Tanggapan Indef Soal Posisi Investasi Internasional RI
A
A
A
JAKARTA - Institute Development of Economic and Finance (Indef) menilai terkait kenaikan Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) yang lebih besar dari Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) sebagaimana dilaporkan Bank Indonesia (BI).
Menurut ekonom Indef Dzulfian S, investor asing mulai kembali menanamkan modalnya di Indonesia. Berbanding terbalik dengan beberapa tahun belakangan di mana Indonesia berada di bawah bayang-bayang larinya modal ke luar (capital outflow) dan tahun ini justru terjadi pemasukan modal (capital inflow).
Capital inflow saat ini di Indonesia setidaknya disebabkan dua hal utama Kepastian kenaikan suku bunga the Fed (Fed Fund Rate/FFR) beberapa bulan lalu yang membuat pasar-pasar keuangan di dunia (termasuk Indonesia) menjadi lebih stabil dan pasti.
"Dan kebijakan suku bunga negatif yang diterapkan negara-negara maju, khususnya Jepang dan negara-negara Eropa yang menyebabkan investor asing menarik uangnya di Eropa dan ditanamkan di negara-negara yang lebih menguntungkan, seperti Indonesia," terang dia saat dihubungi, Minggu (3/4/2016).
Sayangnya, lanjut dia, modal yang masuk ke Indonesia masih bersifat 'hot money'. Salah satu instrumen yang paling digemari investor asing berinvestasi di Indonesia adalah obligasi atau surat utang pemerintah karena imbal hasil (yield) yang ditawarkan sangat tinggi berkisar 6%-8%.
Tingginya modal asing yang masuk ke obligasi pemerintah ini harus diwaspadai oleh pemerintah. Karena, jika terjadi penarikan modal secara tiba-tiba (sudden revearsal), hal ini akan kontraproduktif bagi perekonomian nasional khususnya sektor keuangan.
"Mengingat sekitar 40% obligasi pemerintah dan 60% pasar modal Indonesia dimiliki investor asing," ujar Dzul.
Mahalnya imbal hasil obligasi pemerintah ini menunjukkan bahwa kepercayaan (confidence) investor terhadap Indonesia itu cukup rendah, sehingga para investor meminta kompensasi (premi resiko) yang tinggi.
Dia menilai, apa yang dilakukan 'lapangan banteng' dan 'Thamrin' sejauh ini tidak sinkron, ditunjukkan oleh masih tingginya imbal hasil yang ditawarkan obligasi pemerintah. Ini tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang dilakukan BI dalam beberapa bulan terakhir yang cenderung ekspansif dengan memotong BI rate beberapa kali.
Seharusnya, obligasi pemerintah dapat turun perlahan sebagaimana BI rate, misalkan untuk tenor 10 tahun bisa turun perlahan ke level 7,0%-7,5%, bahkan bisa lebih rendah lagi jika pemerintah mampu meyakinkan dan meningkatkan kepercayaan investor.
Jika pemerintah tidak segera menurunkan imbal hasil obligasinya, dikhawatirkan justru akan terjadi kekeringan likuiditas di pasar keuangan kita karena bank-bank harus berkompetisi dengan obligasi pemerintah yang justru akan kontraproduktif bagi perekonomian nasional.
"Minimal kebijakan moneter ekspansif yang telah dilakukan oleh BI tidak akan efektif," pungkas dia.
Menurut ekonom Indef Dzulfian S, investor asing mulai kembali menanamkan modalnya di Indonesia. Berbanding terbalik dengan beberapa tahun belakangan di mana Indonesia berada di bawah bayang-bayang larinya modal ke luar (capital outflow) dan tahun ini justru terjadi pemasukan modal (capital inflow).
Capital inflow saat ini di Indonesia setidaknya disebabkan dua hal utama Kepastian kenaikan suku bunga the Fed (Fed Fund Rate/FFR) beberapa bulan lalu yang membuat pasar-pasar keuangan di dunia (termasuk Indonesia) menjadi lebih stabil dan pasti.
"Dan kebijakan suku bunga negatif yang diterapkan negara-negara maju, khususnya Jepang dan negara-negara Eropa yang menyebabkan investor asing menarik uangnya di Eropa dan ditanamkan di negara-negara yang lebih menguntungkan, seperti Indonesia," terang dia saat dihubungi, Minggu (3/4/2016).
Sayangnya, lanjut dia, modal yang masuk ke Indonesia masih bersifat 'hot money'. Salah satu instrumen yang paling digemari investor asing berinvestasi di Indonesia adalah obligasi atau surat utang pemerintah karena imbal hasil (yield) yang ditawarkan sangat tinggi berkisar 6%-8%.
Tingginya modal asing yang masuk ke obligasi pemerintah ini harus diwaspadai oleh pemerintah. Karena, jika terjadi penarikan modal secara tiba-tiba (sudden revearsal), hal ini akan kontraproduktif bagi perekonomian nasional khususnya sektor keuangan.
"Mengingat sekitar 40% obligasi pemerintah dan 60% pasar modal Indonesia dimiliki investor asing," ujar Dzul.
Mahalnya imbal hasil obligasi pemerintah ini menunjukkan bahwa kepercayaan (confidence) investor terhadap Indonesia itu cukup rendah, sehingga para investor meminta kompensasi (premi resiko) yang tinggi.
Dia menilai, apa yang dilakukan 'lapangan banteng' dan 'Thamrin' sejauh ini tidak sinkron, ditunjukkan oleh masih tingginya imbal hasil yang ditawarkan obligasi pemerintah. Ini tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang dilakukan BI dalam beberapa bulan terakhir yang cenderung ekspansif dengan memotong BI rate beberapa kali.
Seharusnya, obligasi pemerintah dapat turun perlahan sebagaimana BI rate, misalkan untuk tenor 10 tahun bisa turun perlahan ke level 7,0%-7,5%, bahkan bisa lebih rendah lagi jika pemerintah mampu meyakinkan dan meningkatkan kepercayaan investor.
Jika pemerintah tidak segera menurunkan imbal hasil obligasinya, dikhawatirkan justru akan terjadi kekeringan likuiditas di pasar keuangan kita karena bank-bank harus berkompetisi dengan obligasi pemerintah yang justru akan kontraproduktif bagi perekonomian nasional.
"Minimal kebijakan moneter ekspansif yang telah dilakukan oleh BI tidak akan efektif," pungkas dia.
(izz)