Triawan Munaf Ungkap Lingkaran Setan Bisnis Perfilman
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengungkapkan lingkaran setan dalam bisnis perfilman di Indonesia. Hal ini menanggapi keputusan pemerintah untuk membuka sepenuhnya peluang asing masuk dalam industri perfilman di Tanah Air, dalam revisi daftar negatif investasi (DNI).
Dia mengatakan, film Indonesia sejatinya telah lama terkungkung dalam lingkaran setan lantaran adanya monopoli yang dilakukan oleh satu grup industri perfilman. Apalagi grup usaha tersebut menguasai bisnis bioskop di Tanah Air.
"Ada monopoli di mana satu grup dia juga mengimpor film, mau enggak mau film luar negeri harus ke dia. Karena bioskopnya dia yang punya," ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selama ini, porsi film lokal di bioskop Tanah Air hanya 20% sementara film asing justru 80%. Hal ini terjadi lantaran grup yang memonopoli bisnis perfilman tersebut lebih memilih mengimpor film dari luar negeri dan menayangkannya di Indonesia.
Akibatnya, para sineas Indonesia tidak berani memproduksi film dalam jumlah yang besar karena kuota yang tersedia di layar bioskop hanya sedikit untuk mereka. "Bikin film sehebat apapun kalau bioskopnya cuma sedikit buat mereka, cuma 100 layar saja untuk film bagus kan susah. Enggak akan berkembang. Dan, yang punyanya juga lebih concern kepada film yang dia impor," bebernya.
Sebab itu, lanjut ayah dari penyanyi Sherina Munaf ini, revisi DNI yang membuat asing bisa memiliki kesempatan besar untuk masuk ke dalam industri perfilman di Tanah Air membuat persaingan menjadi lebih sehat. Sekarang, pelaku usaha lokal maupun asing memililki kesempatan yang sama bersaing di industri perfilman Indonesia.
"Orang bisa mempunyai kesempatan, mempunyai pemodal yang berani untuk investasi jangka panjang, serius, membawa keahlian teknik yang luar biasa, dan nanti mereka bikin PT di Indonesia, dengan modal besar, bayar pajak di Indonesia, membuat film di Indonesia, diadakan di Indonesia dan juga di luar negeri," tegas Triawan.
Menurutnya, dibukanya peluang lebih lebar untuk asing masuk ke dalam industri perfilman di Indonesia juga akan membuat para pelaku usaha lokal semakin terpacu dengan kompetisi. Belajar dari pengalaman PT Pertamina (Persero), saat pengusaha migas dari luar negeri berbondong-bondong masuk ke Indonesia, BUMN migas tersebut bukan menciut namun justru semakin tertantang untuk menjadi yang terbaik. (Baca: Pemerintah Bebaskan Asing Kuasai Bioskop di Tanah Air)
"Pertamina bukannya takut tapi semakin bagus. Awalnya takut, waduh ada Shell, Total, Petronas. Tapi ternyata sekarang malah terpacu, berkompetisi," tutur Triawan.
Dia menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan budaya asing yang masuk ke Indonesia lantaran kebijakan DNI tersebut. Sebab, pemerintah telah menyiasatinya dengan mempersyaratkan investor film dari luar negeri agar 60% dari film yang ditayangkan mereka adalah film Indonesia.
"Jangan khawatir soal budaya asing. Mereka bakal bikin film di Indonesia, dan akan dipoles sedemikian rupa kemudian filmnya nanti di ekspor ke dunia," pungkasnya. (lly)
Dia mengatakan, film Indonesia sejatinya telah lama terkungkung dalam lingkaran setan lantaran adanya monopoli yang dilakukan oleh satu grup industri perfilman. Apalagi grup usaha tersebut menguasai bisnis bioskop di Tanah Air.
"Ada monopoli di mana satu grup dia juga mengimpor film, mau enggak mau film luar negeri harus ke dia. Karena bioskopnya dia yang punya," ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selama ini, porsi film lokal di bioskop Tanah Air hanya 20% sementara film asing justru 80%. Hal ini terjadi lantaran grup yang memonopoli bisnis perfilman tersebut lebih memilih mengimpor film dari luar negeri dan menayangkannya di Indonesia.
Akibatnya, para sineas Indonesia tidak berani memproduksi film dalam jumlah yang besar karena kuota yang tersedia di layar bioskop hanya sedikit untuk mereka. "Bikin film sehebat apapun kalau bioskopnya cuma sedikit buat mereka, cuma 100 layar saja untuk film bagus kan susah. Enggak akan berkembang. Dan, yang punyanya juga lebih concern kepada film yang dia impor," bebernya.
Sebab itu, lanjut ayah dari penyanyi Sherina Munaf ini, revisi DNI yang membuat asing bisa memiliki kesempatan besar untuk masuk ke dalam industri perfilman di Tanah Air membuat persaingan menjadi lebih sehat. Sekarang, pelaku usaha lokal maupun asing memililki kesempatan yang sama bersaing di industri perfilman Indonesia.
"Orang bisa mempunyai kesempatan, mempunyai pemodal yang berani untuk investasi jangka panjang, serius, membawa keahlian teknik yang luar biasa, dan nanti mereka bikin PT di Indonesia, dengan modal besar, bayar pajak di Indonesia, membuat film di Indonesia, diadakan di Indonesia dan juga di luar negeri," tegas Triawan.
Menurutnya, dibukanya peluang lebih lebar untuk asing masuk ke dalam industri perfilman di Indonesia juga akan membuat para pelaku usaha lokal semakin terpacu dengan kompetisi. Belajar dari pengalaman PT Pertamina (Persero), saat pengusaha migas dari luar negeri berbondong-bondong masuk ke Indonesia, BUMN migas tersebut bukan menciut namun justru semakin tertantang untuk menjadi yang terbaik. (Baca: Pemerintah Bebaskan Asing Kuasai Bioskop di Tanah Air)
"Pertamina bukannya takut tapi semakin bagus. Awalnya takut, waduh ada Shell, Total, Petronas. Tapi ternyata sekarang malah terpacu, berkompetisi," tutur Triawan.
Dia menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan budaya asing yang masuk ke Indonesia lantaran kebijakan DNI tersebut. Sebab, pemerintah telah menyiasatinya dengan mempersyaratkan investor film dari luar negeri agar 60% dari film yang ditayangkan mereka adalah film Indonesia.
"Jangan khawatir soal budaya asing. Mereka bakal bikin film di Indonesia, dan akan dipoles sedemikian rupa kemudian filmnya nanti di ekspor ke dunia," pungkasnya. (lly)
(dmd)