Dua Pasal Revisi UU Minerba Jadi Sorotan Pengusaha
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dua pasal dalam RevisiUndang-undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau Minerba menjadi sorota pengusaha karena dinilai merugikan. Pengusaha tambang asal Indonesia Naldy N Haroen SH memberikan dua contoh yakni pertama kata dia, dalam UU Nomor 4 tahun 2009 untuk mendapatkan izin tambang harus melalui lelang.
Lanjutnya, tambang itu adalah barang dalam tanah, bagaimana mungkin dilelang barangnya nggak kelihatan dan belum tahu cadangan depositenya berapa. "Harus dilakukan explorasi dulu oleh konsultan yang diakui dunia. Lantas siapa yang akan membiayai biaya explorasi mahal itu. Hal itu tidak ada Juklaknya. Sehingga selama ini apa yang terjadi? izin tambang baru yang keluar tanggalnya dibuat mundur sebelum 2009," kata Naldy .
Oleh sebab itu, menurut Koordinator BUMN Watch ini pasal tersebut perlu dikaji kembali untuk dirubah. Dia menekankan, tidak mungkin tambang bisa dilelang. "Tidak akan ada investor yang mau kalau data-data cadangan depositenya nggak jelas. Ini akan menghambat sektor usaha pertambangan dan membuka peluang untuk pejabat bermain," tegasnya.
Masalah kedua, lanjutnya mengenai izin tambang yang ditarik ke pusat. Ini juga hal yang sangat merugikan pengusaha tambang. Kenapa? karena hal ini sudah bertentangan dengan Undang-undang Otonomi Daerah (Otda) dan jelas memperpanjang jalur birokrasi.
"Usaha tambang ini umumnya ada di Kabupaten. Sehingga jalur birokrasinya pendek. Sekarang dengan adanya semua urusan di provinsi, bayangkan untuk urusan sepotong surat saja, pengusaha tambang harus menempuh jarak ratusan kilometer," ungkap Naldy.
Lebih lanjut Naldy Haroen kembali memberikan contoh, dalam hal untuk dokumen pengapalan harus ada LHV (Laporan Hasil Verifikasi)dari surveyor. Untuk mendapatkan LHV tesebut harus ada surat rekomendasi dari Dinas ESDM provinsi. Dimana sebetulnya ketentuan ini tidak dalam surat edaran Dirjen Minerba.
"Tetapi Pemda membuat aturan sendiri dengan surveyor berdasarkan rapat koodinasi dengan Gubernur. Ini aneh bin ajaib," tukasnya.
Jadi masih menurut Ketua LP2BI (Lembaga Pemantau Prijinan & Birokrasi Indonesia) ini, masalah izin pertambangan harus dikembalikan ke Kabupaten dengan sanksi yang lebih berat. Seperti, kalau ada Bupati yang membuat kekeliruan dalam mengeluarkan izin, sanksinya tidak cukup hanya dengan kesalahan administrasi saja.
"Tapi di berikan sanksi pidana. Ini salah satu solusi," ungkap Naldy.
Pria yang berprofesi sebabagi advokat ini memberi gambaran, dulubanyak Bupati yang mengelurkan ijin tambang tumpang tindih lokasinya. Padahal, semua sudah mendapatkan C&C (clear & clean). Maksudnya kalau sudah dapat status tersebut harusnya tidak ada lagi tumpang tindih. Tapi kenyataannya ada. Siapa yang salah? Bupati yang mengeluarkan izin tambang, tapi C&C nya di pusat (Minerba).
"Dan pada saat itu oknum-oknum di Kabupaten dengan mudahnya memperjual belikan izin tambang. Sehingga Bupati dianggap sudah menjadi raja kecil di daerah. Makanya pemerintah pada saat itu menteri ESDM nya Jero Wacik memindahkan semua perizinan tambang ke Provinsi. Ini keliru besar! Tidak sesuai," urainya.
Dia juga menyoroti soal adanyaPTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang hinÄŁga kini belum bekerja secara maksimal. "Kalau dilihat dari teorinya sih bagus tapi pada pelaksanaannya sangat tidak efektif. Kenapa? PTSP itu hanya sebagai loket tempat orang menyerahkan permohonan perizinan saja. Kemudian PTSP, menyerahkan dokumen tersebut ke Departemen atau Dinas terkait untuk pembahasan secara teknis. Hal ini mamakan waktu lama karena menunggu hasil evaluasi secara teknis dari Departemen atau Dinas terkait itu," tambahnya.
Naldy berharap dengan adanya arahan presiden Jokowi yang ingin memotong dan memperpendek jalur perizinan bisa mempermudah para pengusaha tambang untuk mendapatkan izin. "Dengan adanya semua ijin di tingkat provinsi malah sangat memperpanjang jalur birokrasi. Jadi kami minta arahan presiden harus dijalankan dengan cepat dan tepat. Kembalikan izin tambang di Kabupaten," pungkas Naldy Haroen.
