Relaksasi Ekspor Mineral Mentah Dinilai Cukup Diatur PP Bukan UU
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menerangkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor mineral mentah kepada perusahaan tambang lebih tepat diatur dalam peraturan pemerintah (PP) bukan di undang-undang (UU). Seperti diketahui pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sempat melontarkan wacana bakal memasukkan relaksasi ekspor mineral mentah dalam revisi UU Minerba.
Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhapi Budi Santoso menerangkan ketentuan yang mengatur ekspor mineral mentah substansinya terlalu banyak yang perlu diperhatikan. Jadi dia menyarankan sebaiknya jangan sampai masuk dalam revisi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang saat ini masih digodok antara pemerintah dan DPR.
"Mengenai relaksasi ekspor, sebaiknya ketentuan itu masuk dalam PP dan tidak undang-undang. Mungkin di UU disebutkan bahwa ketentuan ekspor diatur dalam PP oleh pemerintah. Karena substansin yang perlu diperhatikan banyak. Kalau ini akan dipakai oleh atau akan dimaksukan dalam revisi UU, tidak tepat," jelasnya kepada Sindonews, di Jakarta, Minggu (21/2/2016).
(Baca Juga: ESDM Dorong Relaksasi Ekspor dalam Revisi UU Minerba)
Menurutnya untuk mengatur apakah perusahaan tambang itu bisa ekspor atau tidak, banyak syarat yang harus dipenuhi. Lanjut dia, relaksasi ekspor ini nantinya akan berdampak pada tidak bergunanya smelter. Lantaran smelter dibangun untuk mengolah bahan mentah, namun pemerintah justru antusias menerapkan kelonggaran.
"Ini tidak mendorong untuk pembangunan smelter, pemerintah seharusnya tinggal melihat saja bahwa bahan tambang itu untuk apa. Dan memang, menurut saya pemerintah harus konsisten untuk melakukan prosesing dalam negeri karena ini kaitannya dengan nilai tambah," pungkasnya.
Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhapi Budi Santoso menerangkan ketentuan yang mengatur ekspor mineral mentah substansinya terlalu banyak yang perlu diperhatikan. Jadi dia menyarankan sebaiknya jangan sampai masuk dalam revisi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang saat ini masih digodok antara pemerintah dan DPR.
"Mengenai relaksasi ekspor, sebaiknya ketentuan itu masuk dalam PP dan tidak undang-undang. Mungkin di UU disebutkan bahwa ketentuan ekspor diatur dalam PP oleh pemerintah. Karena substansin yang perlu diperhatikan banyak. Kalau ini akan dipakai oleh atau akan dimaksukan dalam revisi UU, tidak tepat," jelasnya kepada Sindonews, di Jakarta, Minggu (21/2/2016).
(Baca Juga: ESDM Dorong Relaksasi Ekspor dalam Revisi UU Minerba)
Menurutnya untuk mengatur apakah perusahaan tambang itu bisa ekspor atau tidak, banyak syarat yang harus dipenuhi. Lanjut dia, relaksasi ekspor ini nantinya akan berdampak pada tidak bergunanya smelter. Lantaran smelter dibangun untuk mengolah bahan mentah, namun pemerintah justru antusias menerapkan kelonggaran.
"Ini tidak mendorong untuk pembangunan smelter, pemerintah seharusnya tinggal melihat saja bahwa bahan tambang itu untuk apa. Dan memang, menurut saya pemerintah harus konsisten untuk melakukan prosesing dalam negeri karena ini kaitannya dengan nilai tambah," pungkasnya.
(akr)