaksa untuk membeli pesawat made in China MA 60 yang digunakan Merpati Nusantara Airlines.
"Sekarang semua pesawat sudah hampir jadi bangkai dan Merpati Airlines harus menanggung utang sebesar Rp2,7 triliun dan sekarang ditanggung pemerintah, karena pemerintah waktu itu mengeluarkan Sovereign Guarantee berupa Subsidary Loan Agreement (SLA) walaupun katanya kerja sama pembelian pesawat MA60 itu B to B alias tidak menggunakan APBN," tutur Arief.
Menurutnya, pola penawaran kerja sama pembangunan infrastruktur dari China harus menjadi pelajaran untuk Presiden Jokowi berpikir ulang mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Arief menilai proyek itu akan bernasib sama dengan proyek pembangkit listrik ataupun pengadaan armada busway oleh China, yang banyak rusak dan tidak andal.
"Jadi, kami mendesak agar Jokowi segera membatalkan proyek kereta api cepat, jangan sampai konsorsium BUMN yang terlibat dalam kereta cepat rugi besar dan harus tutup akibat tidak sanggup membayar utang biaya pembangunan," tandasnya.
(izz)