Alasan Pemerintah Ngotot Gulirkan Kebijakan Pengampunan Pajak
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga kini masih ngotot menginginkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) disetujui DPR dan segera digulirkan. Pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) pengampunan pajak, namun belum disetujui DPR.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, alasan pemerintah keukeuh menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan, lantaran masih banyak wajib pajak (WP) yang belum melaporkan hartanya yang ada di dalam ataupun di luar negeri. Banyak pula para WP yang belum dikenai pajak di Tanah Air.
Menurutnya, pemerintah banyak memiliki data warga negara Indonesia (WNI) yang belum melaporkan harta kekayaannya secara benar. Tidak hanya data dari internal Ditjen Pajak semata, data tersebut telah terkumpul dari 65 negara yang telah terikat perjanjian bilateral dengan Indonesia hingga data dan informasi yang beredar terkait offshore leaks serta Panama Papers.
"Data dan informasi yang banyak beredar terkait offshore leaks, Panama Papers dan sebagainya serta tentu penggalian data informasi yang dilakukan sendiri oleh Ditjen Pajak. Itu menunjukkan banyak wajib pajak Indonesia yang menaruh harta ataupun asetnya di berbagai negara tax haven," katanya dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi XI di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Selain itu, sambung mantan Wamenkeu ini, hingga kini kepatuhan WP dalam melaporkan kewajiban perpajakannya masih sangat rendah. Data internal Ditjen Pajak pada 2015 menunjukkan bahwa WP terdaftar yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT sebesar 18 juta, sementara realisasi penyampaian SPT 2015 hanya sebesar 10,9 juta.
Dia menuturkan, rasio kepatuhan penyampaian SPT 2015 hanya berada di kisaran 60%. Sehingga masih ada potensi wajib pajak yang belum menyampaikan SPT-nya sebesar 40%.
"Data tersebut belum termasuk warga negara dari sebesar kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia yang potensial memiliki NPWP," imbuhnya.
Bambang menambahkan, kewenangan Ditjen Pajak terhadap akses data perbankan juga masih terbatas. Selama ini, Ditjen Pajak memiliki kendala dalam mengawasi perekonomian di sektor informasi (underground economy) dan mencegah larinya modal ke luar negeri akibat adanya kebijakan bank secrecy.
"Di negara OECD, Indonesia dianggap masih sangat tertutup dalam hal bank secrecy untuk keperluan perpajakan. Bahkan, lebih rendah dari British Virgin Island atau negara-negara yang selama ini dianggap tax haven," pungkas dia.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, alasan pemerintah keukeuh menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan, lantaran masih banyak wajib pajak (WP) yang belum melaporkan hartanya yang ada di dalam ataupun di luar negeri. Banyak pula para WP yang belum dikenai pajak di Tanah Air.
Menurutnya, pemerintah banyak memiliki data warga negara Indonesia (WNI) yang belum melaporkan harta kekayaannya secara benar. Tidak hanya data dari internal Ditjen Pajak semata, data tersebut telah terkumpul dari 65 negara yang telah terikat perjanjian bilateral dengan Indonesia hingga data dan informasi yang beredar terkait offshore leaks serta Panama Papers.
"Data dan informasi yang banyak beredar terkait offshore leaks, Panama Papers dan sebagainya serta tentu penggalian data informasi yang dilakukan sendiri oleh Ditjen Pajak. Itu menunjukkan banyak wajib pajak Indonesia yang menaruh harta ataupun asetnya di berbagai negara tax haven," katanya dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi XI di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Selain itu, sambung mantan Wamenkeu ini, hingga kini kepatuhan WP dalam melaporkan kewajiban perpajakannya masih sangat rendah. Data internal Ditjen Pajak pada 2015 menunjukkan bahwa WP terdaftar yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT sebesar 18 juta, sementara realisasi penyampaian SPT 2015 hanya sebesar 10,9 juta.
Dia menuturkan, rasio kepatuhan penyampaian SPT 2015 hanya berada di kisaran 60%. Sehingga masih ada potensi wajib pajak yang belum menyampaikan SPT-nya sebesar 40%.
"Data tersebut belum termasuk warga negara dari sebesar kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia yang potensial memiliki NPWP," imbuhnya.
Bambang menambahkan, kewenangan Ditjen Pajak terhadap akses data perbankan juga masih terbatas. Selama ini, Ditjen Pajak memiliki kendala dalam mengawasi perekonomian di sektor informasi (underground economy) dan mencegah larinya modal ke luar negeri akibat adanya kebijakan bank secrecy.
"Di negara OECD, Indonesia dianggap masih sangat tertutup dalam hal bank secrecy untuk keperluan perpajakan. Bahkan, lebih rendah dari British Virgin Island atau negara-negara yang selama ini dianggap tax haven," pungkas dia.
(izz)