Tanpa Pertukaran Data, Penerimaan Pajak Indonesia Selalu Terhambat
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kebijakan Automatic Exchange of Information (AEoI) atau pertukaran data untuk pajak secara otomatis bakal dilakukan negara-negara di dunia pada 2017.
Kesepakatan ini dibuat lantaran banyak perusahaan multinasional yang shifting keuntungannya di negara surga pajak (tax havens). Alhasil banyak negara yang menjadi frustasi.
"Mereka frustasi. Banyak perusahaan multinasional di negara-negara tersebut yang memindahkan keuntungannya ke negara tax havens. Ini karena mereka tidak mau kena pajak tinggi. Akhirnya banyak negara frustasi karena keuntungan buat mereka enggak ada," kata Bambang di Jakarta, Senin (23/5/2016).
Jadi AEoI ini mengikuti program pajak di Amerika Serikat yang disebut Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Ini kan dibuat multilateral dan otomatis, dalam artian data dapat dibuka secara otomatis, bukan karena paksaan.
(Baca: Menkeu: Sekarang Masalah Pajak Jadi Isu Internasional)
"Sebagian negara mengadopsi mulai September 2017, Indonesia mulainya September 2018,” katanya.
Ia pun menceritakan dalam pertemuan G20 beberapa waktu lalu di Washington DC, Amerika Serikat, hanya dua negara yang belum menyepakati, yaitu Bahrain dan Panama. Namun, sambung dia, informasi terakhir dua negara itu komit untuk turut serta.
Jadi, menurutnya, penting untuk membawa isu pajak ini menjadi isu internasional. Dan tanpa pertukaran data soal pajak, tentu penerimaan pajak selalu terhambat karena minimnya data dan info.
"IT itu enggak bisa apa-apa kalau data tidak ada. Dan kita di Indonesia kesulitan dapat data karena masih ada kerahasiaan bank di Indonesia. Karena ujung tombaknya pajak adalah data. Maka hanya dengan cara itu, dengan pemeriksaan, kita dapat pajak yang sesuai. Dengan AEoI pasti ada negara yang tidak senang. Apalagi sebagai negara tax havens, mereka akan kehilangan sebagian uang dari yang dimiliki," pungkasnya.
Kesepakatan ini dibuat lantaran banyak perusahaan multinasional yang shifting keuntungannya di negara surga pajak (tax havens). Alhasil banyak negara yang menjadi frustasi.
"Mereka frustasi. Banyak perusahaan multinasional di negara-negara tersebut yang memindahkan keuntungannya ke negara tax havens. Ini karena mereka tidak mau kena pajak tinggi. Akhirnya banyak negara frustasi karena keuntungan buat mereka enggak ada," kata Bambang di Jakarta, Senin (23/5/2016).
Jadi AEoI ini mengikuti program pajak di Amerika Serikat yang disebut Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Ini kan dibuat multilateral dan otomatis, dalam artian data dapat dibuka secara otomatis, bukan karena paksaan.
(Baca: Menkeu: Sekarang Masalah Pajak Jadi Isu Internasional)
"Sebagian negara mengadopsi mulai September 2017, Indonesia mulainya September 2018,” katanya.
Ia pun menceritakan dalam pertemuan G20 beberapa waktu lalu di Washington DC, Amerika Serikat, hanya dua negara yang belum menyepakati, yaitu Bahrain dan Panama. Namun, sambung dia, informasi terakhir dua negara itu komit untuk turut serta.
Jadi, menurutnya, penting untuk membawa isu pajak ini menjadi isu internasional. Dan tanpa pertukaran data soal pajak, tentu penerimaan pajak selalu terhambat karena minimnya data dan info.
"IT itu enggak bisa apa-apa kalau data tidak ada. Dan kita di Indonesia kesulitan dapat data karena masih ada kerahasiaan bank di Indonesia. Karena ujung tombaknya pajak adalah data. Maka hanya dengan cara itu, dengan pemeriksaan, kita dapat pajak yang sesuai. Dengan AEoI pasti ada negara yang tidak senang. Apalagi sebagai negara tax havens, mereka akan kehilangan sebagian uang dari yang dimiliki," pungkasnya.
(ven)