Lanjutnya, tambang itu adalah barang dalam tanah, bagaimana mungkin dilelang barangnya nggak kelihatan dan belum tahu cadangan depositenya berapa. "Harus dilakukan explorasi dulu oleh konsultan yang diakui dunia. Lantas siapa yang akan membiayai biaya explorasi mahal itu. Hal itu tidak ada Juklaknya. Sehingga selama ini apa yang terjadi? izin tambang baru yang keluar tanggalnya dibuat mundur sebelum 2009," kata Naldy .
Oleh sebab itu, menurut Koordinator BUMN Watch ini pasal tersebut perlu dikaji kembali untuk dirubah. Dia menekankan, tidak mungkin tambang bisa dilelang. "Tidak akan ada investor yang mau kalau data-data cadangan depositenya nggak jelas. Ini akan menghambat sektor usaha pertambangan dan membuka peluang untuk pejabat bermain," tegasnya.
Masalah kedua, lanjutnya mengenai izin tambang yang ditarik ke pusat. Ini juga hal yang sangat merugikan pengusaha tambang. Kenapa? karena hal ini sudah bertentangan dengan Undang-undang Otonomi Daerah (Otda) dan jelas memperpanjang jalur birokrasi.
"Usaha tambang ini umumnya ada di Kabupaten. Sehingga jalur birokrasinya pendek. Sekarang dengan adanya semua urusan di provinsi, bayangkan untuk urusan sepotong surat saja, pengusaha tambang harus menempuh jarak ratusan kilometer," ungkap Naldy.
Lebih lanjut Naldy Haroen kembali memberikan contoh, dalam hal untuk dokumen pengapalan harus ada LHV (Laporan Hasil Verifikasi)dari surveyor. Untuk mendapatkan LHV tesebut harus ada surat rekomendasi dari Dinas ESDM provinsi. Dimana sebetulnya ketentuan ini tidak dalam surat edaran Dirjen Minerba.
"Tetapi Pemda membuat aturan sendiri dengan surveyor berdasarkan rapat koodinasi dengan Gubernur. Ini aneh bin ajaib," tukasnya.
Jadi masih menurut Ketua LP2BI (Lembaga Pemantau Prijinan & Birokrasi Indonesia) ini, masalah izin pertambangan harus dikembalikan ke Kabupaten dengan sanksi yang lebih berat. Seperti, kalau ada Bupati yang membuat kekeliruan dalam mengeluarkan izin, sanksinya tidak cukup hanya dengan kesalahan administrasi saja.
"Tapi di berikan sanksi pidana. Ini salah satu solusi," ungkap Naldy.
Pria yang berprofesi sebabagi advokat ini memberi gambaran, dulubanyak Bupati yang mengelurkan ijin tambang tumpang tindih lokasinya. Padahal, semua sudah mendapatkan C&C (clear & clean). Maksudnya kalau sudah dapat status tersebut harusnya tidak ada lagi tumpang tindih. Tapi kenyataannya ada. Siapa yang salah? Bupati yang mengeluarkan izin tambang, tapi C&C nya di pusat (Minerba).
"Dan pada saat itu oknum-oknum di Kabupaten dengan mudahnya memperjual belikan izin tambang. Sehingga Bupati dianggap sudah menjadi raja kecil di daerah. Makanya pemerintah pada saat itu menteri ESDM nya Jero Wacik memindahkan semua perizinan tambang ke Provinsi. Ini keliru besar! Tidak sesuai," urainya.
Dia juga menyoroti soal adanyaPTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang hinÄŁga kini belum bekerja secara maksimal. "Kalau dilihat dari teorinya sih bagus tapi pada pelaksanaannya sangat tidak efektif. Kenapa? PTSP itu hanya sebagai loket tempat orang menyerahkan permohonan perizinan saja. Kemudian PTSP, menyerahkan dokumen tersebut ke Departemen atau Dinas terkait untuk pembahasan secara teknis. Hal ini mamakan waktu lama karena menunggu hasil evaluasi secara teknis dari Departemen atau Dinas terkait itu," tambahnya.
Naldy berharap dengan adanya arahan presiden Jokowi yang ingin memotong dan memperpendek jalur perizinan bisa mempermudah para pengusaha tambang untuk mendapatkan izin. "Dengan adanya semua ijin di tingkat provinsi malah sangat memperpanjang jalur birokrasi. Jadi kami minta arahan presiden harus dijalankan dengan cepat dan tepat. Kembalikan izin tambang di Kabupaten," pungkas Naldy Haroen.
(akr)