Rizal Ramli Mengaku Malu dengan Malaysia
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman, Rizal Ramli mengaku malu dengan Malaysia, lantaran saat berkunjung ke Negeri Jiran, dirinya mendapati kenyataan Malaysia sukses membangun industri petrokimia yang besar dan maju.
Rizal menyebut sebagai negara yang kaya sumber alam, seharusnya Indonesia bisa lebih hebat dari negara ASEAN lainnya. Sayangnya, paradigma pengelolaan SDA Indonesia masih sedot-ekspor, tidak berpikir membangun industri pendukung (downstream industry).
“Sehingga nilai tambahnya enggak ada. Contoh ikan, sedot ikannya terus ekspor. Tidak dibangun industri perikanannya. Negara tetangga kita yang enggak punya ikan cukup banyak, industri perikanannya malah lebih besar dari Indonesia. Dan di gas juga sedot terus ekspor," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (11/5/2016).
Dia mengisahkan, pada 1970-an orang-orang dari Malaysia berbondong-bondong datang dan belajar di perguruan tinggi di Tanah Air. Kala itu, mereka sangat jauh tertinggal dari Indonesia. Bahkan, PT Pertamina (Persero) saat itu sudah tumbuh menjadi perusahaan raksasa, sementara Petronas baru saja mau dibangun.
"Tapi mereka belajar dari kita, akhirnya Petronas jauh lebih hebat dari Pertamina. Industri petrokimia berkembang pesat, padahal ironinya gas yang dipakai Malaysia itu 40% dari kita," imbuh dia.
(Baca: Rizal Ramli: Terlalu Cetek Blok Masela Hanya Soal Darat-Laut)
Setelah industri petrokimia mereka berproduksi, sambung mantan Kepala Bulog ini, produknya mereka ekspor kembali ke Indonesia. Saat ini, impor produk petrokimia Indonesia dari Negeri Jiran sekitar USD12 miliar hingga USD14 miliar.
"Kalau hanya sekadar jual gas, kita rugi. Sama dengan Taiwan pemain industri petrokimia ketiga di dunia. Enggak ada gasnya. Gasnya dari kita tapi dia ubah jadi bahan plastik dan macam-macam," tuturnya.
Karena itu, tambah Rizal, Indonesia jangan lagi menggunakan paradigma lama dalam pengelolaan Blok Masela, Maluku. Karena, jika hanya sedot dan ekspor maka yang diperoleh Indonesia per tahunnya hanya sekitar USD2,5 miliar.
Tapi kalau membangun industri pupuk, industri petrokimia maka Indonesia mendapatkan dana langsung USD6,5 miliar. Dan ini bisa memberi multiplier effect seperti pembangunan hotel dan transportasi. Sehingga bisa menjadi Kota Balikpapan baru yang bisa memperoleh USD8 miliar.
“Jadi pilihannya sederhana. Jalan cepat, sedot ekspor. Jalan agak ribet sedikit, kita bangun integrated industry, kita kembangkan nilainya dan dapat USD8 miliar," tandasnya.
Rizal menyebut sebagai negara yang kaya sumber alam, seharusnya Indonesia bisa lebih hebat dari negara ASEAN lainnya. Sayangnya, paradigma pengelolaan SDA Indonesia masih sedot-ekspor, tidak berpikir membangun industri pendukung (downstream industry).
“Sehingga nilai tambahnya enggak ada. Contoh ikan, sedot ikannya terus ekspor. Tidak dibangun industri perikanannya. Negara tetangga kita yang enggak punya ikan cukup banyak, industri perikanannya malah lebih besar dari Indonesia. Dan di gas juga sedot terus ekspor," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (11/5/2016).
Dia mengisahkan, pada 1970-an orang-orang dari Malaysia berbondong-bondong datang dan belajar di perguruan tinggi di Tanah Air. Kala itu, mereka sangat jauh tertinggal dari Indonesia. Bahkan, PT Pertamina (Persero) saat itu sudah tumbuh menjadi perusahaan raksasa, sementara Petronas baru saja mau dibangun.
"Tapi mereka belajar dari kita, akhirnya Petronas jauh lebih hebat dari Pertamina. Industri petrokimia berkembang pesat, padahal ironinya gas yang dipakai Malaysia itu 40% dari kita," imbuh dia.
(Baca: Rizal Ramli: Terlalu Cetek Blok Masela Hanya Soal Darat-Laut)
Setelah industri petrokimia mereka berproduksi, sambung mantan Kepala Bulog ini, produknya mereka ekspor kembali ke Indonesia. Saat ini, impor produk petrokimia Indonesia dari Negeri Jiran sekitar USD12 miliar hingga USD14 miliar.
"Kalau hanya sekadar jual gas, kita rugi. Sama dengan Taiwan pemain industri petrokimia ketiga di dunia. Enggak ada gasnya. Gasnya dari kita tapi dia ubah jadi bahan plastik dan macam-macam," tuturnya.
Karena itu, tambah Rizal, Indonesia jangan lagi menggunakan paradigma lama dalam pengelolaan Blok Masela, Maluku. Karena, jika hanya sedot dan ekspor maka yang diperoleh Indonesia per tahunnya hanya sekitar USD2,5 miliar.
Tapi kalau membangun industri pupuk, industri petrokimia maka Indonesia mendapatkan dana langsung USD6,5 miliar. Dan ini bisa memberi multiplier effect seperti pembangunan hotel dan transportasi. Sehingga bisa menjadi Kota Balikpapan baru yang bisa memperoleh USD8 miliar.
“Jadi pilihannya sederhana. Jalan cepat, sedot ekspor. Jalan agak ribet sedikit, kita bangun integrated industry, kita kembangkan nilainya dan dapat USD8 miliar," tandasnya.
(ven)